Jakarta, Technology-Indonesia.com – Seperti deposit mineral terestrial, laut dalam juga memiliki kandungan logam seperti tembaga, nikel, aluminium, mangan, seng, litium, dan kobalt. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam perjalanannya, dengan armada Kapal Riset Baruna Jaya telah beberapa kali terlibat dalam survei ilmiah bersama mitra kementerian/lembaga (K/L) dalam negeri maupun luar negeri untuk mengetahui potensi mineral laut dalam.
Kepala BPPT Hammam Riza mencontohkan, penelitian laut dalam terakhir pada 2010 kerja sama Indonesia dengan Amerika Serikat, dalam kerangka Program The Indonesia – USA Exploration for Sangihe Talaud, 6 Juli – 9 Agustus 2010 atau INDEX SATAL 2010 menggunakan KR Baruna Jaya IV telah melakukan berbagai topik penelitian laut dalam di Perairan Sangihe dan Talaud.
Dalam penelitian ini, terang Hammam, bersama Kapal Okeanos Explorer milik NOAA – USA telah menemukan area Hydrothermal Vent. Sebelumnya pada kurun tahun 2000-2001, Survei BANDAMIN dan Survei Teluk Bone dengan menggunakan KR Baruna Jaya III berhasil mengindikasikan adanya mineral laut berupa nodul mangan di Laut Banda dan potensi mineral emas di Teluk Bone. Hal ini semua menunjukkan bukti bahwa potensi mineral laut dalam terdapat di wilayah perairan Indonesia.
“Kapal Baruna Jaya dioperasikan oleh Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT yang merupakan balai dengan pengalaman panjang 30 tahun lebih terus berkiprah tiada henti,” kata Hammam saat membuka webinar dengan tema ‘Eksplorasi Mineral Laut Dalam di Indonesia: Potensi, Kebijakan, Tantangan dan Teknologi’ pada Kamis (22/7/2021).
Sebagai bagian dari upaya penguatan infrastruktur penelitian laut dalam, pada beberapa tahun terakhir ini, BPPT telah melakukan berbagai langkah peningkatan kemampuan infrastruktur riset berupa revitalisasi Kapal Riset Baruna Jaya dan berbagai peralatan pendukung.
“Pada tahun 2020, kami telah melakukan revitalisasi terbatas pada KR. Baruna Jaya I dan KR. Baruna Jaya III yang saat ini didedikasikan pada operasional survei untuk penguatan dan pengembangan Tsunami Early Warning System di Indonesia, termasuk untuk pemetaan laut dalam dalam rangka untuk submisi ekstensi batas landas kontinen Indonesia, dan untuk survei laut dalam rangka mendukung penentuan jalur kabel telekomunikasi bawah laut Palapa Ring,” terang Hammam.
Pihaknya juga terus mengupayakan berbagai peralatan baru hasil pengadaan 2017-2020 juga memperkuat infrastruktur riset laut dalam, seperti berbagai Multibeam echosounder (MBES) untuk pemataan dasar laut kedalaman sampai 3500 m, 8000 m dan sampai kedalaman 11000 m. MBES laut dalam sampai 11000 m merupakan satu-satunya yang dipunyai oleh Indonesia saat ini.
Selain itu, peralatan untuk hidro-oseanografi seperti CTD (Conductivity Temperature Depth) sampai kedalaman 6.000 meter, dan berbagai peralatan lainnya termasuk Remotelly Operated Vehicle – ROV yang dapat digunakan untuk mengamati dan memotret obyek bawah laut sampai kedalaman 1.000 meter.
Dalam mendukung operasi survei laut di tengah samudera, Balai Teknologi Survei Kelautan (Teksurla) – BPPT saat ini juga telah dilengkapi ruang kontrol atau Command Center sebagai Pusat Pengendalian Operasi Survei KR. Baruna Jaya yang menggunakan komunikasi melalui satelit – VSAT. Dengan infrastruktur riset KR. Baruna Jaya BPPT ini tentu diharapkan dapat mendukung upaya-upaya untuk kegiatan riset laut dalam termasuk ekplorasi mineral laut dalam di Indonesia.
“Ini merupakan upaya-upaya kita untuk melaksanakan transformasi digital yang akan membawa kita melaksanakan survei kelautan mengadopsi seluruh kemajuan teknologi 4.0 yang memang nanti akan memperkuat upaya-upaya kita untuk melahirkan hasil-hasil pengkajian dan penerapan teknologi khususnya dalam survei kelautan,” terang Hammam.
Meskipun potensi mineral laut dalam di Indonesia dapat diindikasikan, penelitian laut dalam di Indonesia barangkali masih menjadi sesuatu yang frontier – belum banyak dilakukan. Ini tentu menjadi tantangan kita semua untuk dapat menciptakan ekosistem riset dan inovasi terkait kajian secara komprehensip terhadap potensi sumberdaya laut dalam dan komersialisasinya. Apalagi, konsep triple helix– yang menciptakan sinergi antara akademik, bisnis, dan pemerintahan untuk membangun ekosistem berbasis pengetahuan, peran dunia bisnis sangat penting.
Namun demikian, menurut Hammam, konsorsium riset samudera yang telah diinisiasi 15 K/L dan Perguruan tinggi dapat menjadi langkah awal untuk membentuk ekosistem riset dan inovasi laut yang lebih kuat kedepannya. Lembaga penelitian pemerintah yang mempunyai infrastruktur riset dan inovasi yang kuat dapat digunakan secara bersama-sama dalam konsorsium, sementara itu, perguruan tinggi dapat berperan besar untuk membantu memperkuat kualitas riset dan inovasi.
Kedepan, dengan adanya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang melaksanakan fungsi pelaksanaan pengarahan dan penyinergian dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan; ekosistem riset laut dalam ini dapat berjalan dengan lebih baik.
“Saya meyakini bahwa Balai Teksurla akan terus berkiprah untuk mengejar inovasi layanan teknologi untuk mencari potensi-potensi mineral laut dalam di Indonesia yang akan menjadi frontier dari upaya kita dalam melakukan pengkajian dan penerapan teknologi,” pungkasnya.