Universitas Papua, menjalin kerja sama penelitian lintas Pasifik dengan Universitas di Amerika mengenai konservasi penyu Belimbing yang mempunyai karakteristik unik yaitu bermigrasi dari Papua ke California, Amerika Serikat, dan kembali lagi ke Papua.
Penyu Belimbing juga diketahui memiliki kisaran pergerakan yang paling luas dibandingkan dengan reptil lautan lainnya. Sayangnya, tidak banyak informasi yang diketahui tentang Penyu Belimbing karena hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk bermigrasi menjelajahi samudera.
Namun beberapa penelitian belum lama ini mulai menyibak rahasia pengembaraan hewan langka tersebut. Dibandingkan penyu lainnya, penyu Belimbing memiliki tingkat migrasi. Mereka gemar bermigrasi melewati kawasan yang produktif untuk kegiatan perikanan terutama di Pasifik, membuat jenis ini berisiko tinggi tertangkap rawai nelayan tradisional maupun kapal ikan besar.
Para peneliti dapat mengidentifikasi jalur migrasi penyu Belimbing, yang hasilnya bisa dipakai sebagai acuan untuk menyusun langkah-langkah perlindungan wilayah jelajah jenis penyu tertua itu. Penyu Belimbing merupakan satwa yang dilindungi sebagaimana diatur dalam CITES (Convention on International Trade of Endangered Species). Saat ini diperkirakan hanya sekitar 2.300 penyu betina dewasa yang tersisa diseluruh Samudera Pasifik.
Pantai utara Papua merupakan salah satu tempat peteluran utama bagi Penyu Belimbing. Sebagai pemangsa utama ubur-ubur, penyu Belimbing menjadi pengatur keseimbangan populasi ubur-ubur di alam. Berlebihnya populasi ubur-ubur dapat menyebabkan penurunan populasi ikan, khususnya ikan-ikan dengan nilai komersial yang laku dipasaran, dikarenakan ubur-ubur adalah pemangsa utama larva ikan tersebut. Dengan demikian, pelestarian Penyu Belimbing memberikan manfaat bagi ikan, manusia dan industri nelayan.
Sementara itu Ricardo Tapilatu dari Universitas Papua berinisiatif menyampaikan progress report dan alasan perpanjangan, di depan sidang Tim Koordinasi Pemberian Izin Penelitian Asing (TKPIPA) 9 Mei 2012 lalu,
Menurut Ricardo penyu Belimbing ini dikategorikan sebagai endangered species. Dia harus berada di area terbuka, tidak bisa ditangkar di captivity dan mengikuti New Guinea coastal current.
“Kami memantau 5-10 km dari pantai. Kemudian melepas alat itu. Setiap 5-15 menit kami mencatat posisi dan arah perjalan penyu”, kata Ricardo.
Ricardo menjelaskan bahwa beberapa jalur tampak bercabang, yang ke kiri (barat) mungkin ke Filipina dan Laut Cina Selatan. Yang ke utara mungkin ke Jepang. Sedangkan yang ke kanan (timur) inilah yang kami duga menuju California. Artinya, penyu Belimbing tersebut telah mengarungi Samudera Pasifik dan menempuh jarak sekitar 6000 mil dari habitat asalnya di Papua dalam jangka waktu lebih dari satu tahun.
“Kami memerlukan penelitian lanjutan untuk menambah sampel tukik, dengan tambahan data pengukuran arus, dan luas pencatatan ditambah hingga 20 km dari pantai. Sesuai MoU, diakhir project Alat-alat akan menjadi milik Unipa,” ucap Ricardo.
Peneliti penyu Belimbing lainya, Elizabeth, akan meneliti daerah-daerah mana yang hilang karena arus, dan ini akan mempengaruhi telur-telur penyu. Lebih terkait ke kesehatan karang dan ekologi antara laut, karang, iklim, dan satwa laut.
Dengan penelitian itu Unipa mendapat keuntungan khususnya dalam hal peralatan, joint publication, link dengan IBRC, dan mendapatkan software GIS.
Di sisi lain, Dirhamsyah dari P2O LIPI menginformasikan bahwa P2O LIPI juga telah melakukan riset tentang arus laut, terumbu karang, dan perubahan iklim, sehingga seyogyanya hasil riset dari UNIPA-Scripps ini saling bertukar informasi dengan P2O LIPI.
Sementara Thomas dari Kemenhut menyarankan agar BBKSDA Papua 2 dilibatkan, mengingat instansi ini yang menguasai wilayah konservasi di situ. ‘Pada dasarnya ini bagus karena mendukung program konservasi penyu belimbing. Kita kuawatir bahwa masih terjadi pengambilan telur penyu oleh masyarakat”, kata Thomas.
Terkait masalah keamanan, Gatot dari BAIS-TNI mempertanyakan kemungkinan kegiatan peneliti asing ini tidak melenceng dari proposal, mengingat sumber daya alam di Papua sangat melimpah.
Menurut Ricardo lokasi penelitian sangat jauh dari pemukiman penduduk dan tidak bisa ditempuh dengan alat transportasi biasa. Harus menggunakan speed boat dalam waktu 5 jam, sehingga peneliti asing tidak ada akses untuk berinteraksi dengan penduduk. “Kami sudah mendapat pesan dari Rektor Unipa bahwa Unipa tidak tertarik dengan kegiatan politik”, tegas Ricardo.