Jakarta, Technology-Indonesia.com – Hermawan Kartajaya, sang begawan pemasaran menyampaikan 5 tren pemasaran agar perusahaan bisa memenangkan persaingan digital. Hal itu disampaikan Hermawan dalam seminar tahunannya HK Webseries, yang mengusung tema Getting Into The New Digital Competition dan dilaksanakan secara virtual oleh MarkPlus, Inc pada Kamis, 31 Maret 2022.
Seminar ini menjadi acara yang ditunggu-tunggu para pemasar di seluruh Indonesia, untuk menilik gambaran peta persaingan digital, strategi menghadapi kompetitor, dan strategi mempertahankan posisi di ruang digital yang jadi benchmark bagi perusahaan di waktu mendatang.
Perhelatan ini dimulai dengan pembahasan fenomena-fenomena yang berada di pemberitaan kuartal pertama tahun ini. Mulai dari relaksasi regulasi pemerintah yang sangat ketat pada masa pandemi, perkembangan womenpreneurs, suksesnya MotoGP di Mandalika, investigasi jatuhnya pesawat Boeing, metaverse, hingga peranan Gen-Z yang saat ini mendominasi berbagai lini sosial media.
Seluruh fenomena tersebut dijahit oleh Hermawan menjadi 5 tren yang disebutnya sebagai The 5 Emerging Trends of 2022.
1. Blockchain Technology: The Rise of NFT
Dilansir dari Blockchainmedia.id, pada 2018, industri NFT mencapai volume perdagangan 41 juta USD, volume tersebut meroket hingga 2,5 miliar USD di tahun 2021.
Tidak terkecuali dari kalangan selebriti, deretan penyanyi hingga artis seperti Syahrini, Lesty Kejora, Anang Hermansyah, dan masih banyak lagi berlomba-lomba meluncurkan NFT tahun ini. Output-nya pun mengesankan, terjual habis di waktu yang cenderung singkat.
Pada tren metaverse, beberapa proyek akan berprestasi dibanding lainnya. Sejalan dengan kondisi pasar yang semakin jenuh, investor, creator, dan pengguna akan beralih ke dunia metaverse dengan popularitas tertinggi. Menawarkan berbagai kemudahan untuk menikmati experience dari rumah.
Terus meningkatnya tren metaverse menuntut pemain industri untuk agile. Mendalami apa sebenarnya metaverse dan apa manfaatnya bagi perusahaan. Karena itu, MarkPlus, Inc. menghadirkan guest star Andes Rizky selaku Founder Shinta VR Indonesia. Shinta VR adalah perusahaan B2B penyedia layanan konten dan software VR (Virtual Reality).
Perusahaan ini ramai dibicarakan karena sedang menjalankan proyek terbaru metaverse bersama RANS Entertainment yang dijuluki RansVerse.
“Masa preparing to metaverse saja sudah sedemikian banyak perusahaan yang mengikuti. Ini karena perusahaan sadar bahwa this is preparation time, momentum untuk mempersiapkan hingga nanti buahnya bisa dipetik. Hingga metaverse bisa membantu segala kebutuhan hidup manusia,” buka Andes.
“Yang diinginkan dari metaverse adalah aktualisasi diri, kebebasan mengekspresikan diri, desentralisasi, breaking boundaries, make life easier, dan keamanan. Saat ini, pasar paling besar dalam metaverse didominasi oleh software atau gaming platform, services, dan advertisement. Ini menampakkan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan interkoneksi akan menjadi market yang besar,” tambah Andes.
2. G20 Priority Issues: Health, Digital, dan Sustainable Energy
Pelaksanaan KTT G20 Oktober tahun ini di Bali menjadi target khususnya bagi sektor pemerintah untuk mampu memulihkan sektor kesehatan, mengembangkan digitalisasi, dan tak lupa sustainable energy.
Bagi Hermawan, tiga fakta ini mampu menjadi strategi dan terobosan bagi entrepreneur agar dilirik pemerintah. “Kalau kita memperhatikan tiga sektor ini, akan betul-betul didukung pemerintah karena pemerintah menuju ke sana,” ujarnya.
3. Turbulent Economy: A Disrupted Recovery
Pasca pandemi ketidakpastian regulasi terus bermunculan, para pemain industri berusaha untuk pulih di tengah banyaknya disrupsi. Dari kacamata pemasaran, Hermawan menilai tren digital yang tak henti berdatangan mendorong adanya Digital War antara korporasi dan Start-up.
Bagaimana korporasi saling bertanding membangun layanan digital yang kontekstual dan terpercaya, menarik generasi baru atau bisnis di berbagai segmen, berkolaborasi dengan berbagai pemain industri, hingga membangun pengalaman konsumen baik itu OMNI, digital offline, dan online.
4. FOMO Generations: Is Everyone Making Money But You
Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) kembali mewabah di era ini. Label tokoh entrepreneur ‘crazy rich’ yang terus bermunculan, berdampak pada budaya flexing generasi muda yang kian meninggi ditunjukkan di sosial media.
Hermawan menilai kekhawatiran Gen Z meningkat dengan fenomena ini, mendorong mereka menuju Hustle Culture. Lantas siapa yang sebenarnya Crazy Rich? Real Rich? atau, Real Crazy Rich?
Raffi Ahmad misalnya, selebriti yang kerap disebut sebagai crazy rich. Bagi Hermawan, Raffi adalah sosok crazy rich yang cermat. “Raffi Ahmad sedang naik daun, dia tahu entertainment industry tidak sustainable, maka ia memperluas jangkauannya ke banyak lini bisnis. Dari jiwa entrepreneur, bisa melihat kesempatan.”
Bicara soal real-crazy rich, Hermawan mengisyaratkan tokoh-tokoh di film Tinder Swindler dan Inventing Anna produksi Netflix, “Jangan ikut-ikutan berbisnis tapi menipu, lebih baik cuan tapi diam-diam. Teknologi sisi buruknya seperti ini, flexing agar banyak followers, padahal followers banyak juga berbahaya,” ujarnya.
5. Multiverse Market: Offline Plus and Online Plus.
Banyak usaha yang hanya berfokus pada kanal online atau offline yang mereka miliki. Padahal konsumen online dan offline sudah bercampur, sehingga pemasar tidak lagi bisa membedakan konsumen dari online atau offline. Maka sebagai pemasar harus menggunakan multiverse, yaitu berada di universe online dan offline.
“Kalau kita melihat pasar secara multiverse, offline plus dan online plus sesungguhnya sedang terjadi. Pasar telah berubah total. Kalau tidak bergerak online, anda bergerak terlampau pelan. Tapi tetap harus ada improvisasi,” Hermawan menambahkan “Maka salurkan ide yang mampu aktif secara OMNI.”
Menutup perhelatan ini, Hermawan Kartajaya menekankan pentingnya penerapan CIEL dan PIPM oleh perusahaan. “Start-Up harus bisa mengawinkan CIEL (Creativity, Innovation, Entrepreneurship, dan Leadership). Buku mengenai ini sedang ditulis oleh Dr Jacky Mussry, Dean MarkPlus Institute yang semoga bisa dirilis di Bali menjelang G20.”
“Tidak cuma CIEL, ada PIPM (Productivity, Improvement, Professionalism, dan Management)-nya juga. Dengan ini perusahaan mampu menghasilkan profit dan improvement. Tanpa CIEL dan PIPM dari mana investor mau datang. Maka CIEL dan PIPM musti dipersatukan,” tutup Hermawan.