Banjir Jakarta, Banjir Pesanan?

Bumi pertiwi seakan tak bosan menerima bencana dari satu wilayah ke wilayah lain. Tanah longsor, banjir bandang, gempa bumi, kebakaran lahan, dan berbagai bencana alam lain sering menyapa tanah zamrud khatulistiwa. Selain memang fenomena alam yang ditakdirkan oleh Sang Pencipta, kita semua juga perlu untuk introspeksi dan merenung sejenak, sudah berapa banyakkah andil kita terhadap munculnya bencana-bencana tersebut?

Coba kita tengok, banjir Jakarta, satu diantara berbagai bencana yang sering melanda tanah air. Kenapa hampir tiap tahun ibu kota negara ini tersapa oleh banjir? Sampai hebatnya isu banjir Jakarta, fenomena ini dijadikan komoditas politik oleh salah satu calon Gubernur DKI pada pilkada tahun 2013 lalu. Pilihlah si fulan, insya Allah banjir jakarta selesai dalam waktu kurang dari 3 tahun.. Eh, belum tuntas pekerjaannya, muncul lagi opini lanjutan. Banjir Jakarta tidak cukup ditangani oleh Pemerintah Propinsi, harus ada dukungan dari Pemerintah Pusat. Jadikan si fulan sebagai Presiden, insya Allah masalah Jakarta beres.  Coba kita lihat dalam satu dua tahun ke depan, akankah muncul opini baru lagi, kalau persoalan Jakarta tak cukup ditangani oleh Pemerintah Republik Indonesia….

Banjir Jakarta selalu dikaitkan dengan istilah kiriman air dari Bogor. Hampir sebagian besar media cetak maupun elektronik menitipkan istilah’air kiriman’dari Bogor. Hal ini secara tidak langsung menyederhanakan masalah, bahwa, banjir Jakarta bukan salah warganya, tapi salah Bogor yang mengirimkan air terlalu banyak saat musim hujan. Opini tersebut bertambah kuat saat debit air hulu Ciliwung mencapai puncaknya.

Untuk wilayah DKI Jakarta, Daerah Aliran Sungai (DAS) yang melaluinya adalah DAS Ciliwung. Hulu sungai Ciliwung sendiri berasal dari Desa Tugu Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor). Hulu sungai ini kemudia mengalir melintasi Ciawi, Kota Bogor, Depok, dan bermuara bermuara di Teluk Jakarta.  Panjang sungai Ciliwung sendiri  sampai ke pintu Manggarai sekitar 117 km dengan luas areal 347 km2.

Secara ilmiah, tingginya debit air sungai pada saat musim hujan tidak terlepas dari tingginya limpasan air ke sungai. Aliran air (run off)  pada saat terjadi curah hujan tidak bisa secara maksimal diserap oleh tanah dan menimbulkan limpasan air yang tinggi. Lantas, kenapa kemampuan tanah dalam menyerap aliran permukaan menjadi menurun?

Coba kita lihat kondisi muka lahan di wilayah DAS Ciliwung. Dari mulai hulu, tengah, sampai hilir, muka lahan di areal DAS Ciliwung sudah dipenuhi oleh bangunan dan lahan yang terbuka. Peran areal terbuka hijau yang berfungsi untuk tata air telah berganti dengan areal beton bangunan dan aspal jalan. Jika dilihat melalui citra landsat, kawasan puncak sebagai daerah hulu Ciliwung telah banyak dibangun vila, hotel, dan banguna peristirahatan. Begitu juga di daerah hilir Jakarta. Dengan demikian, kapasitas tanah yang seharusnya dapat menyimpan air maksimum sebanyak 50 % dari volume tanah, menjadi tidak berfungsi. Ibarat jalan tol, maka curah hujan yang rata-rata besarnya antara 3000 – 4000 mm/tahun pun langsung bablas ke sungai dan menimbulkan limpasan yang tinggi.

Kita harus akui secara jujur, banjir lebih banyak disebabkan oleh aktivitas manusia itu sendiri. Banjir yang terjadi, selain karena kerusakan lingkungan di daerah hulu, juga diperparah oleh sistem tata wilayah di daerah tengah dan hilir. Penyumbatan aliran sungai, pembangunan di bantaran sungai, hingga sistem saluran air yang tidak baik juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya banjir. Lihatlah bangunan-bangunan ruko di sepanjang bantaran sungai dari mulai bogor sampai Jakarta, ulah siapakah itu?

Sudah saatnya kita kembali merancang strategi pengendalian banjir melalui perbaikan lingkungan (environmental engineering) dan perbaikan saluran air (civil engineering) yang komprehensif. Hentikan perijinan bangunan di 50 meter kanan kiri sungai, buat sumur dalam untuk penyimpanan air, tanam pohon dan buat ruang terbuka hijau, bersihkan saluran air, buang sampah pada tempatnya, dan satu lagi, lupakan bahwa banjir itu merupakan banjir kiriman ataupun banjir pesanan. Karena kita pun lagi-lagi harus jujur mengakui bahwa banjir ini juga pesanan kita. Bencana ini adalah bencana pesanan kita.

(Atang Trisnanto, alumnus pascasarjana IPB dan pemerhati kehutanan dan lingkungan hidup)

 

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author