Jakarta – Berbagai model prediksi iklim di dunia, pada awal tahun 2019, telah memprediksi tahun ini akan muncul fenomena El Nino lemah hingga moderat yang berkibat pada berkurangnya curah hujan di beberapa wilayah di dunia termasuk di Indonesia. Sementara itu, sejak Februari 2019 sudah terjadi anomali kering di beberapa wilayah di Indonesia terutama di wilayah Sumatera bagian tengah hingga utara dan Kalimantan bagian tengah dan barat. Kondisi ini terjadi hingga beberapa bulan seiring masuknya musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia.
Seperti pada beberapa tahun sebelumnya, pada pertengahan Februari hingga akhir Maret 2019, terjadi peningkatan hotspot di Kalimantan dan Sumatera, akibat angin dingin kering dari Asia timur (cold surge).
Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) yang berada di bawah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebenarnya sudah merilis himbauan kondisi rawan kekeringan termasuk ancaman karhutla sejak awal tahun sebelum memasuki musim kemarau. Potensi awan masih tinggi untuk turunkan hujan, untuk mengisi waduk-waduk dan membasahi lahan-lahan gambut.
Namun, penerapan TMC mesti mengkoordinasikan banyak pihak. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tidak dapat menggulirkan pendanaan jika masalah kebencanaan di daerah belum ditetapkan status siaga darurat.
Baru pada 26 Februari, teknologi modifikasi cuaca dilaksanakan di Provinsi Riau, setelah berstatus siaga darurat sejak 19 Februari 2019. Banyak pengamat menilai Riau memiliki dua fase iklim kemarau .
Pada Juli 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ( KLHK) menyebutkan ada enam provinsi di Indonesia saat ini yang berstatus siaga darurat kebakaran hutan dan lahan (Karlutla). Yaitu Riau, Kalimantan Barat, Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Jambi.
Berdasarkan pantauan LAPAN, hotspot di Sumatera dan Kalimantan mengalami peningkatan yang signifikan, dari bulan Agustus di Sumatera tercatat 1.876 titik menjadi 4.612 titik pada September sedangkan di Kalimantan pada Agustus tercatat 4.430 titik menjadi 11.031 titik pada September (data 30 September 2019). Kondisi ini mengakibatkan bencana asap yang sangat mengganggu kesehatan dan aktifitas penduduk serta mengganggu aktifitas penerbangan.
KLHK menyatakan bahwa luas hutan dan lahan yang terbakar mencapai 42.740 hektar sepanjang Januari hingga Mei 2019. Jumlah itu diketahui berdasarkan pengamatan citra Landsat 8 OLI serta verifikasi dan pengecekan lapangan. Dari 42.740 hektar lahan yang terbakar, sebanyak 27.538 hektar merupakan lahan gambut. Sedangkan 15.202 hektar merupakan lahan tanah mineral.
Satgas Manggala Agni KLHK juga water bombing dikerahkan, namun belum membuahkan hasil. Hingga pertengahan September, Presiden Jokowi didampingi Menko Polhukam, Menteri LHK, Kapolri, Mendikbud, Menkes, Panglima TNI, Kapolri, Kepala BNPB, Kepala BPPT dan Kepala BMKG melakukan kunjungan kerja ke Riau untuk melihat secara dekat penanggulangan karhutla di Riau.
Dalam kunjungan kerja tersebut, Presiden Jokowi sekaligus melakukan rapat terbatas untuk membahas pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan. Sekaligus memberi arahan kepada Panglima TNI, Kepala BNPB dan Kepala BPPT untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan melalui pelaksanaan teknologi modifikasi cuaca.
BBTMC-BPPT bergerak cepat, keesokan hari pada 17 September membuka posko di Kalimantan Tengah di Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya, tgl 18 September dibuka Posko untuk wilayah Kalimantan Barat dipusatkan di Pangkalan Udara Supadio, Pontianak.
Sementara Posko Riau yang telah berjalan di Lanud Roesmin Nurjadin dan Posko wilayah Sumatera Selatan diaktifkan kembali dipusatkan di Lanud Sri Mulyono Herlambang Palembang.
Tim BBTMC-BPPT mensiasati kabut asap yang menghalagi pertumbuhan awan dengan kapur tohor (CaO) yang disebarkan terus menerus. Awan potensial mulai muncul dan segera dilaksanakan penyemaian garam (NaCL) guna turunkan hujan.
Hujan akhirnya mengguyur wilayah-wilayah di lima provinsi yang dilanda karhutla, dan jumlah hotspot turun secara drastic dalam tempo singkat.
“TMC mampu menghasilkan air dalam jumlah yang sangat banyak sampai jutaan m3 perhari dengan cakupan wilayah hujan sangat luas jika dilakukan pada saat yang tepat dan bergantung ketersediaan awan,” kata Tri Handoko Seto, Kepala BBTMC-BPPT.
Asap di beberapa wilayah yang dilanda karhutla berangsur-angsur hilang, seiring hujan yang terus mengguyur beberapa hari terakhir. Jumlah hotspot terus mengalami penurunan dan jarak pandang mulai kembali normal.
Data BNPB menyebutkan untuk misi TMC Karhutla tahun ini capai sekitar Rp 33 Miliar. Bandingkan dengan metode water bombing yang sudah capai angka Rp 1,2 Triliun.
Atas keberhasilan tersebut, Kepala BPPT Hammam Riza mengusulkan agar BPPT diberikan penugasan nasional dan memiliki independensi melakukan operasi TMC yang berkelanjutan yang didukung oleh anggaran, peralatan (pesawat) dan SDM. Selain itu, dalam rangka efisiensi proses dan langkah kedepan serta masih maraknya kasus kebakaran hutan di tahun-tahun mendatang. “BPPT adalah satu-satunya institusi negara yang memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan hujan buatan atau TMC,” ungkap Hammam.
Sementara Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT Yudi Anantasena mengusulkan pengadaan armada pesawat modifikasi cuaca seperti pesawat King Air, Casa 212 dan CN 295. Saat ini, BBTMC BPPT hanya memiliki dua armada pesawat, dan dalam kondisi perbaikan. “Keduanya masih unserviceable dan dalam proses perbaikan. Jadi, memang kami hanya mengandalkan pesawat milik TNI AU untuk melaksanakan TMC saat ini, “ujarnya.
Diketahui, awal minggu ini, TNI AU menarik armada Hercules C130 dari Posko TMC Pekanbaru untuk misi baru. Sehingga penanganan di Jambi akan dibagi dua, yaitu untuk penanganan Jambi bagian tenggara dan selatan ditangani Posko TMC Palembang. Sedangkan Jambi bagian utara akan ditangani Posko TMC Pekanbaru. Demikian pula, CN 295 yang perkuat kegiatan TMC di Kalimantan Tengah juga dialihkan ke Kalimantan Barat, sehingga tertinggal 1 armada di Posko TMC Kalbar, yaitu CN212-200.
Tri Handoko Seto juga berharap, dengan fasilitas dan kewenangan nantinya, komando penerapan TMC bisa langsung dipegang. “TMC semestinya dilaksanakan awal untuk pencegahan. Jika menunggu status darurat ditetapkan nilai kerugian yang ditanggung akan jauh lebih besar seperti pada 2015 nilai kerugian bahkan capai Rp 215 triliun ,” tegasnya.
Menurut Seto, penerapan TMC tidak hanya untuk bencana karhutla, tetapi juga untuk pencegahan bencana banjir, pengisian waduk untuk PLTA, peningkatan pertanian, pertambangan dan lain sebagainya. “Di Thailand, TMC langsung dibawah komando Presiden bahkan. Coba lihat pertaniannya sangat maju,” ujarnya.