Jakarta, Technology-Indonesia.com – Gempa berkekuatan 7.4 SR yang diikuti tsunami berkecepatan 800 m/detik menerjang Palu, Sigi, dan Donggala serta daerah sekitarnya pada 28 September 2018. Bencana tersebut memporak-porandakan bangunan perkantoran, fasilitas umum seperti rumah sakit, hotel, sekolah, rumah penduduk, jalan, dan lain-lain. Dampak gempa ini bukan hanya mengakibatkan kerusakan fisik melainkan juga mengganggu psikis masyarakat berupa trauma, rasa pilu yang mendalam akibat kehilangan sanak keluarga, rumah tempat tinggal, dan kehilangan mata pencaharian. Nampaknya hanya satu yang masih tersisa, yaitu mereka berharap agar musibah ini segera berhenti dan segala sesuatunya segera pulih kembali.
Berbeda dengan tempat lainnya, Kabupaten Sigi selain terkena gempa dan tsunami juga ada beberapa tempat yang terkena likuifaksi. Likuifaksi ini adalah proses atau fenomena masa tanah padat menjadi lumpur. Akibatnya benda-benda yang berada di atasnya (pohon-pohonan, bangunan, rumah, dan lain-lain) akan hanyut dan tenggelam. Dalam bahasa lokal likuifaksi disebut nalodo (tersedot lumpur). Sehingga tidak heran di daerah likuifaksi ini selain banyak rumah rusak karena gempa, juga banyak rumah yang turun atau bahkan hilang tertelan lumpur.
Fenomena likuifaksi ini terjadi karena bahan tanah di lembah Palu yang merupakan endapan dari hasil erosi bukit sekitarnya mempunyai struktur tanah yang belum berkembang. Saat gempa yang menimbulkan getaran hebat terjadi, struktur tanah rusak sehingga partikel tanah menjadi lepas. Tsunami dengan kecepatan tinggi menerobos bahan tanah yang strukturnya rusak membentuk lumpur (fluida) yang tidak mempunyai daya tahan terhadap masa di atasnya. Fenomena ini terjadi di lembah palu, yaitu di Desa Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu dan di Desa Jono Oge, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi.
Daerah likuifaksi ini seharusnya tidak menjadi pemukiman penduduk atau tempat penting lainnya. Tapi kenyataannya di daerah ini banyak dihuni penduduk sehingga banyak pula rumah, sekolah, dan bangunan lainnya tenggelam.
Menurut perkiraan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) jumlah korban yang tenggelam di daerah likuifaksi sekitar 5000 orang. Dirjen Tata Ruang Kemen ATR/BPN, Abdul Kamarzuki mengatakan masyarakat yang berada di daerah likuifaksi ini harus direlokasi ke tempat lain.
Di daerah likuifaksi misalnya di Kecamatan Sigi Biromaru telah mengalami perubahan topografi, yang asalnya datar menjadi berombak hingga bergelombang. Ada masa tanah yang naik ke atas dan ada pula masa tanah yang turun ke bawah sehingga menghasilkan topografi bergelombang. Selain itu ada juga masa tanah dan bangunan yang ada di atasnya bergeser hingga ratusan meter.
Seorang penduduk mengatakan saat likuifaksi terjadi, dia kaget melihat ada tanah yang tiba-tiba naik hingga 5 meter. Ada penduduk lain yang melihat rumah bergerak. Peneliti BPTP Sulteng Muh Abid SP MSi yang tinggal di Biromaru mengatakan fenomena likuifaksi terjadi di Desa Jonde Oge, Kecamatan Sigi Biromaru. Di daerah tersebut banyak rumah yang bergerak dan tenggelam.
Saat kunjungannya ke posko pengungsi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di Biromaru (6/10/2018), Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan Kementan dan masyarakat Sulawesi Selatan telah mengirimkan 500 truk bantuan untuk korban bencana Palu, Sigi, dan Donggala.
Amran berharap bantuan tersebut dapat mengurangi beban para pengungsi ini. Selanjutnya Amran meninjau saluran irigasi sawah yang hancur akibat gempa di Biromaru, Kabupaten Sigi. Dedi Nursyamsi (Kementan)/SB