TechnologyIndonesia.id – Perundingan perjanjian plastik global di Jenewa, Swiss, gagal mencapai konsensus untuk mengakhiri polusi plastik. Namun, Indonesia memilih untuk tidak menunggu dan sudah menyiapkan rencana aksi nasional 26 poin.
Upaya dunia internasional untuk mencapai perjanjian global guna mengakhiri pencemaran plastik mengalami kegagalan setelah para pemimpin dunia tidak berhasil mencapai kesepakatan dalam perundingan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa yang berakhir pada Jumat lalu.
Perundingan yang berlangsung selama dua minggu tersebut menemui jalan buntu karena ketidaksepakatan mendasar mengenai apakah produksi plastik global harus dihentikan pertumbuhannya atau tidak. Kebuntuan ini membuat kemajuan global dalam mengatasi masalah pencemaran plastik menjadi tidak jelas arahnya.
Indonesia Tidak Menunggu Kesepakatan Global
Meskipun perundingan global mengalami kegagalan, Indonesia memilih untuk tidak menunggu dan siap maju dengan tindakan nasional. Sebuah laporan baru yang didanai Inggris dan dipimpin oleh Universitas Brunel London memberikan peta jalan yang jelas bagi Indonesia dan negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa untuk mengatasi limbah plastik dengan cara mereka sendiri.
Laporan kebijakan berjudul “Evidence-Based Strategies for Reducing Plastic Waste in Indonesia” (Strategi Berbasis Bukti untuk Mengurangi Limbah Plastik di Indonesia) dirilis hanya beberapa hari setelah pembicaraan Jenewa runtuh. Laporan tersebut menawarkan 26 langkah praktis untuk mengurangi polusi plastik.
Langkah-langkah yang direkomendasikan mencakup pembatasan progresif hingga pelarangan total pembuangan dan pembakaran sampah plastik, mendesain ulang kemasan, meningkatkan layanan pengelolaan limbah, dan mendukung para pekerja yang menangani daur ulang.
Kerumitan Mencapai Konsensus Global
Professor Susan Jobling, penulis utama laporan tersebut, mengakui bahwa kegagalan perundingan perjanjian menunjukkan betapa sulitnya mencapai konsensus global.
“Keruntuhan pembicaraan perjanjian menunjukkan betapa sulitnya konsensus global,” kata Professor Susan Jobling.
“Tetapi negara-negara seperti Indonesia tidak bisa menunggu. Setiap penundaan berarti lebih banyak limbah plastik masuk ke sungai, lautan, dan rantai makanan, lebih banyak yang dibakar di komunitas, lebih banyak tekanan pada pekerja limbah, dan lebih banyak kerusakan konsekuen pada kesehatan, mata pencaharian, dan dunia alami,” imbuhnya.
Jobling menekankan bahwa laporan kebijakan tersebut menyediakan alat yang dibutuhkan Indonesia untuk bertindak sekarang mengurangi polusi pada sumbernya, memperkuat tata kelola, dan melindungi masyarakat serta alam.
Kontribusi Peneliti Indonesia
Tim Penelitian Sampah Plastik Laut di Pusat Riset Oseanografi BRIN (PRO BRIN), yang dipimpin oleh Professor Muhammad Reza Cordova berkolaborasi dengan tim peneliti dari Pusat Riset Ekologi dan Etnobotani, Radisti Praptiwi, serta Universitas Plymouth, turut berkontribusi dalam laporan kebijakan PISCES yang mempertajam agenda Rencana Aksi Plastik Nasional Indonesia 2026.
Prioritas tim tersebut adalah memodernisasi data dan infrastruktur untuk limbah padat, menghilangkan pembakaran terbuka, dan membangun kerangka kerja Monitoring Reporting Verification (MRV) nasional agar kebijakan plastik benar-benar berbasis bukti dan dapat dipertanggungjawabkan.
Professor Cordova menekankan pentingnya data yang akurat sebagai dasar perencanaan. “Kita tidak bisa hanya membangun infrastruktur. 0,63 kg/kapita/hari harus menjadi jangkar investasi dan perencanaan kapasitas layanan.
Tanpa baseline yang realistis, strategi akan selalu mengejar masalah. Pembakaran terbuka bukanlah solusi. Dampak kesehatan dan iklimnya serius. Target eliminasi harus dikunci dalam regulasi lokal dan kebijakan iklim, didukung oleh pendidikan publik dan penegakan yang konsisten,” ujar Cordova.
Dalam penelitian PISCES terkait, Radisti Ayu Praptiwi berkolaborasi dengan peneliti dari Universitas Esa Unggul dan University of Plymouth, Inggris, mengkaji bagaimana pencemaran plastik merusak ekosistem pesisir dan laut serta mengancam kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada ekosistem tersebut.
“Studi kami mengungkap dampak negatif yang luas dari plastik terhadap manusia maupun lingkungan,” kata Praptiwi. “Begitu plastik masuk ke ekosistem pesisir, mereka menciptakan konsekuensi sosial ekologis yang kompleks dan sangat sulit untuk dipulihkan,” tambahnya.
Temuan ini menekankan perlunya memprioritaskan langkah-langkah pencegahan yang menghentikan plastik memasuki lingkungan laut ketimbang upaya pembersihan setelah kerusakan terjadi.
Cordova juga menambahkan pentingnya koordinasi antara berbagai pihak. “Produsen, pemerintah daerah, dan komunitas membutuhkan satu kompas, nol pembuangan di habitat sensitif. Extended Producer Responsibility (EPR) yang kuat harus bertemu dengan penegakan nyata di lapangan,” tambah Cordova.
Dasar Penelitian Empat Tahun
Rekomendasi dalam laporan tersebut didasarkan pada program penelitian selama empat tahun yang dipimpin oleh Universitas Brunel London dan mitra-mitra Indonesia. Didukung oleh Global Challenges Research Fund dari UK Research and Innovation, proyek PISCES (Plastics in Indonesian Societies) meneliti bagaimana plastik digunakan, dikelola, dan dibuang di berbagai komunitas.
Temuan penelitian ini akan menginformasikan Rencana Aksi Nasional Indonesia yang diharapkan akan diluncurkan pada tahun 2026.
Partisipasi BRIN dalam konsorsium ini menyoroti solusi science topolicy untuk sampah laut dan pencemaran plastik di Indonesia, mengintegrasikan pemantauan lapangan, wawasan sosio perilaku, pemodelan sistem, dan desain kebijakan yang dapat ditindaklanjuti untuk mendukung transisi ekonomi sirkular.
Komitmen Pemerintah Indonesia
Asisten Deputi Ekonomi Sirkular dan Dampak Lingkungan pada Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Rofi Alhanif menyampaikan apresiasi yang tulus atas rekomendasi kebijakan tersebut, dengan menekankan sifatnya yang komprehensif dan tepat waktu.
“Sejalan dengan arahan pimpinan kami, dan terlepas dari hasil perjanjian global, Pemerintah Indonesia tetap teguh dalam komitmennya untuk mengatasi pencemaran plastik. Kami akan terus mengejar target nasional kami melalui transformasi sistem pengelolaan limbah, termasuk pengelolaan limbah plastik, sambil juga bekerja untuk mengurangi kemasan sekali pakai dan meminimalkan risiko kebocoran lingkungan,” kata Alhanif.
Ia lebih lanjut menyoroti bahwa rekomendasi ini akan memberikan kontribusi yang bermakna bagi perumusan kebijakan nasional yang sedang berlangsung, melayani sebagai kelanjutan dan penguatan dari upaya dan pencapaian Indonesia sebelumnya.
Implikasi Kegagalan Perjanjian Global
Kegagalan mencapai perjanjian global plastik ini menunjukkan kompleksitas masalah pencemaran plastik yang memerlukan pendekatan multifaset. Perbedaan pendapat utama dalam perundingan berkisar pada apakah fokus harus pada pembatasan produksi plastik atau pada peningkatan pengelolaan limbah dan daur ulang.
Negara-negara penghasil minyak dan industri petrokimia cenderung menentang pembatasan produksi, sementara negara-negara yang paling terdampak pencemaran plastik mendorong pendekatan yang lebih drastik. Kebuntuan ini mencerminkan kepentingan ekonomi dan lingkungan yang bertentangan di tingkat global.
Meskipun menghadapi kegagalan di tingkat global, Indonesia menunjukkan bahwa tindakan nasional tetap dapat dilakukan secara efektif. Dengan 26 poin rencana aksi yang telah disiapkan, Indonesia dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam mengatasi masalah pencemaran plastik tanpa menunggu kesepakatan internasional.
Pendekatan Indonesia yang berbasis bukti dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari peneliti, pemerintah, hingga masyarakat menunjukkan model pengelolaan lingkungan yang dapat diadaptasi oleh negara-negara berkembang lainnya yang menghadapi tantangan serupa.
Rencana Aksi Nasional yang akan diluncurkan pada 2026 diharapkan dapat menjadi tonggak penting dalam upaya Indonesia mengurangi pencemaran plastik dan menciptakan ekonomi sirkular yang berkelanjutan. (mrc,sj)
Perjanjian Plastik Global Gagal Dicapai, Indonesia Siap Bertindak Mandiri
