Jakarta, Technology-Indonesia.com – Indonesia memiliki lahan kering seluas 53.963.705 hektare (ha) atau 28.67% dari seluruh luasan negeri ini. Lahan kering merupakan aset yang dapat digunakan mencapai swasembada pangan dan target Indonesia sebagai lumbung pangan dunia 2045. Untuk itu, teknologi pengelolaan lahan kering seyogyanya mendapatkan perhatian untuk mendongkrak produksi, terutama tanaman pangan.
Seiring upaya mencapai target-target di atas, Badan Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) menggelar Focus Group Discussion (FGD) Informasi dan Pengelolaan Lahan Kering pada awal Maret di Intelligence Room, BBSDLP – Bogor. Acara ini dihadiri peserta dari Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Ditjen Tanaman Horti, Ditjen Tanaman Pangan, Ditjen Perkebunan, Balai Besar Mekanisme Pertanian, Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), serta para peneliti lingkup BBSDLP.
Dalam kesempatan tersebut, Peneliti senior BBSDLP, Anny Mulyani memaparkan tentang ketersediaan data dan informasi sumberdaya lahan spasial/peta yang telah dibuat oleh BBSDLP. Diantaranya, Peta Tanah, Peta Lahan Baku Sawah (LBS), Peta Zona Agroklimat, Peta Pewilayahan Komoditas , Peta Lahan Kering Iklim Kering dan Lahan Kering Iklim Basah, Peta Lahan Gambut, Peta Sebaran Tebu Existing, dan Peta Sebaran Sawit.
BBSDLP, papar Anny, telah melakukan pemetaan skala 1:50.000 di 511 kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang dilaksanakan pada tahun 2016 sampai 2018. Selain itu pada skala dan kabupaten yang sama telah disusun Peta Kesesuaian Lahan untuk sembilan Komoditas Stategis, Peta Kawasan, dan Peta Rekomendasi Pengelolaan (RPL).
Sementara itu, Kepala BBSDLP, Husnain memaparkan kondisi, sifat, luas dan sebaran lahan kering di Indonesia. Lahan kering mencapai 60% dari total luas yang ada. “Lahan kering di Indonesia umumnya memiliki sifat masam, luasnya hampir 60% dari luas wilayah Indonesia,” tandasnya.
Husnain menjelaskan teknologi Badan Litbang Pertanian yang telah diterapkan dalam pengelolaan lahan kering masam untuk meningkatkan basa dan untuk meningkatkan P tanah sehingga dapat mengurangi jumlah pemakaian pupuk. Teknologi tersebut antara lain: pemberian kapur/dolomit, pemberian fosfat alam reaktif, serta pemberian pupuk kandang. Selain itu diterapkan juga budidaya jagung dengan pola zig zag , penggunaan pembenah tanah, pemberian bahan organik; serta pengelolaan hara tanah.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Balitklimat, Hermanto, menjelaskan dalam pengelolaan pertanian di lahan kering, air menjadi kunci utama. Guna meningkatkan produktivitas di lahan kering beberapa teknologi pengelolaan air telah diperkenalkan. Misalnya, teknologi panen air seperti pembuatan embung, dam parit, sumur dangkal, long storage, serta teknologi hemat air seperti mengurangi banyaknya air yang diberikan; mengurangi kebocoran-kebocoran saluran irigasi; meningkatkan produktivitas; pergiliran pemberian air; dan pemberian air secara terputus. Tidak kalah penting pengelolaan air (rekayasa petani) terutama pada wilayah lahan kering iklim kering dan lahan tadah hujan.
Melalui pemanfaatan informasi dan teknologi pengelolaan lahan kering ini diharapkan Kementerian Pertanian akan saling bersinergi dan saling support untuk melakukan optomalisasi lahan kering. Pengolahan lahan dapat dikembangkan dengan cara melakukan pengelolaan air dan penerapan teknologi untuk lahan kering. Kementerian Pertanian juga akan mengoptimalkan hasil produksi komoditas unggulan,seperti padi, jagung, tembakau, tebu dan cabai. (BBSDLP/SB/LQ)