Penanganan Banjir di Jabodetabek melalui Pendekatan Multi Dimensi

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Posisi geografis dan topografi, ditambah dengan dampak pembangunan kota, membuat daerah Jabodetabek dan sekitarnya rentan terhadap banjir. Perubahan iklim, bertambahnya frekuensi hujan, dan cuaca ekstrem menambah risiko bencana banjir dan longsor menjadi lebih buruk dengan dampak lebih luas dan kerugian lebih besar.

Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) mengumumkan data terakhir jumlah korban meninggal akibat banjir dan longsor di Jabodetabek, Banten, dan Jawa Barat per 4 Januari 2020 mencapai 60 orang dan 2 orang masih hilang. Sebanyak 409 jiwa menjadi korban terdampak banjir dan longsor, serta lebih dari 173 ribu jiwa terpaksa tinggal di pengungsian.

Sebelumnya pada 31 Desember 2019 – 1 Januari 2020 curah hujan kategori ekstrem (>150 mm/hari) telah dominan terjadi di wilayah DKI Jakarta. Curah hujan ekstrem ini belum pernah terjadi sebelumya sejak tahun 1990-an. Sebaran curah hujan di daerah penyangga seperti wilayah Bogor dan Depok didominasi hujan lebat. Laporan Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada Minggu (5/1/2020) menunjukkan bahwa cuaca ekstrem masih berpotensi terjadi di beberapa wilayah Indonesia dalam sepekan ke depan.

Kepala Pusat Penelitian Limnologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan kontribusi hujan ekstrem lokal di wilayah Jakarta, aliran banjir dari daerah hulu, dan kondisi pasang muka air laut telah mempengaruhi mekanisme banjir 2020. Kendati demikian, banjir tidak dapat hanya dilihat sebagai bencana alam. Penanganan banjir di Jabodetabek memerlukan adanya pendekatan multi dimensi yang mencakup aspek hidrologi dan ekologi manusia.

Peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI, M. Fakhrudin menyebutkan bahwa DKI Jakarta dilalui beberapa sungai. Dalam sistem hidrologi daerah aliran sungai (DAS) terdapat hulu dan hilir yang memiliki fungsi masing-masing. Hulu merupakan wilayah resapan air hujan paling efektif yang semakin ke hilir semakin kecil resapannya. Karena itu, Bogor dan Depok merupakan daerah imbuan air tanah. Hulu punya kontribusi selain mengirim air permukaan juga mengirim air tanah.

Perubahan lahan yang berlangsung cepat menyebabkan kemampuan daya resap sistem DAS di Jabodetabek terhadap air hujan menjadi menurun. “Hal ini menyebabkan proporsi jumlah air hujan yang dikonversi langsung menjadi aliran permukaan atau direct run-off akan cenderung terus meningkat,” ujar Fakhrudin dalam Media Briefing “Banjir Ibu Kota: Potret Aspek Hidrologi dan Ekologi Manusia” di Jakarta pada Selasa (7/1/2020).

Pada kesempatan itu Fakhrudin menekankan pentingnya sistem peringatan dini belum cukup hanya berdasarkan water level pada sungai-sungai di hulu, tetapi berdasarkan curah hujan. Sistem drainase air hujan lokal juga perlu disesuaikan dengan besaran hujan ekstrem awal tahun 2020, dampak perubahan iklim kedepan dan diintegrasikan dengan sungai-sungai utama. Untuk itu, diperlukan peningkatan jumlah dan distribusi peralatan monitoring real time water level (sungai dan air laut) dan curah hujan, serta data yang dapat diakses publik.

Sementara untuk mengurangi banjir perlu dilakukan gerakan pembangunan sumur resapan terutama wilayah tengah – hulu, sedangkan wilayah hilir dengan kolam retensi. Langkah lainnya yaitu restorasi situ-situ yang menekankan aspek ekologis serta pengendalian konversi fungsi lahan.

Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI, Galuh Syahbana Indrapahasta, mengungkapkan bencana banjir di Jabodetabek menunjukkan tidak terkelolanya tiga aspek yang saling berkaitan, yaitu teknis, ekologi, dan sosial.

“Persoalan infrastruktur tentu menjadi salah satu bagian penting dari upaya untuk memitigasi banjir di Jakarta. Namun, dua aspek lainnya juga perlu diintervensi sehingga menghasilkan sistem ruang yang mempunyai resiliensi yang lebih baik terhadap banjir,” ujarnya.

Menurut Galuh, penurunan kualitas ekologi Jabodetabek secara umum dapat dilihat dari terkonversinya lahan-lahan hijau menjadi ruang terbangun. “Sedangkan aspek sosial dapat meliputi peningkatan resiliensi masyarakat serta upaya perubahan perilaku masyarakat sehingga menghasilkan perilaku yang lebih ramah lingkungan,” ujarnya.

Sementara itu, Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Gusti Ayu Surtiari menyebut adaptasi yang transformatif perlu dilakukan untuk dapat menghadapi banjir. “Adaptasi dapat dilakukan dengan mengurangi keterpaparan atau meningkatkan kapasitas menghadapi banjir, atau menurunkan sensitifitasnya,” ujarnya.

Gusti Ayu menambahkan adaptasi ini harus dilakukan di semua level masyarakat mulai dari individu, regional, hingga nasional. “Masing-masing level memiliki rasionalitas untuk mengambil keputusan atas tindakan yang akan dilakukan. Seluruh level tersebut harus sinergis dan tidak saling menghambat satu dengan yang lain. Misalnya, adaptasi di tingkat pemerintah tidak menghambat adaptasi oleh individu atau rumah tangga,” pungkasnya.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author