Klaster Inovasi, Upaya Bangkitkan Kejayaan Nilam Aceh

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Budidaya Nilam Aceh di Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh pernah mencapai kejayaan sekitar tahun 1990-an hingga 1998. Puncaknya pada 1998 saat harga minyak nilam mencapai Rp 1,2 juta – 1,4 juta/Kg dari harga sebelumnya sekitar Rp 25 ribu – 250 ribu/Kg. Namun euforia ini tidak bertahan lama, harga nilam anjlok sehingga banyak lahan nilam yang beralih fungsi menjadi lahan sawit, jagung, dan lain-lain.

Anjloknya harga nilam, menurut Bupati Aceh Jaya, Teuku Irfan TB disebabkan petani masih menerapkan teknologi biasa dan serangan hama penyakit paku atau buduk. Harga nilam yang menurun drastis menyebabkan semangat petani memudar dan beralih ke sistem penanaman lain.

Untuk mengembalikan kejayaan nilam, Direktorat Jenderal Penguatan Inovasi Kemenristekdikti menginisiasi Klaster Inovasi (Klasinov) Nilam Aceh di Kabupaten Aceh Jaya pada 2017. Klasinov Nilam Aceh merupakan sebuah model pendekatan untuk peningkatan ekonomi rakyat, mendorong kolaborasi dan sinergi pelaku inovasi khususnya untuk industri nilam di Aceh

Melalui klaster ini, Teuku Irfan TB berharap petani dapat dibantu melalui teknologi penanaman, penyulingan dan kepastian pasar untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas minyak nilam rakyat. Penyakit pada tanaman nilam dan teknik penyulingan dengan kualitas rendah merupakan hambatan serius bagi masyarakat.

“Pada 2019 kami akan mengalokasikan anggaran melalui DAK (Dana Alokasi Khusus) sampai Rp 10 miliar untuk pengembangan industri nilam,” kata Teuku Irfan pada Rapat Koordinasi (Rakor) Pengembangan Klaster Inovasi Nilam Aceh di Jakarta, Senin (10/9/2018).

Dirjen Penguatan Inovasi Kemenristekdikti, Jumain Appe bersama Bupati Aceh Jaya, Teuku Irfan TB di sela Rakor Pengembangan Klaster Inovasi Nilam Aceh di Jakarta (10/9/2018)

Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kemenristekdikti, Jumain Appe mengatakan Klaster Inovasi merupakan upaya mendorong potensi-potensi unggulan daerah menjadi suatu sumber unggulan ekonomi dengan meningkatkan nilai tambah melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta inovasi.

“Klaster Inovasi Nilam Aceh merupakan sebuah model pendekatan untuk peningkatan ekonomi rakyat, mendorong kolaborasi dan sinergi pelaku inovasi khususnya untuk industri nilam di Aceh,” ungkap Jumain.

Untuk itu, Kemenristekdikti mendukung perguruan tinggi, pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk bersinergi membangun kembali kejayaan Nilam Aceh. Perguruan Tinggi dapat berperan sebagai pusat keunggulan (center of excellent) dalam menghasilkan teknologi yang diperlukan oleh masyarakat.

“Dunia usaha yaitu industri-industri yang selama ini sudah bergerak di sektor itu, tetapi belum mampu mengangkat nilai tambah dari produk Nilam Aceh, kita ajak bekerja sama dengan perguruan tinggi melalui penelitian dan pengembangan untuk memanfaatkan hasil-hasil teknologi agar meningkatkan nilai tambah dari produk unggulan tersebut,” tambahnya.

Pada kesempatan tersebut, Kepala Bappeda Kabupaten Aceh Jaya, Hendri Kusnadi mengungkapkan, pada tahun-tahun terakhir ini Kabupaten Aceh Jaya terus berupaya agar produksi nilam kembali bangkit baik melalui inovasi maupun industri.

Hendri mengisahkan budidaya nilam sudah dikenal sejak zaman Belanda. Nama nilam berasal dari singkatan nama Nederlands Indische Land ook Acheh Maatzchappij, sebuah perusahaan Belanda yang mengatur perdagangan dan sistem penjualan dari tanaman Patchouli. Perusahaan Belanda waktu itu bekerjasama dengan para Ulee Balang dalam pengelolaan ladang nilam di Aceh.

“Hasil penelitian menyebutkan Nilam Aceh atau Pogostemon cablin, Benth, merupakan nilam terbaik dunia dengan kandungan Patchouli Alkohol (PA) di atas 30 persen sehingga banyak dicari pihak luar negeri,” papar Hendri.

Budidaya Nilam di Aceh Jaya, lanjutnya, dilakukan secara turun temurun sejak 1985. Puncaknya pada 1998 saat harga minyak nilam mencapai 1,2 juta – 1,4 juta/Kg. Saat itu, petani nilam sangat sejahtera dan antusias menanam nilam karena pendapatan yang menjanjikan. Namun euforia ini tidak bertahan lama, harga nilam anjlok.

“Saat ini kehidupan petani nilam miskin dan tidak meningkat secara signifikan diakibatkan kebiasaan petani menjual langsung minyak nilam hasil sulingan tanpa memikirkan nilai tambah,” ungkapnya.

Sejak ada perhatian pemerintah dan kerjasama Atsiri Research Center (ARC) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), petani kembali semangat kembali menanam nilam. Melalui kerjasama dengan berbagai pihak, Pemkab Aceh Jaya bertekad mengembalikan kejayaan nilam.

Melalui klaster inovasi diharapkan terjadi penurunan angka kemiskinan melalui pengembangan industri nilam dari 14,85% pada 2017 menjadi 12,01% pada akhir 2022. “Pengembangan industri nilam ini kita harapkan bisa membuka perluasan lapangan kerja bagi masyarakat usia produktif,” lanjutnya.

Kabupaten Aceh Jaya memiliki luas wilayah 387 ribu hektar, terdiri dari 9 kecamatan, 21 mukim, 172 desa/kampung dengan penduduk 870.627 jiwa. Hendri berharap melalui klaster inovasi ini pertumbuhan ekonomi Aceh Jaya menjadi 5,98% pada 2022 dari 4,27% pada 2017. Selain itu, terjadi transfer teknologi kepada masyarakat dalam hal Klaster Inovasi Nilam.

Hendri memaparkan, Kabupaten Aceh Jaya memiliki peluang untuk pengembangan klaster Inovasi Nilam karena minat petani yang tinggi, daya dukung lahan yang sesuai, dan kepedulian terhadap inovasi bagi peningkatan nilai tambah. Pihaknya juga telah menginventarisasi berbagai masalah terkait industri Nilam Aceh.

Masalah industri Nilam Aceh antara lain ketersediaan bibit unggul tidak mudah diperoleh, sementara proses sertifikasi bibit tidak sederhana. Masalah lainnya, pola tanam dan panen masih tradisional, ketersediaan pupuk organik dan biopestisida tidak mudah diperoleh, serta alat penyulingan tradisional dari drum bekas menghasilkan produk dengan kualitas rendah.

“Sementara, ketel penyulingan stainless steel masih boros energi. Panas yang dihasilkan dari tungku pemanas air masih banyak yang terbuang karena isolasi dan desain bagian dalam ketel yang tidak optimal sehingga produk steam (uap panas air) yang digunakan untuk ekstraksi minyak hanya mencukupi untuk satu ketel dari dua ketel yang tersedia,” paparnya.

Kendala lainnya, produk turunan berbasis minyak nilam belum berkembang sehingga nilai tambah yang dihasilkan untuk peningkatan ekonomi masyarakat relatif kecil, akses permodalan perbankan belum memihak kepada petani, serta harga jual di tingkat petani relatif rendah.

Hendri mengungkapkan, Pemkab Aceh Jaya merencanakan pengembangan nilam pada 2018 di 8 kecamatan seluas 500 hektar, melalui sumber dana APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh) seluas 20 hektar, APBN 20 hektar, dan 200 hektar diupayakan melalui sumber dana ARC Unsyiah dan sisanya melalui PT Haldin. Pada 2019 rencananya akan dikembangkan melalui dana APBK (Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten) seluas 150 hektar.

Pada Rakor di Calang Aceh Jaya (7/9/2018) yang dikuti Kemenristekdikti, Bupati Aceh Jaya, Bank Indonesia perwakilan Aceh, Bappeda Aceh, ARC Unsyiah, PT. Haldin, Koperasi Industri Nilam Aceh (KINA), Dewan Atsiri Aceh, Institut Atsiri Brawijaya serta perwakilan masyarakat, menyepakati pentingnya komitmen bersama untuk pengembangan Klasinov Nilam Aceh.

Hendri berharap pihak kementerian terkait dapat mengalokasikan dana APBN untuk peralatan inovasi dan pengembangan industri nilam di Aceh Jaya, perbankan dapat memberikan SKIM kredit usaha rakyat (KUR) kepada petani nilam, terjaminnya bibit yang tahan organisme penganggu tanaman dan nilai produksi tinggi, serta terbentuknya kelembagaan pemasaran dan terjaminnya harga.

“Pengembangan nilam di Aceh Jaya sangat prospektif karena tingginya minat masyarakat dan kesesuaian lahan yang mendukung,” pungkasnya.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014). Buku terbarunya, Antologi Puisi Kuliner "Rempah Rindu Soto Ibu"
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author