Jakarta, Technology-Indonesia.com – Populasi penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 260 juta memerlukan dukungan pangan yang luar biasa. Pemenuhan pangan akan sangat berat jika hanya mengandalkan beras, sementara ketergantungan impor terigu semakin besar. Untuk itu, Indonesia perlu mengembangkan pangan lokal seperti seperti ubikayu, jagung, umbi-umbian dan lain-lain.
Hal ini sesuai dengan arahan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo pada saat meluncurkan Gerakan Diversifikasi Pangan Sumber Karbohidrat Non beras, Minggu (28/6/2020).
“Diversifikasi pangan lokal adalah kekayaan dan budaya bangsa. Bukan hanya beras yang kita miliki. Tapi yang kita miliki berbagai pangan lainnya, ada ubi-ubian, jagung, sorgum, sagu, kentang, labu, dan lainnya,” ujar Mentan SYL. Upaya sekecil apapun, lanjutnya, akan menjadi langkah untuk turut memperkuat ketahanan bangsa yang artinya kita memiliki kekuatan dan kemampuan bersama.
Kepala Balitbangtan, Fadjry Djufry pada kesempatan berbeda mengatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan teknologi produksi dan diversifikasi sumber karbohidrat. “Saat ini pangan karbohidrat juga tidak hanya bertumpu pada beras dan harus didiversifikasi. Maka biodiversitas amat penting. Hampir semua tepung sudah dikuasai teknologinya,” jelasnya.
Peneliti Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB Pascapanen) Balitbangtan, Dr Misgiyarta mengatakan ubikayu/kasava atau biasa juga disebut singkong paling potensial sebagai sumber pangan lokal karena produktivitasnya tinggi. Pada tanah yang subur, varietas ubikayu tertentu produktivitasnya bisa mencapai 50 ton/hektare. Tanaman ubikayu juga bisa tumbuh dan menghasilkan umbi di tanah marjinal.
“Tanaman ubikayu juga tersebar di seluruh Indonesia. Masyarakat telah mengenal teknologi budidaya maupun pengolahan pada tingkat sederhana. Karena itu ubikayu juga bisa mendukung kemandirian pangan, karena sangat cocok di ekosistem Indonesia,” kata Misgiyarto dalam Webinar Bincang Inovasi #Seri 1: Gali Geliat Industri Pangan Lokal Asal Ubikayu pada Kamis (13/8/2020).
Berdasarkan Statistik Pertanian tahun 2019, produksi ubikayu pada 2014 mencapai di atas 23 juta ton, namun terus mengalami penurunan hingga 16 juta ton pada 2018. Rata-rata penurunan 15% setiap tahun. Salah satu penyebabnya karena penurunan produktivitas dan luasan lahan.
“Hal ini sangat mengkuatirkan dari sisi ketersediaan sumber pangan pokok. Di sisi lain, ubikayu merupakan komoditas yang rentan fluktuasi harga di pasaran. Saat panen serentak, harga ubikayu turun drastis,” terang Misgiyarta.
Sentra produksi ubikayu di Indonesia ada di provinsi Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Utara. Biasanya ubikayu segar diolah menjadi bahan baku tapioka atau tepung gaplek/singkong.
Namun, menurut Misgiyarta, tepung singkong memiliki sifat-sifat yang menyebabkan produk olahan tepung singkong kurang disukai konsumen dan nilai ekonominya rendah, diantaranya bau, kurang putih, pahit, kurang elastis, dan kurang mengembang.
“Untuk itu, Badan Pengembangan dan Penelitian Pertanian (Balitbangtan) mengembangkan teknologi pembuatan/produksi Mocaf dengan memperbaiki parameter-parameter kualitas tepung singkong,” terangnya. Teknologi tersebut adalah teknologi pembuatan tepung kasava termodifikasi secara biologi (Biologically Modified Cassava Flour/Bimo-CF).
Aplikasi teknologi ini menggunakan starter Bimo-CF yang terdiri dari bahan pembawa dan bahan aktif bakteri asam laktat. Starter Bimo-CF dibuat dari bahan baku pembawa berupa tepung ditambahkan bahan pengaya nutrisi konsentrasi tertentu untuk meningkatkan efektivitas dan stabilitas.
Misgiyarta mengatakan, berdasarkan struktur umbi, di bawah kulit tebal ubikayu ada semacam lendir tempat konsentrasi HCN yang berpengaruh pada derajat putih, aroma, dan rasa pahit sehingga kualitasnya rendah. Teknologi Mocaf (modified cassava flour) yang dikembangkan Balitbangtan bisa merekayasa untuk menghilangkan bau, meningkatkan derajat putih, mengurangi pahit, meningkatkan elastisitas, dan meningkatkan daya kembang.
Tepung kasava termodifikasi ini adalah tepung yang terbuat dari ubikayu yang diproses menggunakan prinsip memodifikasi sel ubikayu secara fermentasi. Fermentasi menggunakan starter Bimo-CF dapat mengubah karakteristik tepung yang dihasilkan menjadi lebih halus, mengembang dan flavour tepung netral disukai konsumen dan warna tepung lebih putih.
Aplikasi starter Bimo-CF yang dikembangkan Balitbangtan ini sederhana yaitu langsung ditaburkan pada air untuk merendam kasava. Dosisnya 1 kg starter Bimo-CF untuk 1 ton kasava kupas. Dengan starter ini, proses fermentasi sekitar 12 jam, lebih singkat dari fermentasi biasa yang memerlukan waktu 2-3 hari. Tepung Mocaf yang dihasilkan karakteristik tektur tepung lebih halus, mengembang, tidak beraroma ubikayu dan lebih putih.
Tepung mocaf ini lebih sehat karena tidak mengandung gluten, rendah protein, dan manfaatnya hampir menyamai tepung terigu. Tepung kasava termodifikasi ini cocok untuk aneka produk olahan kue, cake, bolu, biskuit, dan mie.
Selain lebih efektif, menurut Misgiyarta, teknologi ini juga zero waste. Limbah air, misalnya, dimanfaatkan untuk media untuk produksi Nata de Cassava dan substrat produksi asam laktat. Limbahnya juga bisa dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman atau produksi biogas.
Misgiyarta mengatakan teknologi produksi tepung Mocaf ini sudah diaplikasikan oleh mitra industri dan kelompok tani di beberapa daerah. Teknologi ini berpotensi dikembangkan secara komersial untuk industri dan pelaku usaha yang menyediakan bahan baku bagi industri pangan olahan. Ia berharap berharap teknologi ini terus berkembang dan dimanfaatkan oleh masyarakat agar bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Webinar tersebut juga menampilkan Riza Azyumarridha Azra, pemilik Rumah Mocaf Indonesia yang telah menggeluti ubi kayu menjadi tepung Mocaf selama hampir 5 tahun. Melalui Rumah Mocaf dengan konsep sociopreneur, Riza berjuang mengubah image produk pangan berbahan baku ubikayu dan meningkatkan ekonomi petani di Banjarnegara.
Pembicara lainnya adalah Prof. Dr. Tatiek Farianti Djaafar dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta yang membahas pengembangan diversifikasi produk ubikayu di Yogyakarta, serta Dr. Muhammad Asegaf dari BPTP Maluku Utara yang memaparkan tentang inovasi teknologi untuk meningkatkan nilai tambah pangan lokal berbasis ubikayu.