Jakarta, Technology-Indonesia.com – Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan optimalisasi penggunaan biofuel untuk sarana transportasi. Kebijakan tersebut mewajibkan penggunaan bahan bakar minyak jenis solar dicampur 20 persen komponen biofuel berbahan dasar minyak nabati (B20). Kebijakan ini membutuhkan pasokan biofuel yang stabil.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah mengembangkan teknologi biorefineri berbasis biomasa non-pati untuk menggantikan bahan bakar fosil. Teknologi pemanfaatan biomasa non-pati ini memiliki keunggulan nilai efisiensi ekonomi.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI, Enny Sudarmonowati mengungkapkan penelitian pemanfaatan biomasa non-pati sudah cukup banyak dikembangkan para peneliti Indonesia. Sayangnya, pengembangan penelitian tadi masih belum menyeluruh sehingga penerapannya belum optimal.
“Kita perlu memberi solusi pengembangan biomasa agar segera terimplementasi menjadi energi alternatif melalui teknologi biorefineri,” ungkap Enny di sela acara 5th International Symposium on Innovative Bioproduction Indonesia (ISIBio 2018) di IPB International Convention Center, Bogor, Jawa Barat pada Rabu (10/10/2018). Simposium internasional ini digelar LIPI bersama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk untuk membahas lebih lanjut prospek pengembangan teknologi biorefineri berbasis biomass non-pati.
Menurut Enny, penyelenggaraan simposium ke lima ini sangat spesial karena merupakan penutupan proyek yang berlangsung selama 5 tahun. “Mitra mengatakan proyek ini sangat sukses karena ada lima output yang semuanya berkaitan dengan Indonesia,” terangnya.
Lebih lanjut Enny menerangkan, pengembangan teknologi biorefineri untuk mengubah biomasa menjadi biofuel dan produk kimia lainnya menuntut adanya perhatian pada lima komponen atau output penting. “Pertama, perlu pengembangan teknologi pre-treatment biomasa untuk menghilangkan bagian yang tidak diperlukan,” jelas Enny.
Hal kedua, diperlukan pengembangan teknologi produksi enzim sebagai komponen katalisator (biokatalis). “Sampai saat ini enzim yang diperlukan masih sangat mahal karena merupakan produk impor sehingga berpengaruh pada biaya produksi. Karena itu, kita harus bisa memproduksi enzim sendiri atau paling tidak teknologinya lebih efisien dan ekonomis,” ujar Enny.
Komponen ketiga adalah teknologi fermentasi dan reaksi terpadu yang sangat krusial fungsinya. Keempat berkaitan dengan polimerisasi. Terakhir, visibility study yaitu bagaimana kelanjutan setelah proyek ini selesai untuk langsung disambut dan dimanfaatkan oleh industri. Enny mengungkapkan kebanggaanya karena sebelum proyek ini selesai sudah ada industri yang berminat menjalin kerjasama.
Jika komponen tadi dapat dipadukan dengan komposisi sumber daya lokal, maka proses produksi akan berjalan lebih efisien sehingga menurunkan biaya produksi. “Produksi energi alternatif bisa berbiaya murah dan terjangkau, terlebih lagi saat ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan B20 yang mendukung sektor energi alternatif,” jelasnya.
Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI sekaligus Manajer Proyek Biorefineri Yopi menjelaskan, untuk mewujudkan produksi energi alternatif dari biomasa yang lebih murah dan efisien, peneliti LIPI bekerjasama dalam konsorsium melaksanakan riset biorefineri terpadu.
“Konsorsium ini terdiri dari LIPI yakni Pusat Penelitian Bioteknologi, Pusat Penelitian Biologi, Pusat Penelitian Biomaterial, dan Pusat Penelitian Kimia dengan dukungan dari program JST-JICA SATREPS Project,” ujar Yopi.
Saat ini salah satu fokus riset yang sedang dikerjakan adalah pengembangan biorefineri terpadu dengan dasar pemanfaatan biomasa dari industri kelapa sawit dan tebu untuk produksi bioethanol dan bioplastik dengan menggunakan mikroba lokal.
Yopi menungkapkan, melalui hasil riset terpadu konsorsium ini Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI mendapatkan sertifikat sebagai Pusat Unggulan Iptek (PUI) Biorefineri Terpadu dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).
“Kami berharap teknologi biorefineri terus dikembangkan melalui jalinan kerja sama riset yang lebih luas. Selain itu, kami berharap mampu meningkatkan kerja sama dan berbagi pengetahuan terkait bidang bioproses biorefineri antara sesama peneliti Indonesia maupun peneliti luar negeri serta sektor industri,” pungkas Yopi.