Edvin Aldrian, Kiprah Profesor Muda Catatkan Prestasi Hingga Luar Negeri

Kendati usia muda, sosok Edvin Aldrian memiliki segudang penghargaan. Pada 2018, secara bersamaan Edvin mampu menyabet Habibie Award ke XX dari Yayasan SDM IPTEK (The Habibie Center) untuk bidang ilmu rekayasa sekaligus meraih Satya Lencana Pembangunan dari Pemerintah RI  yang diberikan langsung oleh Presiden atas rekayasa radar cuaca nasional pertama.  

Edvin juga produktif menyalurkan buah pemikirannya dalam bentuk jurnal ilmiah, sehingga meraih Kemenristekdikti Sinta Award pada 2018 atas penulisan artikel ilmiah internasional terbanyak dari LPNK.

Pria kelahiran Jakarta, 2 Agustus 1969 ini, memang terbilang piawai di bidangnya. Edvin Aldrian tercatat sebagai Profesor Riset ke-429 yang dikukuhkan di Indonesia, bahkan satu-satunya Profesor Riset bidang Meteorologi di Indonesia diusia yang sangat muda 40 tahun (2010), melalui riset berjudul “Pemahaman Dinamika Iklim di Negara Kepulauan Indonesia sebagai Modalitas Ketahanan Bangsa.”

Ketekunannya sebagai peneliti dengan karir fungsiaonal terbilang cukup singkat sekitar 5 tahun, dimulai sebagai Ajun Peneliti Madya pada 2007, Peneliti Utama pada 2008, dan Ahli Peneliti Utama pada 2010.

Sebelumnya, Edvin menyelesaikan  sarjana di Departemen Teknik Fisika di Universitas McMaster, Kanada  (1993), kemudian melanjutkan Program Magister Institut Hydrospheric dan Sains Atmosfer (ihas), Nagoya University, Jepang yang diselesaikan pada 1998. Tidak hanya itu, kampus ternama dirambahnya untuk Program Doktor di Max Planck Institut für Meteorologie / Uni. Hamburg, Jerman, dan berhasil lulus dengan disertasi berjudul, “Simulasi Curah Hujan Indonesia dengan Hirarki Model Iklim.”

Kendati baru meniti karir, Edvin sempat “diculik” dari instansi sebelumnya, UPT Hujan Buatan (sekarang Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca) BPPT untuk ditempatkan di BMKG usai beberapa kali menemani rombungan BMKG di pertemuan WMO (World Meteorogical Organization).  Saat itu, Edvin, masih menempati pegawai di  Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan BPPT hingga 2008, dan pada 2009 langsung ditempatkan di BMKG.

Posisi Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG  dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG pernah dijabatnya (2009-2016).  Edvin mengatakan BMKG harus mampu mengubah paradigma dari sistem operasional menjadi sistem analis. “Tidak hanya memprediksi tapi juga mampu memberikan analisis yang menjadi solusi atas kondisi yang akan terjadi,” ujar pria yang pernah menjadi anggota Tim RUU Meteorologi dan Geofisika (2009) ini.

Edvin juga beberapa kali ditugaskan sebagai delegasi Pemerintah RI untuk  UNFCCC Climate Change Conference COP13 di Bali 2007, COP15 di Copenhagen 2009, COP16 di Cancun 2010, COP17 di Durban 2011 dan COP18 di Doha 2012 .

Selain itu, menghadiri pertemuan World Meteorological Organization (WMO) di Jenewa, Kuala Lumpur, Bukarest, Manila dan Singapore, Global Framework for Climate Services (2009 – 2012) di Bonn, Beijing dan Jenewa hingga pertemuan Inter governmental Panel on Climate Change IPCC di Venesia, Jenewa, Kunming, Brest, Marrakech, Hobart, Batumi, Singapore, Islamabad, Lahore, Kathmandu, Kolkata, Bangkok, Vietnam, Dubrovnik.

Bahkan menjabat co-Chair of WMO Comission for Climatology (CCl) Expert Team (2014 – 2018) dan Dewan Panel PBB Perubahan Iklim sebagai IPCC Working Group I Vice Chair sejak 8 Oktober 2015 sekaligus  menjadi wakil Indonesia dan Asia Pasifik Barat Daya, serta mecatatkan sebagai orang Indonesia kedua yang menduduki jabatan tersebut.

Selain disibukkan dengan kegiatan sebagai dosen di perbagai perguruan tinggi, Edvin tetap produktif membuahkan karya tulisan sebagai editor Jurnal Asia Pacific Journal on Atmospheric Sciences sejak Januari 2016 dan Geoscience Letters sejak Maret 2019.

You May Also Like

More From Author