Jakarta, Technology-Indonesia.com – Kementerian Pertanian (Kementan) telah menggunakan sistem informasi dalam mengelola database pertanian termasuk database infrastruktur pertanian untuk menghasilkan rekomendasi pengelolaan dan kebijakan pembangunan pertanian.
Hal tersebut disampaikan Staf Ahli Menteri Bidang Infrastruktur Pertanian, Prof. Dedi Nursyamsi dalam acara International Training on Digital Soil Property Mapping and Information Delivery pada Senin (22/4/2019) di Hotel Alala, Yogyakarta.
Selanjutnya Dedi mengatakan bahwa Kementan telah menghasilkan berbagai sistem informasi, antara lain kalender tanam terpadu (KATAM TERPADU), sistem informasi pemantauan tanaman pertanian (SIMANTAP), sistem informasi pemantauan tanaman padi (SIMOTANDI), INAagrimap, CYBER EXTENSION, serta sistem informasi dan managemen spasial prasarana dan sarana pertanian (SiMANIS).
“Kementan juga sudah mulai memasuki era Industri 4.0 melalui kombinasi sistem informasi dengan Internet of Thing (IoT), big data, artificial intelligence, robot, dan lain-lain,” ujar Dedi menambahkan.
Pelaksana tugas Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Dr Haris Syahbuddin mewakili Kepala Badan Litbang Pertanian dalam arahannya mengatakan bahwa data sumberdaya lahan harus digunakan selain untuk perencanaan pembangunan pertanian juga untuk mendukung implementasi teknologi spesifik lokasi. Teknologi spesifik lokasi tergantung karakteristik tanah dan iklim serta karakteristik sosial setempat sehingga dalam implementasinya harus memperhatikan aspek tersebut.
Data dan informasi serta teknologi pengelolaan sumberdaya lahan, lanjutnya, harus di-delivery kepada stakeholder dengan tepat dan cepat. Untuk itu pengelolaan data dan informasi serta teknologi sumberdaya lahan harus menggunakan sistem informasi karena sistem ini dapat menyediakan rekomendasi pengelolaan lahan dan kebijakan pembangunan pertanian.
Pakar pemetaan tanah digital atau digital soil map (DSM) dari University of Sydney Prof. Budiman Minasny mengatakan metode DSM telah berkembang pesat di dunia internasional. Hasil metode ini, menurut Budiman sama baiknya dengan metode konvensional tapi biayanya jauh lebih murah karena memanfaatkan data yang sudah ada (data sekunder) dan hanya sedikit saja memerlukan ground check di lapangan. Selain itu metode ini juga lebih objektif karena menggunakan pendekatan statistik dalam mendeliniasi satuan peta tanah.
Peserta training terdiri dari para peneliti dari Badan Litbang Pertanian, staf dari direktorat jenderal teknis, dan perguruan tinggi. Training ini juga menghadirkan para instruktur dari University of Sydney, Food and Agricultural Organization (FAO), INRA France, LDD Thailand, dan para pakar dari Badan Litbang Pertanian. Agung Setyo/Kementan