JAKARTA – Ekosistem lahan gambut sangat rentan terhadap perubahan iklim dan dampak aktivitas manusia seperti penebangan, drainase dan konversi ke lahan pertanian. Peristiwa kebakaran lahan gambut yang terus berulang, menunjukkan ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam pengelolaan lahan gambut di Indonesia.
Ketua Dewan Riset Nasional (DRN), Bambang Setiadi mengatakan, keberadaan lahan gambut mempengaruhi ketersediaan air tanah, sehingga persoalan gambut juga merupakan persoalan air. Karena itu perlu adanya tata kelola air yang baik agar lahan gambut tetap basah dan tidak mudah terbakar.
Menurutnya, penanggulangan kebakaran lahan gambut bisa dilakukan mencegah lepasnya air dari gambut. “Penyaluran air dari kubah gambut tak boleh langsung mengalir ke kanal. Jalur penyaluran harus dibuat sedemikian rupa hingga air bertahan lama di saluran. Semakin lama air berada di saluran maka risiko lahan terbakar akibat kekeringan semakin kecil,” Kata Bambang pada acara peluncuran buku Tropical Peatland Ecosystems di Jakarta, Senin (22/2/2016).
Bambang mengatakan buku yang berisi info terkini penanganan lahan gambut tropika ini penyusunannya memerlukan waktu lama karena cara penulisannya ketat sekali. “Sebuah buku dengan pemikiran baru dan cara pendekatan baru, diterbitkan sebagai bagian dari kerjasama antara BPPT dan Hokkaido University, Jepang. Buku ini diterbitkan oleh Springer, sebuah percetakan yang sangat diakui kredibilitas scientific-nya,” lanjutnya.
Peluncuran buku ini merupakan kerjasama antara DRN, BPPT, Hokkaido University, serta Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi. “Buku ini juga dipersembahkan untuk mengenang peneliti BPPT, almarhum Dr. Muhammad Evri yang penelitiannya termuat dalam buku ini,” papar Bambang.
Peneliti gambut dari Hokkaido University sekaligus salah satu editor buku, Mitsuru Osaki menyampaikan, para ilmuwan gambut Jepang telah menjalin kerjasama ilmiah dengan ilmuwan Indonesia untuk melakukan pemetaan cadangan karbon di hutan gambut Indonesia.
Menurutnya pelaksanaan program pengurangan emisi melalui pencegahan kerusakan hutan perlu sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) terintegrasi. Hal ini untuk memastikan semua aspek terkait sehingga penghitungan karbon memiliki dasar ilmiah kuat.
Dengan sistem MRV peneliti akan mendapat data lebih lengkap tentang lahan gambut, dan akan bisa menjadi panduan dalam manajemen karbon di wilayah mereka. “Dengan menggunakan teknologi terkini dan metode ilmiah, sistem ini bisa membantu kita untuk mengelola kandungan karbon di hutan gambut,” paparnya.
Buku ini membahas secara mendalam dampak lahan gambut pada perubahan iklim dan fungsi ekosistem, yang mengandung sejumlah besar hasil penelitian terbaru seperti pemantauan-sensing-modeling untuk karbon-air fluks / penyimpanan, keanekaragaman hayati dan pengelolaan lahan gambut di daerah tropis.
Diperkirakan lebih dari 23 juta hektar (62%) dari total luas lahan gambut tropis global terletak di Asia Tenggara, di dataran rendah atau pesisir daerah Sumatera Timur, Kalimantan, Papua Barat, Papua Nugini, Brunei, Semenanjung Malaysia, Sabah , Sarawak dan Thailand Tenggara. Lahan gambut tropis memiliki fungsi penyimpanan karbon-air yang vital dan tuan rumah untuk keragaman besar dari spesies tanaman dan hewan.
Ia menambahkan, hutan gambut di wilayah tropis memiliki peran penting bagi keragaman hayati di seluruh dunia, dan menjadi habitat spesies-spesies yang terancam punah. Hutan gambut di Kalimantan Tengah dinilai sebagai salah satu hutan gambut yang terpenting bagi cadangan karbon yang ada di dunia.