Jakarta, Technology-Indonesia.com – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2019, luas panen padi diperkirakan sebesar 10,68 juta hektare dengan produksi sebesar 54,60 juta ton GKG. Jika dikonversikan menjadi beras, produksi beras pada 2019 mencapai sekitar 31,31 juta ton. Dibandingkan tahun 2018, produksi beras ini mengalami penurunan sebanyak 2,63 juta ton (7,75%).
Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan penghitungan luas panen ini menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA) yang dimulai sejak 2017 dengan memanfaatkan teknologi citra satelit dan peta lahan baku sawah. Pada metode KSA, data produksi padi diperoleh dari perkalian luas panen dan produktivitas atau produksi per hektare.
Metode KSA merupakan hasil kerjasama dan kolaborasi antara BPS, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN), Kementerian Pertanian, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Informasi Geospasial (BIG), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Lebih lanjut Suhariyanto mengatakan bahwa beras merupakan makanan pokok bagi penduduk Indonesia dan mempunyai arti sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Ketidakstabilan harga beras akan berdampak besar kepada inflasi dan kemiskinan, sehingga stabilisasi harga beras harus terus dijaga. Untuk bisa menghasilkan hal tersebut, akurasi data beras harus mendapat perhatian utama.
“Untuk memperbaiki akurasi data beras, dari waktu ke waktu kita melakukan penyempurnaan metodologi. Dalam posisi yang ideal, metodologi tersebut harus menggunakan ukuran yang objektif, menggunakan teknologi terkini, dan up to date. Metodologi tersebut juga harus transparan artinya semua pihak mengecek dan hasilnya harus sama,” kata Suhariyanto dalam acara rilis Luas Panen dan Produksi Padi 2019 di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (4/2/2020).
Pada kesempatan yang sama, Kementerian Pertanian meluncurkan Agriculture War Room (AWR) sebagai pusat data dan sistem kontrol pembangunan pertanian nasional berbasis teknologi. Sistem ini nantinya akan digunakan sebagai pemicu tumbuh kembangnya produksi pertanian diatas angka rata-rata.
Untuk mengestimasi luas panen menggunakan Metode KSA, terang Suhariyanto, tahap pertama adalah menentukan peta lahan baku sawah. Luas lahan baku sawah 2019 yang dirilis Kementerian ATR/BPN sebesar 7,46 juta hektare. Luas lahan baku sawah terluas ada di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan.
Peta luas lahan baku sawah ini kemudian digabungkan dengan peta rupa bumi dan peta administrasi ditambah dengan peta tutupan lahan. “Hasil overlay dari 4 peta inilah yang kita satukan dan kemudian kita ambil sampel berupa luasan sawah dalam bentuk segmen berukuran 300 x 300 meter persegi. Jumlah segmen tersebut kita kunci koordinatnya dan petugas harus datang ke sana dengan menggunakan handphone-nya memotret lapangan,” terangnya.
Petugas hanya bisa mengambil gambar ketika mereka berada di dalam radius 10 meter persegi. Setiap bulan, petugas di lapangan harus mendatangi sekitar 218.000 titik amatan. Hasil foto dikirim ke server untuk menentukan lahan tersebut dalam fase persiapan lahan, vegetatif awal, vegetatif akhir, masa panen atau terjadi perubahan fungsi lahan.
“Untuk menjaga transparansi kita mengundang para ekonomi pertanian dari universitas, anggota forum masyarakat statistik, dan juga wartawan untuk ikut cek ke lapangan,” lanjutnya.
Hasil KSA tahun 2018 diperoleh total luas panen sebesar 11,38 juta hektare dengan puncak panen pada Maret 2018. Sementara pada 2019 terjadi penurunan total luas panen sebesar 6,15% karena cuaca ekstrem yang mengakibatkan banjir di awal tahun maupun kemarau panjang.
Penurunan total luas panen berimbas pada produksi padi yang menurun dari 59,2 juta ton gabah kering giling (GKG) menjadi 54,60 juta ton GKG. Penurunan produksi padi terjadi hampir di semua provinsi, terutama untuk provinsi sentra produksi seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.
“Pergerakan fluktuasi produksi padi inilah yang membuat pergerakan harga gabah. Ketika produksi padinya tinggi, harga gabahnya akan turun. Sebaliknya ketika produksi padinya rendah, harga gabahnya akan mengalami kenaikan. Karena itu, pemerintah selalu memberi perhatian pada situasi sejak bulan November, Januari, dan Februari,” terang Suhariyanto.
Dari pergerakan harga terakhir, BPS merilis harga gabah kering panen meningkat sebesar 1,13%, namun harga beras sangat terkendali hanya naik 0,85%. Menurut Suhariyanto, hal itu yang menyebabkan andil beras pada inflasi pada tahun 2019 sangat-sangat kecil.
Untuk memperkirakan produksi beras, BPS menggunakan konversi 64,02% dari produksi gabah kering giling. Dari hasil konversi tersebut, total produksi beras pada 2018 sebesar 33,94 juta ton dan pada 2019 adalah 31,31 juta ton. Sementara kebutuhan beras Indonesia selama setahun sekitar 29,6 juta ton.
Jika membandingkan produksi beras dengan kebutuhan konsumsi beras maka pada 2018 terjadi surplus beras sebesar 4,37 juta ton, dan pada 2019 masih mengalami surplus beras sebesar 1,53 juta ton. “Itu yang menyebabkan mengapa harga beras pada tahun 2019 masih bergerak stabil apalagi cadangan beras yang kita punya sekarang ini juga cukup besar,” tuturnya.
Menurut Suhariyanto, pergerakan produksi dan surplus beras antar waktu dan antar provinsi harus terus diperhatikan sebab ada provinsi yang mengalami surplus, ada provinsi yang defisit. “Karena itu kebijakan yang terkonsentrasi kepada ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, keterjangkauan harga dan komunikasi yang efektif antara pusat dan daerah menjadi sebuah kunci yang harus diperhatikan dari waktu ke waktu,” pungkasnya.