Jakarta, Technology-Indonesia.com – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah mengembangkan teknologi produksi bioetanol generasi 2 untuk mendukung konversi bahan bakar fosil. Teknologi ini mampu mengubah limbah biomassa, khususnya tandan kosong kelapa sawit (TKSS) menjadi bioetanol.
Peneliti dari Pusat Penelitian Kimia LIPI, Yanni Sudiyani mengatakan pengembangan teknologi ini sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan BBN (biofuel) sebagai bahan bakar lain, seperti bioetanol.
Selain itu, pemanfaatan blending bioetanol-gasoline bisa mengurangi emisi karbon. “Hasil penelitian menunjukkan dengan menggunakan bioetanol selulosa, emisi gas rumah kaca dapat ditekan menjadi 65% dibandingkan dengan menggunakan bahan baku etanol jagung atau selulosa lainnya,” papar Yanni dalam Focus Group Discussion (FGD) “Prospek Pengembangan Bioetanol Generasi 2 dalam Mendukung Konversi Bahan Bakar Fosil” pada Rabu (3/10/2018) di Jakarta.
Menurut Yanni, Indonesia memiliki potensi TKKS yang sangat melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal. Tanaman kelapa sawit di Indonesia pada 2017 kurang lebih 38,2 juta ton CPO (Crude Palm Oil) yang menghasilkan sekitar 41 juta ton TKKS. Setiap 1 ton CPO menghasilkan sekitar 1,1 ton tandan kosong sawit.
“Jika limbah kelapa sawit dikelola 20% atau 8,1 juta ton berpotensi menghasilkan energi sekitar 124 juta GJ setara dengan kebutuhan minyak BBM untuk 4 juta mobil/tahun,” terang Yanni.
Selain TKKS, Indonesia juga memiliki potensi bioetanol dari limbah lignoselulosa lainnya seperti Jerami padi, sekam, bagas tebu, dan tongkol jagung. Jika potensi selulosa dan hemiselulosa dari limbah lignoselulosa tersebut dijumlahkan keseluruhan menjadi 9,99 juta ton/tahun. Sementara kebutuhan energi nasional tahun 2006 -2025 adalah 4,99 juta ton/tahun.
Lebih lanjut Yanni menerangkan, dalam pengolahan lignoselulosa untuk pembuatan bioetanol generasi 2, Pusat Penelitian Kimia menggunakan bahan kimia baik alkali maupun asam untuk memulai proses perlakuan awal. Setelah pre-treatment dilakukan sakarifikasi dan fermentasi untuk mendapatkan bioetanol.
Menurutnya, dari 1.000 kg tandan sawit setelah dikonversi menghasilkan 150 liter bioetanol, fuel grade ethanol. “Teknologi ini telah dikembangkan di Pusat Penelitian Kimia LIPI yang memulai penelitiannya sejak 2008. Melalui kerja sama dengan Koica Korea dibangun membangun pilot plant yang merupakan satu-satunya di Indonesia, bahkan Asia,” paparnya.
Untuk menekan biaya produksi, LIPI tengah berupaya meminimalisir penggunaan enzim impor dalam produksi bioethanol. “Penggunaan enzim mencapai 30 persen dari total biaya produksi, selain bahan kimia, peralatan, dan transportasi,” jelas Yanni.
Menurut Yanni, enzim yang diimpor dari Denmark tersebut punya kadar aktivitas lebih tinggi daripada enzim produksi dalam negeri sehingga masih jadi pilihan sampai sekarang.
Dalam pengembangan bioetanol generasi 2, LIPI telah melakukan berbagai penelitian mulai dari skala laboratorium kemudian Bench scale sampai mencapai skala pilot. Bahkan Pusat Penelitian Kimia LIPI mendapatkan penetapan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) sebagai Pusat Unggulan Iptek (PUI) Bioetanol Generasi 2.
“Untuk kegiatan PUI kita harus menghasilkan produk kasat mata. Selain bioetanol kita juga harus mendapatkan produk-produk lain,” terangnya.
Pusat Penelitian Kimia menggunakan menggunakan konsep biorefenery untuk menghasilkan produk utama fuel berupa bioetanol konsentrasi 99,5 Persen. Dari sisa limbah pengolahan juga didapatkan glutathione dan arang aktif.
Untuk pemanfaatan bioetanol sebagai bahan bakar, Pusat Penelitian Kimia LIPI bekerjasama dengan beberapa pihak untuk penyediaan kompor bioetanol rumah tangga dan pedagang mie, genset nelayan, dan lain-lain. Menurut Yanni, penggunaan bioetanol untuk bahan bakar kompor rumah tangga lebih aman dan lebih murah dari gas LPG.
Teknologi untuk memanfaatkan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), lanjutnya, sudah terkuasai dari hulu sampai ke hilir. Namun di hilir terdapat hambatan yang tidak menarik bagi investor untuk berinvestasi guna mengembangkan bioetanol generasi 2. “Untuk menjawab kebutuhan energi nasional, dan pemanfaatan energi alternatif tidak bisa dilakukan dengan single solution, sehingga perlu kolaborasi,” paparnya.
Yanni berharap ada investor atau industri yang tertarik untuk mengaplikasikan teknologi bioetanol generasi 2. Jika memungkinkan, suatu saat pembangunan pabrik bioetanol bisa dekat dengan tempat pengolahan minyak kelapa sawit atau CPO, sehingga transportasi limbah tidak menjadi beban.