Jakarta, Technology-Indonesia.com – Buah apkir atau buah yang sudah tidak laku dapat diolah menjadi produk olahan bernilai tinggi. Hal ini dilakukan agar buah tidak mengalami penurunan kualitasnya, untuk itu diperlukan penanganan pascapanen yang benar.
Pemanfaatan buah apkir diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah produk buah membutuhkan sentuhan teknologi. Usaha mikro banyak menghadapi permasalahan yang membutuhkan intervensi teknologi.
Melansir dari laman brin.go.id, Perekayasa Ahli Madya Pusat Riset Agroindustri pada Organisasi Pertanian dan Pangan (ORPP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wiwik Handayani menjelaskan, saat panen buah seringkali ada buah apkir yang rusak karena serangan lalat buah dan hama.
“Ada juga buah yang belum matang dan tidak sengaja ikut dipetik, sehingga dianggap tidak berguna. Padahal buah-buahan tersebut dapat kita manfaatkan menjadi produk yang bernilai tinggi,” terang Wiwik dalam Webinar Omah Inovasi pada Selasa (27/6/2023).
Lebih lanjut ia menjelaskan, hasil olahan dari buah apkir yang murah dapat dijual dengan harga tinggi. “Buah tersebut dapat memiliki harga jual atau nilai tambah, jika dibuat dalam bentuk berbagai macam produk. Selain itu dapat menambah diversifikasi produk olahan buah, berupa dehydrated fruit, fruit leather, puree, freeze dry, dan powder,” paparnya.Â
Untuk menjaga ketersediaan buah sepanjang musim masyarakat dapat mengonsumsinya. Bentuk dan rasanya sama berupa produk olahan dehydrated fruit. Produk ini merupakan produk buah segar yang dikeringkan. Proses teknologinya tetap menjaga kualitas rasa dan vitamin yang terkandung di dalamnya.
“Jika produk ini dikerjakan oleh para pelaku usaha UMKM, maka kita dapat mendukung produk UMKM. Tentunya untuk pemerataan ekonomi dan terhindar dari monopoli perusahaan besar,” jelas Wiwik.
Dirinya menjelaskan, peluang ini masih dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh UMKM dan masyarakat. Saat ini pilihan cara distribusi produk sudah beragam, dapat melalui toko online, reseller, maupun distributor. UMKM agar aktif memanfaatkan berbagai platform dalam memasarkan produk buah olahan.Â
Ia memberikan contoh tentang pembuatan produk olahan dari bahan buah yang kurang matang, berupa dehydrated fruit, freeze dry, kripik, produk fermentasi, mango oil, dan lain-lain. Sedangkan buah dengan kondisi yang terlalu matang dapat dibuat produk olahan berupa fruit leather, powder, sirup, selai, dodol, dan sebagainya.
Wiwik juga menerangkan cara membuat produk buah berupa powder. “Buah dikupas bersih, dicuci, diiris, dan diblender halus. Selanjutnya dimasukkan ke dalam drum dryer untuk dikeringkan. Dari hasil pengeringan produk dihaluskan untuk dijadikan serbuk, dan dikemas,” ujarnya.Â
Menurutnya hal yang sama juga dapat dilakukan untuk membuat Puree buah. Caranya yaitu dengan mengupas buah, dicuci dan diiris, diblender hingga membentuk seperti bubur/puree, selanjutnya dilakukan pengemasan.
Cara pembuatan fruit leather juga hampir sama. Buah dikupas, dicuci dan diiris, diblender sampai halus menjadi bubur/puree. Lalu puree dikeringan menjadi produk fruit leather dan dikemas. Cara lainnya yaitu dengan pembuatan dehydrated fruit. Buah dikupas dulu, kemudian dicuci dan diiris tipis, dikeringkan menjadi produk dehydrated fruit, baru dilakukan pengemasan.Â
Produk Olahan Bernilai TinggiÂ
Buah apkir dapat diolah menjadi produk olahan bernilai tinggi. Hal ini dilakukan agar buah tidak mengalami penurunan kualitasnya.
“Setelah buah dipetik akan melewati masa perubahan, di antaranya perubahan kekerasan (firmness), padatan terlarut total brix. Berikutnya bobot/berat (bobot susut), dan laju penyerapan O2 (respirasi O2),” ujar Waqif Agusta, Perekayasa Muda dari pusat riset yang sama.
Ia menjelaskan jika respirasi semakin tinggi, maka semakin cepat buah akan rusak. Buah yang mempunyai sifat respirasi tinggi, di antaranya alpukat dan sayuran.
“Pisang, mangga, dan melon termasuk dalam respisari menengah. Sedangkan jeruk, pepaya, nanas, dan apel, termasuk buah respirasi rendah. Cara mengatasinya, yang paling utama dengan menurunkan laju transpirasi dan respirasi dari buah-buahan tersebut,” jelas Waqif.
Lebih lanjut, ia menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan perubahan buah, antara lain rusak secara fisik (benturan), suhu tinggi. Kemudian lingkungan lembab (jamur), infeksi hama/penyakit, dan kondisi yang memacu perubahan (etilen).Â
“Faktor-faktor tersebut dapat dikurangi atau dihilangkan dengan cara mencegah kerusakan fisik (benturan), penanganan dingin, mencegah lingkungan lembab, desinfektansi. Selain itu dengan anti jamur/penyakit, mencegah pengaruh etilen, dan mengurangi respirasi,” terangnya.Â
Waqif juga membagikan teknik pembuatan ethylene absorbant. Awalnya potong-potong kapur tulis menjadi ukuran 0,5 cm, dan buat larutan KMnO4 atau kalium permanganat sebanyak 15 gr ke dalam 100 ml air hangat. Masukkan kapur tulis yang telah dipotong-potong ke dalam larutan tersebut, hingga menjadi ungu seluruhnya.Â
Letakkan kapur tersebut di atas plastik kemudian keringkan. Ambil plastik klip kecil, buat lubang angin dengan menggunakan jarum. Masukkan kapur yang telah kering ke dalam plastik tersebut sebanyak 30 gr.Â
“Ethylene absorbant siap digunakan dengan meletakkannya di pojok-pojok kardus yang berisi buah. Kemudian tutup kardus tersebut hingga rapat,” papar Waqif.
Pada tahapan penanganan pascapanen, menurutnya perlu menimbang saat penerimaan hasil panen. “Lakukan juga pembersihan dan sortasi pencucian buah bernoda, grading kematangan, desinfektansi. Berikutnya grading/sizing atau mengelompokkan sesuai ukuran, pengemasan, penimbangan, dan pengiriman,” terangnya.
Saat ini, dia dan tim sedang mengembangkan sebuah sistem pemantauan tingkat kematangan buah dengan smart storage box. “Kami merancang sistem pengiriman dengan kamera. Tujuannya untuk melihat perubahan buah saat perjalanan dalam pengiriman,” tuturnya.