Jakarta, Technology-Indonesia.com – Kesenjangan antara potensi sumber energi (energi primer) dan konsumsi berbagai jenis energi menjadi masalah pokok pembangunan energi di Indonesia. Sebagai contoh, rasio antara tingkat produksi dan potensi cadangan minyak bumi sangat besar. Sedangkan rasio panas bumi pemanfaatannya lebih lama karena sifatnya sebagai energi terbarukan. Tingginya pemanfaatan energi final perjenis energi masih belum proporsional.
Deputi Bidang Teknologi Pengkajian Kebijakan Teknologi (PKT) BPPT Gatot Dwianto mengatakan, Indonesia sebagai negara beriklim tropis, perlu memanfaatkan energi surya yang saat ini tengah dikembangkan oleh berbagai pihak. Pemerintah Indonesia melalui berbagai kebijakan telah mendorong tumbuhnya manufaktur komponen pembangkit tenaga surya di dalam negeri.
“Contohnya adalah penerapan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri) bagi procurement perangkat tenaga surya yang dilaksanakan instansi pemerintah dan BUMN untuk mendorong tumbuhnya industri komponen Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di dalam negeri,” ungkap Gatot dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Penyusunan Roadmap Industri Manufaktur Komponen dan Usulan Kebijakan untuk Meningkatkan TKDN Industri Pembangkit Surya” yang digelar Pusat Pengkajian Industri Manufaktur, Telematika dan Elektronika (PPIMTE) BPPT di Jakarta, Rabu (5/9/2018).
Menurut Gatot, pemanfaatan energi surya dengan menggunakan teknologi solar photovoltaic (PV) atau sel surya, menjadi salah satu sumber sumber energi pilihan. “Teknologi PV atau solar photovoltaic ini diharapkan mampu menjadi pilihan untuk menggantikan sumber energi primer untuk dikonversi menjadi tenaga listrik,” ujarnya.
Kejar TKDN
Pemanfaatan energi oleh konsumen rumah tangga, industri, dan transportasi terbilang jauh dari kata efisien. Hal ini tercermin dari perilaku pemilihan jenis energi untuk berbagai sektor yang belum efektif dan konsumsi energi yang lebih konsumtif serta rendahnya tingkat efisiensi peralatan.
Direktur PPIMTE BPPT, Andhika Prastawa mengungkapkan, menurut prediksi German Federal Government terkait sumber energi primer dunia hingga tahun 2100, menunjukkan bahwa mulai tahun 2030 sumber energi primer yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dunia (minyak, batubara dan gas bumi) akan mengalami penurunan drastis dan akan digantikan dengan sumber energi terbarukan terutama energi surya.
FGD ini, lanjutnya, menjadi ajang untuk bertukar gagasan terkait penyusunan Roadmap dan kebijakan pengembangan industri manufaktur pembangkit dan komponen PLTS. “Roadmap tersebut diharapkan dapat menjadi rujukan menyusun kebijakan pengembangan industri manufaktur komponen PLTS di Indonesia. Selain menjadi alternatif sumber energi ramah lingkungan, dan menggantikan sumber energi primer untuk dikonversi menjadi tenaga listrik,” jelas Andhika.
Mengenai TKDN, dalam FGD ini juga dibahas rencana pengembangan industri nasional bidang energi surya atau PV, serta kebijakan peningkatan TKDN. “Terkait TKDN akan lebih mempertimbangkan atau mengaitkan proses kepemilikan intelektual (process based) dibandingkan dengan perhitungan biaya (cost based),” katanya.
Untuk potensi dan permasalahan pengembangan industri sel surya, inverter, dan baterai di Indonesia, diharapkan FGD ini dapat menghasilkan masukan substansi teknis dan non teknis dari narasumber dan stakeholder, serta tercipta kesepakatan dalam konsep roadmap dan kebijakan pengembangan industri manufaktur pembangkit dan komponen PLTS.
“Dengan itu, optimalisasi pemanfaatan tenaga surya dapat menjadi solusi pemenuhan kebutuhan listrik di masa mendatang, di lain pihak manufaktur perangkat pembangkit tenaga surya dapat menciptakan lapangan kerja baru serta efek ganda terhadap perekonomian,” pungkasnya.