Inovasi Teknologi Pengolahan Hijauan Pakan Ternak Dukung Swasembada Daging

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Kontribusi daging sapi lokal dalam penyediaan daging nasional masih rendah karena lambatnya kenaikan populasi dan produksi sapi potong. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi daging sapi lokal adalah meningkatkan ketersediaan pakan sapi, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Prof. Dr. Gunawan, MS menyampaikan hal tersebut dalam Orasi Pengukuhan Profesor Riset Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian bidang nutrisi dan teknologi pakan, di Auditorium Sadikin Sumintapura, Bogor (11/12/2018). Pada acara tersebut, Gunawan menyampaikan orasi berjudul “Inovasi Teknologi Pengolahan Hijauan Pakan Ternak dan Pakan Tambahan Pada Sapi Potong untuk Mendukung Swasembada Daging.”

Gunawan mengungkapkan potensi hijauan pakan ternak (HPT) di Indonesia cukup besar, yaitu 58,1 juta ton bahan kering (BK) per tahun, terdiri atas 13,7 juta ton rumput, 35,5 juta ton jerami padi, dan 8,9 juta ton hasil samping tanaman pangan lainnya. Meskipun demikian, kebutuhan pakan sapi potong sebesar 29,4 juta ton BK diperkirakan masih belum tercukupi. Sebab, sebagian HPT juga digunakan untuk pakan sapi perah, kerbau, kambing dan domba, bahkan untuk penggunaan non pakan.

Selain itu, potensi hasil samping tanaman perkebunan juga cukup besar, terutama dari perkebunan sawit dan kakao. Namun hingga saat ini, hasil samping dari perkebunan sawit dan kakao masih sedikit (kurang dari 4%) yang dimanfaatkan untuk pakan ternak. “Penggunaan pakan tambahan bagi sapi potong baik berupa pemanfaatan hasil samping perkebunan dan agroindustri atau penambahan konsentrat masih jarang dilakukan oleh peternak,” tuturnya.

Menurut Gunawan, ketersediaan sumber HPT yang tidak merata sepanjang tahun dan masih rendahnya pemanfaatan hasil samping pertanian memerlukan inovasi teknologi pengolahan HPT. Pengolahan HPT pada saat produksi hijauan melimpah merupakan salah satu upaya mengatasi kekurangan pakan. Disamping itu, pakan tambahan juga diperlukan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong.

Teknologi pengolahan HPT dan pakan tambahan untuk sapi potong telah banyak diteliti, antara lain teknologi hay, amoniasi, silase dan pembuatan konsentrat. “Namun hingga kini penerapan inovasi tersebut masih sedikit. Akibatnya, produktivitas sapi potong di tingkat peternak masih rendah, sehingga penyediaan daging sapi lokal kurang dan masih jauh dari target swasembada daging,” ungkap Gunawan.

Pakan hijauan yang diberikan peternak, lanjut Gunawan, umumnya belum memenuhi kuantitas dan kualitas yang diperlukan oleh sapi. Peternak hanya memanfaatkan sumber pakan yang tersedia di lingkungan sekitar tanpa memperhitungkan estimasi kebutuhan minimal ternak, baik dari aspek jumlah pakan yang harus diberikan maupun variasi jenis bahan pakan sebagai sumber serat, protein, energi, vitamin dan mineral. Kondisi ini antara lain disebabkan minimnya pengetahuan peternak tentang nutrisi yang dibutuhkan oleh ternak dan keterbatasan modal.

Hasil penelitian menunjukkan, pemberian pakan sapi dalam bahan kering (BK) masih sebesar 1,6-1,9% bobot badan dan mengandung protein kasar sekitar 8,3-9,2%. Pemberian pakan tersebut menghasilkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi masih rendah sekitar 0,07-0,25 kg/ekor/hari. Rendahnya PBBH sapi terjadi karena standar kebutuhan pakan dalam BK sebesar 2,5% bobot badan dan kandungan protein kasar sebesar 10,3% dalam ransum tidak terpenuhi.

Apabila pakan tambahan dan pengolahan HPT belum dilakukan, menurut Gunawan, upaya untuk meningkatkan PBBH sapi dapat dilakukan dengan menambahkan daun leguminosa. Penggunaan daun leguminosa 4% dalam ransum menghasilkan PBBH 0,12 kg/ekor/hari, sedangkan penggunaan 20% dalam ransum menghasilkan PBBH 0,40 kg/ekor/hari.

Inovasi teknologi pengolahan HPT dalam bentuk hay, amoniasi dan silase serta pemberian pakan tambahan merupakan solusi swasembada daging sapi nasional. Teknologi pengolahan HPT dalam bentuk amoniasi dan silase selain mampu meningkatkan nutrisi pakan juga sekaligus dapat digunakan sebagai cadangan pakan pada musim kemarau.

Lebih lanjut Gunawan menerangkan, teknology hay atau rumput kering merupakan teknologi pengeringan HPT untuk menurunkan kadar air hingga maksimal 20%, sehingga HPT dapat disimpan sebagai cadangan pakan. Pengolahan hay ideal dilakukan di daerah lahan kering karena pengeringan dapat dilakukan secara cepat sehingga kehilangan nutrisi pada HPT relatif kecil dan kualitas hay terjaga baik.

Penggunaan hay sebanyak 100% untuk pakan sapi potong tidak dianjurkan, karena akan menyebabkan sapi kekurangan gizi. Karena itu, penggunaan hay untuk pakan sapi perlu ditambahkan pakan tambahan berupa konsentrat. Konsentrat tersebut terdiri atas campuran bungkil kelapa sawit 80% dan dedak padi 20%.

Komposisi pakan dengan hay sebanyak 30% dan konsentrat 70% pada sapi Peranakan Ongole (PO) jantan menghasilkan PBBH 0,21 kg/ekor/hari. Sedangkan pada sapi Peranakan Friesian Holstein (FH) jantan menghasilkan PBBH 0,22 kg/ekor/hari. Pada sapi Bali jantan, penggunaan hay jerami sorgum 80% dan jerami jagung 20% ditambah 0,5 kg konsentrat menghasilkan PBBH 0,28 kg/ekor/hari.

Amoniasi adalah pengolahan HPT menggunakan bahan kimia (amonia) untuk mengawetkan, meningkatkan protein kasar dan kecernaan jerami. Amoniasi dapat dilakukan dengan menambahkan urea sebanyak 2-5% dari bahan kering (BK) jerami padi. Penambahan urea sebanyak 4% BK pada jerami padi dilaporkan memberikan proses amoniasi yang terbaik, karena dihasilkan protein kasar (PK) jerami padi amoniasi 11,9% lebih tinggi dari rumput lapang yaitu 7,5%.

Jerami mengandung protein 5% dan kecernaan 30-40%, lebih rendah dibandingkan rumput yang mengandung protein 6-10% dan kecernaan 50% sehingga jerami padi perlu diamoniasi sebelum digunakan untuk pakan sapi potong. Pada sapi PO, penggunaan jerami padi amoniasi ad libitum ditambah 2,9 kg dedak padi menghasilkan PBBH 0,71 kg/ekor/hari. Sedangkan penggunaan jerami padi ad libitum ditambah 2,9 kg dedak padi menghasilkan PBBH 0,40 kg/ekor/hari.

Sementara, silase merupakan teknologi pengolahan HPT dengan teknik penyimpanan dalam keadaan segar pada suatu tempat yang kedap udara (silo) sehingga mengalami fermentasi dalam keadaan an-aerob. Hijauan yang baik untuk dibuat silase adalah rumput, hasil samping tanaman pangan dan perkebunan yang memiliki kadar air 65-75%.

Silase umumnya memiliki kadar PK lebih tinggi daripada hijauan segar. Rumput Brachiaria brizanta, rumput gajah dan rumput lapang masing-masing memiliki kadar PK 5,4%, 6,5% dan 7,5%; dalam bentuk silase menjadi 7,7%, 7,0% dan 10,4%23. Silase rumput diberikan ad libitum pada sapi potong menghasilkan PBBH 0,20 kg/ekor/hari, dan jika ditambah konsentrat ad libitum menghasilkan PBBH 0,80 kg/ekor/hari.

“Inovasi teknologi pengolahan HPT dan pakan tambahan secara luas berperan besar dalam peningkatan produktivitas sapi potong, yang sangat mendukung upaya tercapainya swasembada daging sapi secara nasional. Inovasi teknologi pengolahan HPT juga berperan dalam mewujudkan posisi Indonesia sebagai lumbung pakan sapi potong,” pungkasnya.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author