Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas dengan luas laut teritorial 3,1 juta km2, ditambah lagi dengan laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 2,7 juta km2. Sementara wilayah daratan 1,9 juta km2 dengan sedikitnya 13.466 pulau yang telah diberi nama. Belum lagi, garis pantai yang kedua terpanjang di dunia yakni mencapai 99.093 km. Ini membuat Indonesia sangat pantas disebut sebagai negara maritim.
Selain sangat luas, wilayah laut Indonesia mengandung potensi yang juga luar biasa besar, baik dari potensi sumber daya energi dan mineral di bawah laut, potensi perikanan dan biota laut lainnya, potensi wisata bahari hingga potensi sebagai jalur perdagangan dunia.
Karena itulah pemerintah kini bertekad menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, yakni sektor kelautan yang mampu mensejahterakan rakyat, meningkatkan kemandirian bangsa, daya saing dan pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk mendukung cita-cita tersebut diperlukan suatu penataan ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia yang rinci melalui informasi geospasial (IG).
Kepala BIG, Priyadi Kardono mengatakan dalam mendukung pembangunan poros maritim, BIG menyediakan Informasi Geospasial Dasar (IGD) berupa berupa peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dan Lingkungan Laut Nasional (LLN), Informasi Geospasial Tematik (IGT) dan bersama beberapa instansi menetapkan batas NKRI.
“Sampai akhir 2014, peta LPI yang telah diselesaikan BIG sebanyak 70% untuk skala 1:250.000. Peta LPI ini ada bermacam skala. Peta LPI skala 1:10.000 akan kita gunakan untuk memetakan pembangunan 24 pelabuhan sebagai infrastruktur pendukung tol laut,” ungkap Priyadi dalam diskusi Informasi Geospasial Mendukung Pembangunan Poros Maritim, di Jakarta, Kamis (18/6/2015)
Selain itu, BIG melakukan koordinasi antar kementerian/lembaga (K/L) dalam penyelenggaraan IGT kelautan untuk mendukung penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). “Koordinasi ini perlu ditingkatkan dalam bentuk Rakornas, Rakortek, Pokja dan forum antar K/L,” lanjutnya.
Kebijakan Satu Peta digunakan sebagai landasan dalam integrasi data geospasial antar K/L untuk efektifitas penyelenggaraan IGT. “Untuk kebijakan satu peta, BIG telah membentuk 12 working grup/kelompok kerja. Di dalam kelompok kerja itu semua tema dibuat standar, SOP, dan sebagainya. Penyusunan tata laksana integrasi IGT diperlukan agar proses integrasi data geospasial berjalan dengan teratur dan sesuai standar,” kata Priyadi.
IGT kelautan yang sudah dikerjakan BIG misalnya pemetaan mangrove, tipologi pesisir, lahan garam, ekosistem pesisir, pulau-pulau kecil, karakter perairan dan pulau-pulau kecil. Sementara Standar IGT sudah dibuat antara lain Habitat Perairan Dangkal dan Mangrove.
“Pada akhir tahun biasanya kita membuat kesepakatan one map IGT. Pada Desember 2014 kita meluncurkan satu peta IGT yang diakui oleh K/L yaitu peta mangrove, habitat lamun, peta penutup lahan, dan peta karakteristik laut,” ungkap Priyadi.
Priyadi berharap langkah berikutnya bisa dilakukan peningkatan sinergi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kemaritiman berbasis informasi geospasial melalui percepatan penyediaan data Informasi geospasial untuk mendukung rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Diskusi yang diadakan oleh BIG bekerjasama dengan Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Mapiptek) ini juga menghadirkan tiga narasumber lain yaitu Muhammad Dimyati (Deputi Sumberdaya Iptek Kemenristek Dikti), Thomas Djamaluddin (Kepala Lapan) dan Nani Hendiarti (Asdep Bidang Iptek Kemenko Bidang Maritim). Diskusi dimoderatori oleh Arif Satria, Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.