TechnologyIndonesia.id – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menekankan pentingnya sinergi para pemangku kepentingan (stakeholder) seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Perindustrian, Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM), pemerintah daerah dan asosiasi guna meningkatkan daya saing produk ikan kaleng, khususnya yang berbahan baku ikan tuna/cakalang, sarden, lemuru, dan mackarel. Terlebih pemerintah juga memiliki skema fasilitasi insentif bagi perusahaan yang memiliki tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) tinggi.
“Upaya yang sinergi sangat penting agar produksi bisa efisien, sistem jaminan mutu, memperbesar komponen dalam negeri (TKDN), dan memperluas akses pasar,” terang Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP), Budi Sulistiyo melalui keterangan tertulisnya, Jakarta (19/5/2024).
Budi memaparkan sejumlah cara agar produk ikan kaleng Indonesia bisa mengakses pangsa pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat. Salah satunya dengan memfasilitasi pengajuan registrasi EU approval number bagi UPI tersertifikasi HACCP grade A.
Dikatakannya, perluasan akses pasar juga akan dilakukan dengan menghilangkan hambatan tarif ke Uni Eropa dan Amerika Serikat. “Diperlukan negosiasi perdagangan dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk pembebasan tarif bea masuk, sementara pembebasan tarif bea masuk ikan tuna/cakalang kaleng ke Jepang dalam waktu dekat akan diratifikasi,” jelas Budi.
Budi optimistis peluang hilirisasi ikan kaleng di Indonesia, mengingat top importir global produk tersebut meliputi Uni Eropa dengan market share 39,3% dan Amerika Serikat dengan 14,7%. Disusul Timur Tengah sebesar 7,5%, Jepang 5,3% dan ASEAN 3,5%.
Merujuk data trademap, saat ini Indonesia menduduki posisi ke-8 top eksportir ikan kaleng dunia dengan market share 3,5%.
“Peluangnya masih sangat terbuka dan selama ini tujuan ekspor ikan kaleng kita masih didominasi ke Arab Saudi, Jepang, Thailand, Amerika Serikat dan Australia,” tuturnya.
Sebagai salah satu bentuk hilirisasi perikanan, Budi menyebut pengalengan ikan juga berdampak pada ketersediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Merujuk data Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), sekitar 20 ribu orang bekerja di 40 Unit Pengolah Ikan (UPI) pengalengan skala menengah besar.
“Ini baru bicara industri pengolahannya, belum multiplier effect-nya dari bahan baku seperti penyediaan kaleng, ikannya, dan lain sebagainya,” tutur Budi.
Senada, Direktur Pengolahan dan Bina Mutu Ditjen PDSPKP, Widya Rusyanto menyebut sinergi menjadi kata kunci dalam memajukan UPI pengalengan mengingat nomor induk berusaha (NIB) produk ikan kaleng tergolong berisiko tinggi. Berdasarkan focus group discussion (FGD) terkait ikan kaleng yang digelar di Banyuwangi, Jawa Timur, beberapa waktu lalu, para pelaku usaha ikan kaleng mengaku bahan pendukung seperti kaleng produksi dalam negeri yang masih terbatas.
“Tentu ini harus diimbangi mengingat bahan baku ikan lokal mudah diperoleh dengan harga yang cukup kompetitif,” kata Widya.
Widya menegaskan produk ikan kaleng merupakan salah satu produk siap saji (ready to serve) yang praktis, awet, dan bergizi. “Ikan kaleng aman dikonsumsi, terutama yang sudah tersertifikasi,” tutupnya.