Technology-Indonesia.com – Pengembangan kedokteran nuklir di Indonesia saat ini semakin dipercepat dengan kebijakan pemerintah, sehingga radiofarmaka juga dituntut untuk terus berkembang. Salah satu teknologi kunci dari radiofarmaka dalah proses penandaannya.
Kepala Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka dan Biodosimetri (PRTRRB) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Tita Puspitasari menyampaikan hal tersebut dalam webinar “Metode Penandaan dengan Fluorin-18” yang digelar BRIN bersama Pusat Kolaborasi Riset (PKR) Radiofarmaka Teranostik dan RS MRCCC Siloam Semanggi Jakarta, pada Rabu (25/10/2023).
Tita menyebutkan bahwa kasus kanker semakin meningkat. “Proses penyembuhannya membutuhkan effort, baik dari segi finansial, waktu, maupun kesehatan pasien. Semakin cepat proses diagnosis untuk mengetahui penyakit ini, tentu saja akan semakin baik,” ungkapnya.
Dia menambahkan, penggunaan radiofarmaka Positron Emission Tomography (PET) maupun Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT), akan membantu proses pengambilan keputusan. Hal ini sebagai tindakan pengobatan yang efektif, maupun tindak lanjut berikutnya.
“Salah satu radiofarmaka yang digunakan adalah radiofarmaka F-18. Teknologi kunci dari radiofarmaka ini adalah dalam proses penandaannya, yang akan menentukan keberhasilan proses diagnosis penyakit kanker tersebut,” jelas Tita.
Ia menjelaskan, teknik penandaan yang optimum dan tervalidasi sangat penting untuk dipelajari bagi peneliti di institusi penelitian, Radiofarmasis dan Spesialis Kedokteran Nuklir di rumah saki,t serta akademisi di universitas. Hal ini untuk meningkatkan keterampilan dalam penyiapan radiofarmaka.
Direktur RS MRCCC Siloam Semanggi, dr. Adityawati Ganggaiswari mengatakan bahwa kedokteran nuklir saat ini sangat maju dan sangat dibutuhkan di Indonesia. “Suatu bidang keahlian khusus yang ternyata animonya dan kebutuhannya di rumah sakit sangat banyak,” ujarnya.
Dirinya sangat setuju dengan adanya wacana agar radiofarmaka harus bisa diproduksi sendiri di Indonesia. “Ini merupakan suatu hal yang sangat baik. Tentunya untuk rumah sakit akan menjadi lebih mudah dalam memberikan pelayanan kepada pasien dan ke depannya, untuk hal-hal yang terkait dengan riset,” tambahnya.
Adityawati berharap, ilmu kedokteran nuklir dapat berkembang terus sehingga selalu ada hal-hal baru yang dapat dipelajari. “Dengan adanya workshop ini mudah-mudahan dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh para peserta. Nantinya dapat diimplementasikan dalam praktek sehari-hari,” harapnya.
Dalam kesempatan ini, Ketua PKR Radiofarmaka Teranostik Muchtaridi menyampaikan, PKR konsisten menjaga agar radiofarmaka dan teranostik dapat berkembang dan menjadi produk di rumah sendiri.
“Sejak digulirkannya transformasi kesehatan oleh Menteri Kesehatan, peluang kemajuan industri kedokteran nuklir itu besar sekali,” ungkapnya.
“Ini terbukti bahwa pemerintah sedang menyiapkan 6 sampai 8 siklotron hingga tahun 2026. Oleh karena itu tentu prospek atau terbukanya kemajuan kedokteran nuklir di Indonesia semakin besar,” lanjutnya.
Teknologi Penandaan F-18
Citra Rezza Aurora Putri Palangka dari Near Infrared Photo-Immunotherapy Research Institute, Division of Fundamental Technology Development Kansai Medical University Jepang memaparkan salah satu teknologi penandaan F-18, yaitu dengan menggunakan peptida yang memiliki banyak keunggulan.
“Jadi kandidat dari peptida ini sangat baik dibandingkan dengan yang lain. Dia sampai ke target lebih cepat, clearance-nya juga lebih baik, dan mudah untuk dimodifikasi,” paparnya.
Dikatakan Citra, dengan penambahan satu atau dua amino acid akan berbeda sekali dengan peptida awalnya. Bisa juga memodifikasi peptida supaya peptida itu memiliki high binding ke reseptor. Tentunya ini sangat murah dibandingkan memproduksi antibodi ataupun protein.
Selain itu, ia menerangkan, metode ini juga dilakukan tanpa tahap pengeringan. “Peptida berlabel F-18 diproduksi tanpa tahap pengeringan. Dengan pemurnian high-performance liquid chromatography (HPLC) tunggal selama 60 menit akan mendapatkan peptida berlabel yang sesuai untuk penggunaan in vivo,” terangnya.
Narasumber lain dari Near Infrared Photo-Immunotherapy Research Institute, Division of Fundamental Technology Development, Kansai Medical University – Jepang, Hirofumi Hanaoka menjelaskan metode lainnya yaitu penandaan F-18 menggunakan asam amino.
“Pencitraan kanker menggunakan Flourodeoxyglucose (FDG) berlabel F-18 sangat umum dan banyak digunakan di Jepang. FDG berlabel F-18 banyak digunakan untuk pencitraan tumor karena sensitivitasnya yang tinggi. Berguna tidak hanya untuk diagnosis tumor tetapi juga untuk perencanaan pengobatan,” katanya.
Namun, tambahnya, terakumulasi pada peradangan atau lesi jinak. Hal ini dapat diantisipasi dengan menggunakan pelacak yang lebih spesifik untuk tumor ganas salah satunya yaitu turunan asam amino berlabel.
Hanaoka juga menjelaskan, teranostik adalah konsep baru dalam pengobatan generasi mendatang yang menggabungkan diagnosis dan terapi. Keuntungan radioteranostik adalah pengujian pencitraan dan terapeutik yang sesuai memiliki sifat kimia yang serupa.
“Keduanya akan menunjukkan farmakokinetik yang sama. Pencitraan akan berguna untuk menyaring responden dan memprediksi efek terapeutik. Selain itu, pencitraan juga memungkinkan untuk menetapkan dosis radiasi yang sesuai untuk setiap pasien berdasarkan dosimetri,” pungkasnya. (Sumber brin.go.id)