Jakarta, Technology-Indonesia.com – Teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) seperti ChatGPT (Generative Pre-training Transformer) telah membuka pintu ke dunia baru yang penuh dengan kemungkinan dan potensi yang belum pernah ada sebelumnya. Namun, dalam menggunakan teknologi tersebut, kita harus memperhatikan dan menjaga etika serta privasi diri maupun orang lain.
Perekayasa Ahli Madya Pusat Riset Sains Data dan Informasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Asril menyebutkan ChatGPT merupakan teknologi berbasis model bahasa yang sangat pintar dan mampu melayani tanya jawab layaknya manusia.
ChatGPT mampu menjawab dengan rapi karena berasal dari berbagai sumber data, internet, literasi, buku, dan sebagainya. Teknologi ini juga bisa menyimpan konteks kalimat-kalimat yang sudah pernah ditanyakan sebelumnya karena dia memiliki memori.
“ChatGPT itu bisa menjawab secara multibahasa karena datanya sangat besar. Kalau ChatGPT sudah bisa mendapatkan pola yang sangat presisi, maka bisa dianggap tools ini sudah bisa mempintarkan dirinya,” ujar Asril dalam Afternoon Talk: Episode Etika dan Privasi dalam menggunakan ChatGPT, pada Kamis (3/8/2023).
Lebih lanjut Asril mengungkapkan, teknologi ini juga sangat banyak membantu di bidang riset. Misal dalam penyusunan awal ide riset.
“Dapat digunakan saat kita baru tahu ada problem yang bisa diangkat menjadi ide riset. Kita angkat research mission-nya, lalu metodologinya seperti apa, itu chatGPT bisa membantu kita. Yang penting tahu dulu clue nya apa, buatkan narasinya, lalu chatGPT akan membuatkan suatu konteks. Dia akan bisa merekomendasikan kita seperti apa riset yang potensial terhadap masalah tersebut,” jelas Asril.
Namun seperti teknologi pada umumnya, ChatGPT juga memiliki dua sisi yakni dapat menjadi alat bantu atau justru memberikan dampak yang buruk. Karena itu, kaidah-kaidah etis harus diterapkan ketika menggunakan teknologi ini.
“ChatGPT juga sebenarnya punya sifat etis. Dia membangun satu step (layer) terakhir, di mana setelah model bahasa berhasil menemukan jawaban sesuai konteks, dia akan merujuk kaidah-kaidah yang sesuai etika. Filter ChatGPT juga tidak akan menjawab ranah atau data pribadi,” terang Asril.
“Misal, ketika kita mengajukan pertanyaan yang kurang pantas dia akan membatasi jawaban. Juga melakukan seleksi, dan memfilter kalau ada inputan seperti iklan, spam, dan sebagainya,” imbuhnya.
Dalam menggunakan teknologi ini, Asril menyarankan pengguna harus memenuhi kaidah etika dan menghindari memasukkan data yang bersifat pribadi. Prinsipnya, fungsi verifikasi oleh pengguna menjadi sangat penting, apakah jawaban yang dihasilkan sudah tepat dan sesuai harapan.
“Kalau kita mendapatkan informasi dari chatGPT juga harus bertanggungjawab jika mau menyebarluaskan dan mempublikasikannya. Kita juga harus transparan menyebutkan bahwa ini hasil chatGPT sebagai disclaimer,” tuturnya.
Asril menambahkan, salah satu area fokus dalam Strategi Nasional (Stranas) KA adalah terkait etika dan kebijakan. Keamanan siber adalah area yang termasuk etika. “AI sebagai teknologi harus bisa aman, terpercaya, tidak merusak lingkungan dan tidak melanggar nilai-nilai. Semua teknologi yang ada terutama harus mengikuti basis nilai-nilai Pancasila,” ujarnya.
Guru Besar Teknik Komputer Universitas Indonesia, Riri Fitri Sari mengungkapkan penggunaan Chat GPT harus diantisipasi secara khusus dalam konteks akademik.
“Dengan adanya Chat GPT, respon mahasiswa terlihat lebih rapi, tetapi kita harus berhati-hati agar penggunaan AI ini tidak membuat kita tergantung dan harus tetap menjadi media pembelajaran yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan,” ujarnya.
Chat GPT memiliki kecenderungan untuk memberikan jawaban yang kurang sesuai dengan bahan pelajaran, sehingga diperlukan evaluasi menggunakan alat lain.
“Kami melihat sejauhmana dosen, peneliti, dan civitas akademik, dengan menggunakan teknologi (ChatGPT) tetap dapat membangun generasi masa depan untuk terus belajar. Bukan hanya melakukan hal-hal yang mudah, tapi mengarahkan kemana mesin itu dapat membantu kita membangun kebudayaan dan peradaban,” ujarnya
Lebih lanjut, Riri mengungkapkan bahwa penggunaan Chat GPT juga akan membawa tantangan dalam dunia pendidikan ketika terjadi pergeseran dari algoritma intelligence ke kecerdasan imaginatif untuk mencapai tujuan dan mengumpulkan sumber data yang berlebihan.
Maka dari itu, penting untuk memberikan batasan dalam lingkup akademik, di mana dosen perlu beradaptasi dengan teknik dan temuan baru untuk mendefinisikan dan menganalisis jawaban yang diinginkan, serta menyiapkan generasi selanjutnya untuk masa depan yang lebih baik.
Riri juga menambahkan pentingnya menjaga privasi data, karena data tersebut bisa digunakan oleh Chat GPT dan dapat menjadi senjata yang menyerang pengguna. Oleh karena itu, penggunaan teknologi AI harus dapat dipertanggungjawabkan, aman, terpercaya, dan tidak melanggar privasi.
“Sebagai manusia, kita harus lebih bijaksana dalam memilah-milih informasi agar tidak terjadi disinformasi,” ujar Riri.
Penggunaan Chat GPT secara menyeluruh diharapkan dapat menjadi acuan untuk riset masa depan dan mewujudkan potensi AI yang lebih baik. Riri menyatakan bahwa hal ini menjadi sebuah terobosan baru dan menarik bagi para riset dan mahasiswa untuk menciptakan penemuan-penemuan baru ke depannya. (Sumber brin.go.id, Ilustrasi Pixabay.com/Tumisu)