Jakarta, Technology-Indonesia.com – Manusia merupakan salah satu makhluk hidup penghasil sampah terbesar di dunia. Lingkungan yang tercemar adalah hasil dari aktivitas manusia sehari hari. Salah satu bagian di dunia yang menjadi korban pencemaran adalah laut.
Peneliti Ahli Utama, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM) – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Widodo Setiyo Pranowo mengatakan, untuk meminimalisir pencemaran yang terjadi, perlu dilakukan kegiatan riset sebagai upaya pengelolaannya.
Menurutnya, riset sebaran sampah laut penting dilakukan secara komprehensif dan lintas kepakaran, serta lintas institusi dan perguruan tinggi.
“Lingkup riset meliputi, survei di laut dan pesisir, mengoleksi sampah, kemudian mengidentifikasi jenis sampah, dan mengidentifikasi apakah sampah terjebak di kawasan mangrove dan lamun,” jelas Widodo.
Menurut Widodo, Indonesia tidaklah menjadi negara penyumbang sampah laut terbesar. “Apabila mau hitung-hitungan yang fair, maka harus dihitung jumlah populasi penduduknya. Setiap manusia hidup pasti menghasilkan sampah, hanya kemudian yang harus dilihat adalah sistem dan manajemen pengelolaan sampah dari masing-masing negara,” tegas Widodo.
Melihat rekaman data rutin yang dioperasikan oleh Kementerian LHK, hingga saat ini dari sekitar 18 juta ton per tahun total timbulan sampah produksi rumah tangga di darat seluruh Indonesia, yang bisa terkelola adalah sekitar 77,39%. Artinya masih ada sekitar 4,2 juta ton/tahun (atau 22,61%) yang belum terkelola.
“Misalkan diasumsikan saja dari sampah tersebut 10% jatuh ke sungai dan ke laut, maka bakal ada sekitar 0,42 ton sampah per tahun. Dan angka ini pun ternyata masih sangatlah besar,” ujar Widodo.
“Jadi untuk perhitungan yang lebih valid, maka diperlukan riset dan pendataan yang komprehensif dan kontinyu. BRIN mungkin bisa mendirikan Pusat riset/kolaborasi dan inovasi teknologi penanganan sampah laut, bekerjasama dengan KLHK, dan pemda-pemda,” imbuhnya.
Alasan mengapa kita tidak boleh membuang sampah di laut dikarenakan apabila yang dibuang adalah sisa makanan berbahan organik di laut, asalkan dalam jumlah yang tidak banyak dan tidak rutin, mungkin masih bisa terurai ataupun dimakan oleh ikan atau biota laut lainnya.
Jika terlalu banyak, melebihi kemampuan biota memakannya, maka sisanya yang terdampar di dasar laut bisa membusuk dan menghasilkan gas yang membahayakan organisme di laut.
Sampah plastik juga bisa berdampak parah. Di beberapa kasus, tas plastik tipis yang berwarna warni sering dimakan oleh penyu. Saat berada di kolom air, plastik tersebut meliuk liuk mirip ubur-ubur, sehingga disantap oleh penyu. Lambat laut penyu akan mati karena dia merasa kenyang, namun tidak ada nutrisi buat tubuhnya.
Jenis sampah di laut ada yang organik dan non organik. Sampah non organik yang membahayakan adalah sampah plastik, baik yang berukuran mega, makro, mikro maupun nano. Sampah laut organik yang masif di dasar laut bisa membusuk kemudian gas racunnya mematikan ikan secara massal.
Sedangkan sampah plastik, dalam jangka waktu tertentu bisa terdegradasi menjadi mikro/nano plastik yang mungkin bisa masuk ke pencernaan ikan.
Apabila ikan tersebut dikonsumsi manusia, mungkin dampaknya tidak akan dirasakan secara cepat, namun lambat laun. Adanya nano plastik yang terlarut di kolom air laut, akan memiliki probabilitas terangkut ketika air laut diambil kemudian digunakan sebagai bahan baku pembuatan garam. Jika garam tersebut dikonsumsi manusia, dikhawatirkan dampaknya akan terakumulasi di tubuh manusia.
Widodo menjelaskan, riset yang tengah dilakukannya adalah menggunakan teknik simulasi pemodelan sebaran sampah dapat dilakukan dengan metode Lagrangian sederhana. Salah satu teknik verifikasi dari simulasi adalah penggunaan alat drifter dengan memanfaat GPS tracker sehingga ringan.
“Kami telah melepaskan beberapa drifter di sungai yang terpilih. Dari beberapa drifter yang dilepaskan di Sungai Cisadane pada 2020, drifter yang menyerupai sampah tersebut pada 2021 telah mengarungi Samudera Hindia dan mendarat di Pesisir timur Afrika dan Madagaskar,” terang Widodo
Lebih lanjut dirinya menjelaskan bawah drifter merupakan suatu alat kecil dengan berat 500 gram hingga 1 kg. Di dalamnya terdapat data storage, baterai dan GPS.
“Alat ini dilepaskan di sungai kemudian dibawa arus kemana mana. Selama terbawa arus bisa dideteksi pergerakannya melalui satelit. Drifter tersebut diasumsikan sebagai sampah dari sungai, kemudian kita ingin melihat hingga sejauh manakah sampah/drifter tersebut terbawa arus hingga jauh,” ucapnya.
Widodo menyampaikan, pesan penting yang harus diketahui adalah sampah harus bisa ditangani di darat agar tidak tertumpah ke badan air sungai atau laut. Ketika sampah masuk ke laut, maka sulit untuk menangani dan akan terangkut jauh kemana-mana, bisa melintasi samudra
Ia menegaskan banyak upaya bisa dan telah diterapkan, mulai dari penerapan regulasi pengurangan tas plastik belanja di supermarket, hingga penerapan sistem bank sampah di level-level desa. Kemudian revitalisasi tempat pembuangan akhir sampah agar supaya sampah tidak jatuh ke sungai dan laut.
Pemberian insentif bagi pengumpulan sampah plastik mungkin bisa diterapkan dengan skala yang lebih luas. Seperti yang pernah dilakukan di Pemkot Surabaya yang memberlakukan botol plastik bisa digunakan sebagai alat pembayaran naik bus kota.
“Melakukan berbagai upaya agar sampah tidak jatuh ke sungai dan laut yaitu dengan menggiatkan masyarakat untuk program bersih sungai dan pantai secara rutin. Mendiseminasikan dan mengajak warga untuk selalu menjaga kebersihan dan membuang sampah pada tempatnya,” pungkas Widodo. (Sumber brin.go.id, Ilustrasi Pixabay.com/RosZie)