PLTN TIDAK POPULER TAPI TERUS DIANDALKAN

plnJAKARTA : Ulasan yang diungkapkan Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman tentang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), beberapa hari lalu, terdengar lugas dan tepat.

Kusmayanto mengatakan, kebijakan pembangunan PLTN merupakan tindakan tidak populer namun harus disepakati ditempuh untuk mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak.

Dia mengungkapkan hal itu pada Pertemuan Eksekutif Bapeten dan Para Pemegang Izin Pemanfaatan Sumber Radiasi. Pertemuan yang diadakan ketika masyarakat diresahkan oleh bakal naiknya harga bahan bakar minyak menyusul makin melambungnya harga minyak dunia yang sudah di atas 120 dolar per barel.

“Satu dolar kenaikan BBM berarti tambahan dua triliun rupiah subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah. Saat ini, subsidi sudah mencapai 20 triliun rupiah. Jadi harus disepakati mesti berani ambil langkah tidak populer, termasuk pembangunan PLTN,” ujarnya.

Tidak populer tentu ada penyebabnya. Setidaknya sejumlah alasan klasik yang melatari penolakan PLTN belum berubah, dan belum mendapatkan jawaban sempurna.

Beberapa alasan itu antara lain, soal faktor keselamatan dan resiko tinggi yang dikandung sebuah PLTN yang masih menjadi momok bagi masyarakat. Masalah itu pula yang memicu ribuan orang di sekitar calon tapak di Muria dan Kudus beberapa waktu lalu berunjuk rasa menolak PLTN di sana.

Lalu, soal biaya pembangunan yang tinggi dan harga listrik PLTN yang sebenarnya juga belum kompetitif dengan listrik yang ada sekarang.

Juga soal, pertanyaan mengapa PLTN ditetapkan mulai beroperasi pada 2016, sementara pembangkit alternatif lain, seperti geothermal tidak mendapat perlakuan sama. Bukan kah memang disebutkan bahwa pengembangan PLTN, tidak lebih, sebagian bagian dari alternatif energi?

Sementara itu, ada sejumlah catatan dari mantan Badan Pengawas Tenaga Nuklir Mohammad Ridwan yang harus diperhatikan sebelum pemerintah membangun PLTN.

Dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, langkah ke arah pembangunan PLTN sudah dimulai. Apalagi badan pengawas yang menjadi syarat utama dibentuk pada tahun 1998 dengan nama Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dan mulai beroperasi pada 4 Januari 1999.

Namun beberapa peraturan pelaksanannya belum diterbitkan atau masih dalam proses diterbitkan. Salah satunya ialah peraturan pemerintah yang berhubungan dengan pembangunan dan pengoperasian sebuah reaktor nuklir.

Pasal 17 ayat 2 UU No. 10/1997 tersebut menyebutkan bahwa “Pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi nuklir lainnya serta dekomisioning reakktor nuklir wajib memiliki izin”.

Kalau Peraturan Pemerintah belum terbit dan juga kemungkinan peraturan-peraturan pelaksanaanya yang akan dikeluakan BAPETEN belum ada, maka secara hukum PLTN belum bisa dioperasikan di wilayah Indonesia.

Dia juga menyarankan, sesuai kebiasaan dan pengalaman negara-negara yang sudah mempunyai PLTN, agar dihindari untuk menggunakan operator pembangkit listrik yang sudah ada sekarang. Soalnya, ada perbedaan budaya keselamatan antara PLTN dan PLTU, serta PLTG.

Di sini kita bicara soal budaya disiplin keselamatan kerja yang di PLTN sangat ketat.
(hape)

You May Also Like

More From Author