Bacteriophage untuk Pengendalian Foodborne Patogen E. Coli O157:H7

Bogor, Technology-Indonesia.com – Di tengah pandemi, selain Corona Virus Diseases 2019 (Covid-19) ada beberapa penyakit lain yang harus diperhatikan, diantaranya zoonosis dan foodborne disease. Zoonosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Sementara, foodborne disease merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui konsumsi makanan dan minuman.

Tati Ariyanti peneliti bidang bakteriologi dari Balai Besar Penelitian Veteriner (BBlitvet) menerangkan bahwa salah satu foodborne patogen adalah Escherichia coli (E. coli) O157:H7. Escherichia coli merupakan mikroflora normal pada saluran pencernaan manusia dan hewan.

E. coli bisa berubah menjadi patogen ketika diekskresikan ke luar tubuh dari hewan atau manusia. Patogen itu bisa terjadi karena membawa gen virulensi, yang dibawa oleh perantara,” terang Tati pada Bimbingan Teknis (Bimtek) Hilirisasi Inovasi Balitbangtan, Science Sharing: Zoonosis dan Foodborne Disease pada Rabu (28/7/2021).

Beberapa E. coli patogen ini dimasukkan dalam enam group yang disebut diarrheagenic group karena memiliki gejala utama yaitu diare. Dari enam group tersebut, yang paling berbahaya adalah Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC)  yang mempunyai verotoksin. Salah satu strainnya adalah E. coli O157:H7.

Menurut Tati, E. coli O157:H7 ini bisa menginfeksi ternak maupun manusia. Reservoar alamnya adalah sapi yang terinfeksi E. coli O157:H7, biasanya sapi dewasa atau indukan sapi namun tidak menunjukkan gejala klinis. Sifatnya asimtomatik karena sebagai karier. Tetapi ketika mengekskresikan fesesnya, bakteri bisa ada pada fesesnya.

“Feses yang mengandung bakteri ini bisa mengkontaminasi anaknya (neonatal) dengan gejala diare. Feses ini bisa ditransmisikan secara langsung pada petugas di kandang melalui pencemaran pada peralatan seperti sepatu, baju dan lain-lain. Feses tadi juga bisa mencemari hewan-hewan yang ada di lingkungan peternakan,” terang Tati.

Petugas kandang yang terinfeksi ini juga bisa menularkan E. coli O157:H7 jika ada kontak dengan orang yang sehat. Manusia bisa juga terinfeksi ketika mengkonsumsi produk makanan yang terkontaminasi bakteri E. coli O157:H7. “Bakteri ini disebut foodborne patogen karena bisa masuk ke tubuh manusia melalui makanan,” lanjutnya.

Gejala klinis yang muncul ketika seseorang terinfeksi E. coli O157:H7 biasanya muntah, mual, kejang pada perut dan diare. Gejala bisa berlanjut pada gejala keparahan tergantung dari dosis yang masuk dan kerentanan individu. Risiko yang rentan adalah pada orang-orang dengan kekebalan yang rendah seperti bayi, orang sakit, anak-anak, maupun manula.

“Ketika toksin sudah dikeluarkan itu bisa sangat berbahaya. Jika menempel pada sel epitel usus dapat mengakibatkan kerusakan pada saluran pencernaan hingga terjadi perdarahan di saluran usus dan menyebabkan diare berdarah. Apabila toksin ini melekat pada sel epitel ginjal bisa menyebabkan kerusakan sel-sel ginjal dan penderita akan mengalami gagal ginjal,” tuturnya.

Tati menerangkan, untuk mengurangi kejadian infeksi E. coli O157:H7 pada ternak sapi saat pemeliharaan bisa dilakukkan dengan monitoring rutin terhadap keberadaan E. coli O157:H7. Selanjutnya, pengurangan faecal shedding-nya melalui modifikasi pakan yaitu pemberian probiotik dan menggunakan bacteriophage. Pengendalian di rumah pemotongan hewan (RPH) juga bisa dilakukan untuk mencegah kontaminasi pada daging saat proses penyembelihan.

Pencegahan juga dilakukan saat handling makanan secara safe food handling practices. Caranya, menjaga kebersihan dengan mencuci tangan sebelum mengolah makanan dan mencuci peralatan yang digunakan. Selanjutnya, menyimpan makanan mentah seperti daging pada suhu dingin (refrigerator/freezer).

Selain itu perlu memisahkan antara daging yang bisa berpotensi membawa E. coli O157:H7 maupun peralatan yang digunakan dari makanan siap saji. “Ini penting sekali dilakukan untuk mencegah kontaminasi dan perpindahan E. coli dari daging ke makanan siap saji,” terang Tati. Terakhir, memasak makanan dengan suhu tepat untuk mencegah terjadi penyebaran lebih lanjut ke makanan.

Pengendalian foodborne patogen E. coli O157:H7 juga bisa dilakukan dengan menggunakan bacteriophage, sejenis virus yang mampu menginfeksi sel bakteri yang ada dalam tubuh ternak, manusia, dan lingkungan. Bacteriophage ini bisa dimanfaatkan untuk pengendalian maupun diagnostik E. coli O157:H7.

Untuk pengendalian E. coli, bacteriophage bisa diterapkan di rantai makanan di peternakan sampai siap saji. Di perternakan, bacteriophage bisa digunakan untuk terapi dengan tujuan mengurangi kolonisasi bakteri dan sebagai biosanitasi untuk mengurangi kontaminasi pada peralatan maupun permukaan kontak seperti lantai.

Bacteriophage juga bisa digunakan sebagai biokontrol untuk mengurangi kontaminasi pada bahan pangan, rantai makanan, atau lingkungan. Terakhir, bacteriophage bisa digunakan sebagai biopreservasi, sebagai pengawet alam.

“Keberhasilan aplikasi bacteriophage harus didukung dengan pemberian dosis yang tepat berupa campuran faga dengan volume dan konsentrasi tertentu. Aplikasi bacteriophage terbukti potensial karena aman, bersifat spesifik, dan mempunyai aktivitas antimicrobial,” pungkasnya.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author