Jakarta, Technology-Indonesia.com – Masyarakat pesisir termasuk kelompok yang rentan terpengaruh perubahan iklim. Peningkatan kapasitas dan mitigasi pada kelompok ini penting dilakukan melalui penyusunan desain kebijakan inklusif perubahan iklim wilayah pesisir Indonesia.
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) laksana Tri Handoko mengatakan perubahan iklim merupakan fenomena alam yang terjadi dalam kurun waktu panjang dan sulit dihindari. Fenomena ini memiliki dampak negatif terhadap kehidupan dan penghidupan penduduk di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Indonesia memiliki pesisir yang sangat panjang sehingga rentan terpengaruh perubahan iklim misalnya terkait kebencanaan. Di sisi lain, ada eksploitasi yang berlebihan oleh manusia yang mendorong munculnya bencana.
“Pengurangan risiko perubahan iklim dan bencana di wilayah pesisir menjadi sangat penting dan harus dikaji bersama-bersama. Karena bencana ini bukan hanya mengancam jiwa manusia tapi secara ekonomi atau penghidupan mengalami pengaruh yang besar,” ungkap Handoko dalam Peluncuran Hasil Kajian Rencana Aksi Nasional untuk Desain Kebijakan Inklusif Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir Indonesia di Auditorium LIPI, Jakarta, pada Rabu (9/1/2019).
kegiatan ini, lanjutnya, bertujuan mengkaji dan memberikan masukan terhadap Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API) agar kebijakan yang dihasilkan lebih inklusif dengan demikian akan tercapai kesetaraan dan kesamaan kesempatan bagi semua kelompok masyarakat termasuk yang rentan dan marjinal untuk menigkatkan kapasitas mereka dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Peluncuran hasil kajian ini digelar oleh Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI bekerjasama dengan UNESCO Office Jakarta, Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gajah Mada (UGM). Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti mengatakan kajian ini bertujuan memberikan masukan atas RAN API pada ketahanan wilayah khusus, yaitu wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan menggunakan Kerangka Analisis UNESCO untuk Perumusan Kebijakan Inklusif.
Hasil penelitian, menurut Nuke juga menekankan pentingnya meningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi masyarakat pesisir melalui peningkatan public awareness dengan pendekatan spesifik sesuai dengan kebutuhan masing-masing kelompok masyarakat; penyediaan layanan dasar untuk kelompok berkebutuhan khusus seperti penyandang disabilitas, perempuan, anak-anak, lansia, serta akses informasi, teknologi tepat guna, dan modal untuk kelompok rentan ekonomi sesuai dengan jenis pekerjaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir.
“Selain itu juga perlu dilakukan revitalisasi pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat pesisir dalam upaya adaptasi perubahan iklim,” ujar Tri Nuke.
Kajian ini melibatkan lembaga terkait seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Sosial, Badan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. “Diharapkan kajian ini dapat menguatkan strategi Rencana Aksi Perubahan Iklim secara Nasional” pungkas Tri Nuke.
Dalam kesempatan tersebut, Peneliti Kependudukan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Deny Hidayati, yang merupakan koordinator kegiatan ini mengungkapkan, hasil penelitian merekomendasikan beberapa masukan penting untuk desain kebijakan inklusif perubahan iklim di wilayah pesisir Indonesia.
“Rekomendasi pertama adalah pelibatan semua kelompok masyarakat pesisir, termasuk kelompok rentan,” ungkapnya. Kelompok ini terdiri dari kelompok rentan karena kondisi fisik dan kesehatan seperti penyandang disabilitas, ibu hamil, manula, dan kelompok rentan ekonomi seperti masyarakat miskin.
Hasil penelitian juga melihat pentingnya ketahanan pesisir melalui penyediaan sarana dan prasarana yang ramah terhadap kelompok rentan dan dilengkapi dengan aplikasi yang mudah digunakan, pembangunan infrastruktur, sistem peringatan dini untuk mengurangi risiko bencana, dan penyediaan rencana aksi adaptasi untuk kegiatan masyarakat pesisir.
“Juga yang tak kalah penting adalah peningkatan partisipasi semua masyarakat pesisir dalam pembangunan, pemeliharaan dan pengawasan pelindung pantai dan fasilitas peringatan dini serta pelestarian sumber daya pesisir,” imbuhnya.
Sistem pendukung juga menjadi faktor penting untuk meningkatkan ketahanan masyarakat pesisir. Sistem pendukung meliputi pelaksanaan simulasi peringatan dini bencana secara berkala, pelaksanaan riset dan kajian secara berkala dalam jangka menengah dan panjang tentang potensi dan risiko bencana, serta pengalokasian dana untuk peningkatan kapasitas dan penyediaan layanan dasar kepada masyarakat pesisir untuk keberlanjutan hidup dan pelestarian sumber daya pesisir.
Peluncuran Hasil Kajian Rencana Aksi Nasional ini dihadiri Shahbaz Khan (UNESCO Representative), Arief Rahman (Ketua Harian KNIU), Medrilzam (Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas), dan Irakli Khodeli (UNESCO Jakarta).