Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti, Muhammad Dimyati (tengah) bersama Terri Lomax, Executive Vice President RTI International dan Nurul Taufiqu Rochman, Kepala Pusat Inovasi LIPI.
JAKARTA – Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2016 tentang paten memberikan keberpihakan luar biasa terhadap para peneliti dan institusi penelitian. Hak Kekayaan intelektual (HKI) bukan hanya memproteksi hasil-hasil riset, tetapi juga memberikan benefit yang luar biasa bagi peneliti dan institusi penelitian.
Direktur Jenderal (Dirjen) Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti, Muhammad Dimyati mengatakan dalam UU tersebut banyak sekali norma-norma yang mendorong agar para peneliti berpikir jangka panjang. “Selama ini, peneliti lebih banyak berpikir sampai produk penelitian selesai dipublikasi,” ungkapnya Knowledge Sharing Event ‘Komersialisasi Hasil Riset & Penerapan Paten’ di Jakarta, Kamis (20/1/2017).
Menurut Dimyati, dari publikasi itu peneliti mendapatkan kemanfaatan yang cukup banyak. “Tapi akan lebih banyak lagi, kalau peneliti berpikir lebih panjang untuk mendorong hasil penelitian menjadi satu paten atau hak cipta,” lanjutnya.
Dimyati menerangkan, paten dalam UU baru bukan hanya dimiliki institusi tapi juga peneliti. Berbeda dengan UU sebelumnya yang hanya memungkinkan paten itu dimiliki oleh institusi penelitian. Dengan kepemilikan tersebut, peneliti punya hak untuk menikmati nilai ekonomis dari hasil penelitiannya. Paten ini bisa diagunkan, diwariskan, bahkan diwakafkan.
“Undang-Undang Paten didesain untuk mendorong agar peneliti lebih berminat meneruskan hasil penelitiannya menjadi paten. Peneliti yang melakukan penelitian hingga sampai ke paten, kemudian pensiun masih bisa menikmati royalti dan pahala yang terus menerus mengalir. Selain itu, UU paten juga memberi insentif lain yang luar biasa banyak bagi peneliti,” terangnya.
Insentif lainnya, saat mendaftarkan paten dari tahun pertama sampai tahun ke lima hingga mendapatkan paten, peneliti membayar nol rupiah. Dari tahun keenam sampai tahun perlindungannya berakhir yaitu 20 tahun untuk paten dan 10 tahun untuk paten sederhana, peneliti hanya membayar 10% dari cost yang seharusnya untuk perguruan tinggi dan lembaga penelitian.
“Itu sebagian insentif, dorongan atau norma yang dicantumkan di UU yang sudah ada produk turunannya berupa PP Nomor 45 Tahun 2016. Semuanya mendorong peneliti untuk melanjutkan hasil penelitiannya menjadi paten,” kata Dimyati.
Untuk memudahkan pengurusan paten yang selama ini terkesan berbelit-belit dan sulit, Kemenristekdikti membentuk unit-unit sentra HKI di perguruan tinggi. “Memang itu bukan satu-satunya jalan, tetapi langkah awal agar peneliti mau mendaftarkan paten,” lanjutnya.
Kemenristekdikti melalui Ditjen Penguatan Riset dan Pengembangan juga memberi kesempatan bagi peneliti untuk belajar dan memproses paten. Program itu terbuka dan diumumkan secara luas melalui Sistem Informasi Manajemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (Simlitabmas).
Namun berbagai program dan revisi UU, menurut Dimyati, sampai 2016 akhir belum menunjukkan hasil sesuai yang diharapkan dalam konteks jumlah paten yang didaftarkan. “Untuk itu diperlukan sharing, exchange knowledge, dan berbagai hal baik dari seorang yang punya banyak pengalaman dalam mendorong paten,” pungkasnya.
Knowledge Sharing Event ini menghadirkan Terri Lomax, Executive Vice President RTI International untuk Discovery-Science-Technology (DST) dan Nurul Taufiqu Rochman, Kepala Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).