Jakarta, Technology-Indonesia.com – Dalam beberapa hari terakhir, topik mengenai potensi gempa megathrust yang kemungkinan menyebabkan tsunami di Pantai Selatan Pulau Jawa menjadi perhatian publik. Potensi kejadian tersebut merupakan hasil penelitian potensi tsunami di Pantai Selatan Jawa yang dilakukan oleh tim peneliti dari berbagai institusi.
Hasil riset Prof. Sri Widiyantoro dari Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama tim peneliti lainnya, telah terbit di Jurnal Nature Scientific Report pada Kamis (17/9/2020) dengan judul “Implications for megathrust earthquakes and tsunamis from seismic gaps south of Java Indonesia.” Hasil penelitian ini menarik perhatian banyak pihak. Tak heran jika banyak berita muncul mengenai potensi tsunami di selatan Jawa tersebut.
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang PS Brodjonegoro mengungkapkan bahwa riset tersebut dilakukan untuk mengetahui suatu skenario (kondisi worst case) terhadap potensi tsunami di selatan Pulau Jawa. Hal tersebut diperlukan untuk antisipasi, yaitu peningkatan kesiapsiagaan dan usaha mitigasi.
Menristek menerangkan, dari segi keilmuan sampai hari ini belum ada metode atau teori yang bisa memprediksi apakah suatu gempa akan terjadi, yakni kapan, di mana, dan berapa kedalaman serta besarnya. “Kajian tersebut bukan bertujuan untuk menimbulkan kepanikan di masyarakat, namun ditujukan untuk mengedepankan upaya mitigasi terhadap potensi risiko bencana di Indonesia,” ungkap Menristek pada agenda Keterangan Publik Risiko Tsunami di Pantai Selatan Pulau Jawa melalui telekonferensi, Rabu, (30/9/2020).
Kemenristek/BRIN, lanjutnya, terus berupaya mendukung manajemen mitigasi dengan membangun kapasitas sains dan teknologi kebencanaan melalui penyiapan SDM, penyediaan sarana dan prasarana riset, dan penyelenggaraan riset bidang kebencanaan demi menghasilkan dan mengelola pengetahuan (knowledge management) riset-riset kebencanaan tersebut.
“Pemerintah sudah membuat sistem yang disebut sebagai Indonesia Tsunami Early Warning System (INA-TEWS) yang dikembangkan BPPT dan beberapa institusi lainnya. Ada yang dalam bentuk buoy system yang mampu mendeteksi potensi tsunami dalam hitungan detik sehingga informasi bisa langsung didapatkan sebagai upaya mitigasi bencana sedini mungkin. Kedua ada sistem cable yang salah satunya sudah disiapkan di selatan Pulau Jawa khususnya di Selat Sunda,” tambahnya.
Peneliti ITB Sri Widiyantoro menjelaskan bahwa riset tersebut diilhami dari kajian sebelumnya oleh Ron Harris dan Jonathan Major pada 2016 berjudul ’Waves of destruction in the East Indies: the Wichmann catalogue of earthquakes and tsunami in the Indonesian region from 1538 to 1877’. Kajian tersebut memberi catatan bahwa ditemukan tsunami deposit di dekat daerah Pangandaran, yang diperkirakan terjadi akibat gempa cukup besar pada 1584-1586. Berdasarkan hal itu maka dilakukan riset multidisiplin oleh ITB bersama institusi terkait untuk mengetahui sumber megathrust sehingga dapat dipetakan.
“Hasil simulasi selama 300 menit yang diturunkan dari model sumber gempa berdasarkan hasil inversi data GPS, tidak hanya dilakukan untuk 3 skenario, namun dipilih yang paling representatif dan bahkan untuk keperluan mitigasi ditampilkan skenario yang paling worst case,” jelas Sri Widiyantoro.
Berdasarkan hasil simulasi selama 5 jam didapatkan pada skenario pertama di wilayah sebelah barat Pulau Jawa, diprediksi tinggi tsunami khususnya pantai selatan Jawa maksimum 20 meter dimana semakin ke timur akan semakin kecil karena sumbernya berada di sebelah barat. Skenario kedua dikondisikan pusat gempa berada di sebelah timur, maka tinggi tsunami di sebelah timur akan lebih tinggi dari wilayah barat.
Selanjutnya skenario ketiga atau skenario paling buruk dimana gempa terjadi secara bersamaan di barat dan timur, maka diprediksi tinggi tsunami maksimum 20 meter di sebelah barat, 12 meter di sebelah timur, dan di antara wilayah tersebut tinggi rata-ratanya mencapai 4,5-5 meter.
“Hal ini yang sebenarnya menjadi pemberitaan belakangan ini, jadi sebenarnya riset yang dilakukan sangat multidisiplin namun ujungnya adalah suatu skenario jika megathrust itu terjadi. Tim kami banyak melakukan skenario lain, puluhan mungkin seratus skenario. Tapi sekali lagi tentu untuk keperluan mitigasi ditampilkan worst case scenario seperti ini,” jelasnya.
Ahli Geoteknologi LIPI sekaligus Kepala Pusat Studi Gempa Bumi Nasional, Danny Hilman menyampaikan bahwa potensi tsunami akibat gempa megathrust sudah pernah disampaikan pada konferensi tahun 2013 di San Fransisco, Amerika Serikat. Dipaparkannya bahwa telah diketahui adanya celah seismik di Mentawai dan di Jawa yang menunjukkan ada potensi megathrust di Selatan Jawa yang juga seperti di Mentawai dengan dengan tsunami yang berpotensi besar.
“Jadi sejak 7 tahun yang lalu sudah pernah disampaikan, sehingga penelitian ini adalah update dari hasil yang lama dengan riset yang kini lebih mendalam. Sekarang sudah ada konfirmasi selain ada di Mentawai, ternyata di selatan Jawa memang ada celah seismik,” paparnya.
Keterangan publik ini dimoderatori oleh Plt. Staf Ahli Menristek Bidang Relevansi dan Produktivitas Ismunandar dan dihadiri rekan tim peneliti Prof Sri Widiyantoro, Plt. Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB Abdul Muhari, Tim Peneliti ITB Endra Gunawan, dan Pepen Supendi dari BMKG.