Jakarta, Technology-Indonesia.com – Kebutuhan akan informasi geospasial (IG) semakin dirasakan setelah bencana gempa yang diikuti tsunami dan likuifaksi menerjang Sulawesi Tengah (Sulteng) beberapa waktu lalu. Banyak pihak memanfaatkan IG untuk penanganan pascabencana yang areanya begitu luas dan tersebar.
Siklus manajemen penanggulangan bencana meliputi disaster preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana), disaster mitigation (mengurangi dampak bencana), disaster response (tanggap bencana), serta disaster recovery (pemulihan pascabencana).
“Diperlukan informasi geospasial pada seluruh rangkaian siklus manajemen penanggulangan bencana. IG dapat dimanfaatkan pada tahap pra, saat terjadi, maupun pascabencana,” kata Deputi Bidang Informasi Geospasial Dasar, Badan Informasi Geospasial (BIG) Mohammad Arief Syafi’i dalam Media Gathering bertema “Pemanfaatan Informasi Geospasial dalam Mitigasi Bencana” pada Kamis (11/10/2018) di Jakarta.
Lebih lanjut Arief menerangkan wilayah Indonesia merupakan wilayah rawan bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir, longsor, dan sebagainya. Secara geografis, Indonesia terletak di antara dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Pasifik. Indonesia diapit dua benua, yaitu Benua Asia dan Australia.
Sedangkan, secara geologis, Indonesia dilalui dua rangkaian pegunungan besar di dunia, yaitu Sirkum Pasifik dan Mediterania. Sirkum Pasifik dimulai dari pegunungan Los Andes di Amerika Selatan, pegunungan di Amerika Tengah, Rocky Mountain di Amerika Utara, Kepulauan Aleuten, Jepang, Filipina dan masuk ke Indonesia melalui tiga jalur, yaitu Kalimantan, Sulawesi, dan Halmahera berlanjut ke kepala burung Papua dan membentuk tulang punggung pegunungan di Papua, Australia dan berakhir di Selandia Baru.
Sementara, Sirkum Mediterania sambungan dari jalur pegunungan di sekitar Laut Tengah, yaitu Afrika Utara, Spanyol, Alpen, Alpenina, Semenanjung Balkan, membujur ke pegunungan Himalaya, Myanmar, Malaysia, kemudian menyebrang ke Indonesia. Indonesia juga berada di pertemuan lempeng litosfer, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara. Sedangkan Lempeng Indo-Australia bertubrukan dengan Pasific di utara Irian dan Maluku utara.
“Posisi Indonesia tersebut membuatnya menjadi rawan bencana alam, mulai dari kekeringan, banjir, gempa, erupsi gunung berapi, hingga tsunami. Bahkan, bisa dibilang hampir seluruh wilayah di Indonesia tidak ada yang bebas bencana. Tidak heran, jika ada yang menyebut Indonesia adalah supermarket bencana,” ungkap Arief.
Menurut Arief, kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yang terjadi, dapat meminimalisir resiko pada saat menghadapi bencana. Untuk itu, diperlukan edukasi secara terus menerus kepada seluruh lapisan masyarakat mengenai ancaman bahaya bencana di sekitar tempat tinggalnya dan bagaimana cara menghadapinya.
“Untuk mengantisipasinya kita perlu informasi geospasial terkait kebencanaan, dimana lokasi-lokasi rawan bencana maupun lokasi ancaman-ancaman bencana itu yang bisa menimpa masyarakat. Informasi geospasial terkait kebencanaan harus tersedia dan mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat,” terangnya.
Edukasi yang harusnya didapat masyarakat meliputi disaster life management cycle atau siklus manajemen penanggulangan bencana. Siklus ini pada dasarnya berupaya menghindarkan masyarakat dari bencana, baik dengan mengurangi kemungkinan munculnya hazard maupun mengatasi kerentanan.
Kebutuhan akan IG semakin dirasakan setelah bencana tsunami dan likuifaksi yang menerjang Sulteng. Banyak pihak memanfaatkan IG untuk penanganan pascabencana yang areanya begitu luas dan tersebar. Masyarakat juga mulai sadar, perlu adanya peta rawan bencana yang berisi segala informasi terkait bencana, dari mulai gunung api hingga lempeng bumi yang rawan bergeser. Peta bencana ini nantinya dapat digunakan untuk banyak hal, termasuk menentukan lokasi pembangunan.
Dalam kesempatan tersebut, Arief mengingatkan bahwa teknologi seperti peringatan dini terhadap bencana sangat diperlukan, namun kesadaran dan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana lebih diperlukan.