TechnologyIndonesia.id – Indonesia memiliki kurang lebih 30 ribu spesies tumbuhan maupun sumber daya laut yang berpotensi untuk mengobati penyakit pada hewan dan manusia. Sebagian tumbuhan dapat berpotensi sebagai obat herbal yang banyak digunakan pada hewan dalam mencegah dan menyembuhkan penyakit.
Kepala Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) NLP Indi Dharmayanti menjelaskan bahwa kemajuan teknologi menyebabkan banyak ditemukannya jenis obat hewan yang baru dari jenis vaksin, penggunaan terapi sera, anti-viral, anti-parasit, anti-jamur, anti-bakteri, dan bahan-bahan diagnostika untuk penyakit hewan.
“Untuk lebih meningkatkan kesehatan dan produksi peternakan dan perikanan diperlukan tersedianya obat hewan yang memadai, baik dari segi jumlah maupun mutu dalam pembuatan, penyediaan, dan peredarannya,” ujar pada webinar dengan topik Riset dan Inovasi Obat Hewan pada Selasa, 30 Januari 2024.
Kepala Pusat Riset Veteriner BRIN, Harimurti Nuradji menyebutkan bahwa penyakit-penyakit infeksius maupun non infeksius cenderung meningkat, baik pada hewan maupun manusia. Pengendalian penyakit hewan ini dibutuhkan melalui riset dan inovasi, salah satunya untuk melakukan pencegahan, penanganan, diagnosis, dan pengobatan penyakit.
“Pusat Riset Veteriner melakukan riset dan inovasi pada semua komoditas hewan mulai dari hewan ternak, hewan kesayangan, hewan liar, hewan akuatik, vektor produk hewan dan terkait dengan lingkungan. Salah satunya adalah riset dan inovasi dalam pengembangan obat hewan yang dapat digunakan dalam pengendalian penyakit,” jelasnya.
Risza Hartawan Periset Pusat Riset Veteriner BRIN dalam paparannya menjelaskan tentang pengembangan antivital alternatif berbasis small interfering (siRNA) untuk virus influenza.
Small interfering merupakan sekuen RNA rantai pendek dengan ukuran 19-21 nucleotide, tidak diekspresikan menjadi protein. Mempunyai sifat gene silencing, dapat mendegradasi mRNA yang memiliki complementary, dan dapat dibuat secara sintetik dengan berbagai modifikasi.
Berbagai macam siRNA telah dikembangkan untuk beberapa penyakit virus seperti virus ebola, HIV, influenza dan nipah yang berisfat in silico. Kebanyakan siRNA yang digunakan tidak mampu memenuhi keseluruhan macam virus kecuali siRNA-NP1089 dan siRNA-1496.
Sementara itu, Fitrine Ekawasti, Periset dari Pusat Riset Veteriner BRIN, memaparkan hasil penelitiannya tentang Aktivitas Nanopowder Zingiber officinale var, Rubrum (Jahe Merah) dan Curcuma longa (kunyit) sebagai Anti-Toxoplasma.
Menurutnya, toxoplasmosis merupakan penyakit zoonis yang berbahaya bagi hewan dan manusia karena menyebabkan gangguan pada reproduksi dan pertumbuhan.
Toxoplasma gondii masuk ke dalam tubuh dan melakukan evasi untuk menghindari sistem imun, membentuk vakuola parasitoforus sehingga sulit dikenali oleh sistem imun.
Beberapa penelitian anti-toxoplasma dilakukan dengan mengembangkan bahan obat alami yang tidak toksik dan mengandung antioksidan tinggi, termasuk jahe merah dan kunyit.
“Pada penelitian ini dilakukan kombinasi antara jahe merah dan kunyit melalui pengembangan formulasi nano partikel, dengan bentuk nanopowder agar lebih optimal dan efektif,” paparnya.
Narasumber berikutnya, Tuti Sumiati menjelaskan tentang Penyakit Koi Herpesvirus dan Upaya Pengendaliannya pada Ikan Mas dan Koi (Cyprinus Carpio). Penyakit Koi herpesvirus (KHV) sangat menular dengan mortalitas tinggi (80–100%) yang spesifik pada Cyprinus carpio.
“Upaya pengendalian Koi Herpes Virus yang pernah dilakukan antara lain mengetahui faktor predisposi (trigger factors) timbulnya penyakit KHV, karakter ekologis, serta opsi strategi pengendaliannya. Sementara eko-bioterapi penyakit KHV pada ikan mas/koi dengan herbal therapy, pemberian imunostimulan, infeksi buatan untuk menginduksi kekebalan spesifik,” jelas Tuti.
Upaya pencegahan dengan pemberian imunostimulan vitamin C 1 g/4kg pakan, 3 hari sekali dapat meningkatkan pertahanan tubuh. Mengatasi stres, meningkatkan nafsu makan, memenuhi kebutuhan vitamin C. Sedangkan dengan pemberian meniran 10g/kg pakan, 1 hari sekali dapat meningkatkan pertahanan tubuh dan menekan reaksi sistem imun yang berlebihan.
“Sementara upaya pengendalian melalui vaksinasi melalui perendaman virus KHV inaktif, dosis 1 mL/L vaksin selama 30 menit pada kondisi teraerasi, belum terdapat hasil yang signifikan sehingga diperlukan penelitian lanjutan,” urainya.
Strategi pengendalian Koi Herpes Virus, lanjutnya, juga dapat melalui cara menghindari stress pada ikan, antisipasi/manipulasi suhu air, meningkatkan stamina, dan manajemen budidaya yang baik
Terakhir, narasumber dari Pusat Riset Veteriner BRIN Dwi Endrawati, menjelaskan tentang Potensi Aktivitas Propolis sebagai Anti Dermatomikosis. Propolis dengan kandungan zat aktifnya dapat digunakan sebagai anti-fungal.
“Hasil uji in vitro anti-fungal propolis menunjukkan hasil yang lebih rendah aktivitasnya, dibandingkan dengan hasil uji in vivo. Hal ini disebabkan pengaruh anti flamasi pada propolis yang bekerja pada kulit sehingga mempercepat penyembuhan luka,” ujarnya.
Dwi menyarankan perlu penelitian lebih lanjut terkait kemungkinan kandungan zat aktif propolis yang dapat menimbulkan efek samping (kontraindikasi) sebagai anti-fungal. Perlu dilakukan studi lanjutan challenge genus dermatophyta, candida, dan malassezia resisten antifungi terhadap propolis. (Sumber brin.go.id)