Jakarta, Technology-Indonesia.com – Pencapaian ketahanan pangan di Indonesia telah mengalami perbaikan berarti. Hal ini tercermin dari menurunnya wilayah dengan prioritas 1 dan 2 atau kategori rawan pangan. Perbaikan ini terutama dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah untuk menjaga sisi ketersediaan pangan.
Namun demikian, keberhasilan ketahanan pangan tersebut belum diikuti keberhasilan dari sisi akses dan konsumsi terutama asupan pangan. Angka malnutrisi masih tinggi, terutama malnutrisi kronis yang justru cenderung meningkat.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Esta Lestari mengatakan 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting (tubuh pendek). Stunting adalah sebuah refleksi dari terjadinya malnutrisi kronis yang terjadi dalam jangka panjang.
“Jika anak usia hingga 5 tahun mengalami stunting dia akan mendapatkankan impak jangka panjang tidak hanya kualitas kesehatan di masa depan dan capaian pendidikannya. Stunting akan menghambat perkembangan motorik dan kognitif anak,” ungkap Esta dalam Media Briefing “Ironi Ketahanan Pangan dan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia” di Gedung Widya Graha LIPI, Jakarta, Jumat (3/11/2017).
Menurut Esta, salah satu faktor stunting adalah rendahnya kualitas asupan pangan. Capaian penganekaragaman konsumsi seperti yang ditunjukkan oleh Pola Pangan Harapan (PPH) yang diestimasikan pada skor 86,3 (2016) ternyata masih di bawah dari yang ditargetkan sebesar 100 (BPS dan BKP, 2016).
Ketertinggalan capaian gizi ini harus mendapatkan perhatian mengingat dimensi ini akan mempengaruhi kualitas SDM ke depan dimana anak-anak Indonesia saat ini menjadi bagian dari bonus demografi antara 2020-2030.
“Anak-anak sekarang yang stunting akan menjadi pekerja produktif. Ketika mereka menghadapi tantangan penyakit yang lebih tinggi, itu akan mempengaruhi produktivitas saat bekerja sehingga potensi kehilangan pendapatannya semakin besar. Artinya, produktivitas tenaga kerja kita akan ditentukan oleh investasi kesehatan termasuk melalui kualitas asupan pangan saat ini,” terangnya.
Esta melihat bahwa faktor ekonomi, terutama pendapatan mempengaruhi kualitas asupan. Namun, bukan berarti meningkatnya kesejahteraan selalu diikuti oleh asupan dengan gizi yang lebih baik karena faktor sosial budaya terutama gaya hidup dan perubahan peran dalam keluarga membentuk nilai, selera dan perilaku konsumsi pangan keluarga.
Asupan pangan akan menjadi salah satu input pembentuk modal manusia yang mempengaruhi kesehatan dan capaian pendidikan di masa depan. Karena itu, perbaikan pangan dan gizi harus bersinergi dengan bidang lain, terutama pendidikan dan infrastruktur untuk meningkatkan efektivitas capaian yang lebih baik dari program-program kesehatan dan gizi yang telah dijalankan pemerintah.
Esta melanjutkan, sinergi tersebut mencakup berbagai intervensi lintas sektoral melalui pembentukan perilaku konsumsi pangan sehat sejak dini yang ditunjang oleh sarana dan prasarana kesehatan dan pendidikan yang saling menunjang. Hal ini juga harus diikuti oleh pengembangan sisi hulu, yaitu penyediaan pangan berkualitas yang terjangkau oleh masyarakat dan memenuhi kebutuhan segmentasi konsumen pangan di Indonesia.
Rekomendasi Kebijakan
Pada kesempetan tersebut, Esta menyampaikan beberapa rekomendasi kebijakan terkait ketersediaan pangan. Tantangan dari sisi ketersediaan adalah ketersediaan pangan lokal yang terhambat gap infrastruktur yang menyebabkan disparitas harga di setiap wilayah. Karena itu perlu pemerataan infrastruktur yang telah menjadi salah satu program utama pemerintah.
“Selain itu bagaimana memastikan tata niaga pemberdayaan pangan itu menjadi lebih baik sehingga harga lebih stabil dan terjangkau oleh masyarakat,” paparnya.
Wilayah-wilayah yang memiliki potensi pangan lokal tetapi terbelakang pengembangannya pasti berada pada wilayah pada status kemiskinan yang tinggi dan asupan pangan yang rendah. Mereka menghadapi kerentanan fluktuasi harga yang besar.
“Kalau pemerintah lebih meng-effort produksi pangan berbasis pangan lokal, itu akan membantu wilayah-wilayah tersebut melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap pangan-pangan yang selama ini disamaratakan misalnya beras,” lanjut Esta.
Diversifikasi pangan memang sudah menjadi program Badan Ketahanan Pangan (BKP), namun selalu kalah dengan orientasi pemerintah. Misalnya, sekarang yang digenjot pajale sehingga sehingga sumber daya dan anggaran diarahkan ke sana.
Menurut Esta, wilayah-wilayah dengan potensi pangan lokal, seharusnya bisa punya peluang untuk mengembangkan pangannya sendiri. Karena itu, perlu ada orientasi dalam bantuan pangan berdasarkan potensi pangan lokal masing-masing wilayah. Misalnya, di Nusa Tenggara Timur (NTT) bantuan pangan miskin bisa diarahkan ke jagung.
Fenomena stunting kecenderungannya meningkat pada masyarakat berpendapatan menengah. Artinya, selain faktor ketersediaan pangan, rendah daya beli atau kemiskinan, ada faktor perilaku yang mempengaruhi. Karena itu perlu perubahan perilaku pola konsumsi dengan memberi edukasi bagaimana membangun budaya makan yang sehat sejak dini.
“Perubahan perilaku tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat dalam bentuk informasi satu arah. Kita harus mencoba meningkatkan efektivitas kebijakan bagaimana perilaku bisa dibangun sejak dini,” pungkasnya.