JAKARTA – Kesepakatan global dan regional tentang pasar bebas sudah di depan mata. Kesepakatan ini menjadi peluang sekaligus ancaman bagi industri dalam negeri. Begitu juga dengan industri jamu/obat tradisional yang merupakan salah satu kluster industri penting di Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 006 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional, ada enam kategori industi jamu berdasarkan kemampuan industri untuk membuat sediaan obat. Pertama, Industri Obat Tradisional (IOT) yang mampu membuat semua bentuk sediaan. Kedua, Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA) yang produk akhirnya berupa ekstrak. Ketiga, Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) yang membuat semua bentuk sediaan obat tradisional, kecuali sediaan tablet dan efervesen.
Keempat, Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT) yang hanya membuat sediaan obat tradisional dalam bentuk param, tapel, pilis, cairan obat luar dan rajangan. Kelima, Usaha Jamu Racikan (UJR) yang dilakukan oleh depot jamu dengan melakukan pencampuran sediaan jadi atau sediaan segar untuk disajikan langsung kepada konsumen. Terakhir, Usaha Jamu Gendongan (UJG) yang dilakukan perseorangan dengan menggunakan bahan obat tradisional dalam bentuk cairan segar.
Berdasarkan data GP Jamu tahun 2011, terdapat 1098 industri jamu di Indonesia. Jika dilakukan analisis sederhana, gambaran jumlah industri jamu di Indonesia seperti piramida. Jumlah IOT lebih sedikit, sementara jumlah UJR atau UJG lebih besar.
Jika dilihat dari gambaran kemampuan modal dan teknologi yang dimiliki, industri jamu nasional berbentuk piramida terbalik. Dari keseluruhannya, tidak lebih dari 10% merupakan industri besar. Sisanya merupakan industri menengah, kecil dan industri rumah tangga dengan kemampuan modal, sumber daya manusia, dan teknologi yang terbatas.
Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi, Eniya Listiani Dewi mengatakan realita tersebut mengambarkan betapa lemahnya struktur dan daya saing industri jamu/obat tradisional nasional. “Sudah menjadi tugas kita semua untuk mengembangkan industri jamu menuju industri yang berdaya saing,” kata Eniya dalam sambutan acara Focus Groups Discussion “Inovasi Teknologi dan Sinergi Kebijakan untuk Penguatan Daya Saing Industri Jamu” yang dibacakan oleh Direktur Pusat Teknologi Farmasi dan Obat, Bambang Marwoto, di Jakarta, Kamis (17/12).
Menurut Eniya, BPPT menyadari sepenuhnya, bukan hanya teknologi yang diperlukan untuk mengangkat daya saing industri jamu. Kehadiran negara sangat diperlukan melalui komitmen yang kuat dalam membentuk kebijakan yang atraktif dan operasional dan berpihak pada kepentingan nasional.
“Melalui peran kajian, solusi dan audit dan intermediasi teknologi, BPPT senantiasa berperan aktif dalam mendorong kemajuan industri jamu nasional melalui inovasi teknologi yang tepat mulai dari aspek bahan baku, produk antaran, produk jadi, proses manufaktur maupun aspek teknis lainnya,” lanjutnya.
Untuk itu Eniya berharap seluruh stake holders merapatkan barisan untuk menopang kekuatan dan mendorong daya saing industri jamu/obat tradisional. Beberapa strategi harus diterapkan diantaranya penguatan inovasi dan penerapan teknologi serta sinergi kebijakan.
FGD yang diselenggarakan oleh Pusat Teknologi Farmasi dan Medika – BPPT ini bertujuan membahas dan merumuskan langkah-langkah strategis dalam melakukan inovasi teknologi dan sinergi guna meningkatkan daya saing industri jamu/obat tradisional. Diskusi menghadirkan narasumber dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), GP Jamu, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Kemeristekdikti.