Jakarta, Technology-Indonesia.com – Papua, negeri di ufuk timur tak pernah kehilangan cerita untuk diangkat kekhasan budaya masyarakatnya. Tak terkecuali kebiasaan mereka bertani. Secara kultural padi bukanlah tanaman adat bagi suku Marind di Merauke. Namun, mereka tetap menanam padi setiap musim tanam, khususnya pada musim hujan.
Kegiatan bertani ini dilakukan masyarakat yang berada di Kampung Senayu, salah satu kampung yang mayoritas penduduknya adalah masyarakat lokal Papua. Suku Marind merupakan penduduk asli Distrik Kimaam, Pulau Yos Sudarso. Demi harapan hidup baru mereka bermigrasi ke berbagai kampung di Distrik Merauke.
“Mereka mengembangkan pertanian padi organik. Mereka bercocok tanam padi secara berkelompok dalam lingkup keluarga dengan target untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga,” ungkap Muhammad Thamrin, Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Balitbangtan Papua.
Pada minggu (16/12/2018), M. Thamrin yang juga menjadi penanggung Jawab Upsus Pajale Papua berkesempatan tanam padi bersama di sebidang lahan di sekitar rumah Sirianus, salah seorang petani lokal. Kehadirannya disambut gembira oleh petani, mereka merasa diperhatikan, bisa berdialog langsung menyampaikan berbagai keluhan dan harapan untuk perbaikan sistem pertanian dan peningkatan produktivitas padi.
Meskipun lahan yang ditanami tidak luas, namun mereka tetap mengupayakan produksi lebih maksimal melalui pengaturan jarak tanam. Penanaman dilakukan dengan cara tugal-tanam benih langsung (tabela), sambil menunggu masuknya musim hujan.
Saat ini tercatat luas lahan sawah yang dikelola oleh masyarakat lokal di Merauke sebesar 3.400 ha, 10% dari total luas baku lahan sawah di Merauke, berkontribusi dalam produksi beras khususnya untuk kebutuhan lokal. Sebagian besar lahan yang digarap oleh petani masih sebatas IP 100 karena lahan tersebut merupakan tadah hujan. IP lahan tersebut masih berpotensi ditingkatkan, melalui perbaikan infrastruktur pengairan, bantuan mekanisasi, serta program lainnya yang berbasis masyarakat.
Tabela, menjadi sebuah pilihan percepatan tanam pada lahan tadah hujan di Kabupaten Merauke Papua. Lahan tadah hujan serta kondisi agroekosistem yang beragam menyebabkan pendekatan budidaya padi bervariatif antar lokasi, termasuk cara tanam. Sebagian petani memilih menanam dengan cara tanam pindah (tapin), sebagian lagi dengan tabela. Kelebihan sistem budidaya padi gogo rancah dibandingkan tapin adalah kebutuhan air pada awal tanam minim, penghematan tenaga kerja tanam dan biaya awal produksi dapat lebih efisien.
Pola tanam, tabela pendekatan gogo rancah, sebelum memasuki musim hujan, juga dilakukan oleh petani yang berada di Kampung Isanombias, Distrik Tanah Miring, Merauke. Kegiatan saat tanam bersama tersebut juga dihadiri Kepala Balitbangtan Papua (12/12/2018).
Kampung Isanombias merupakan salah satu wilayah “andalan” pengembangan padi di Distrik Tanah Miring, dengan luas baku lahan mencapai 1.325 ha. Berbeda dengan kebiasaan di Kampung Senayu, Hampir seluruh lahan indeks pertanamannya mencapai 200. Saat ini petani membutuhkan dukungan mesin pertanian, seperti traktor roda empat, mesin panen, dan pompa air untuk percepatan tanam.
Pada aspek varietas, teknologi padi dari Balitbangtan telah masuk di Isanombias, melalui penggunaan varietas Inpari 32 HDB dan Inpari 42. Pada periode tanam Okmar 2019, Balitbangtan akan melakukan uji varietas untuk lahan rawa di daerah tersebut, seperti Inpara 3 dan Inpara 8 di lahan petani.
Dengan perbaikan teknologi melalui penggunaan varietas unggul baru padi dan teknologi budidaya lainnya diharapkan mampu meningkatkan produktivitas padi secara signifikan ditingkat petani.