Menyingkap Kekayaan Hayati Pulau Sumba

alt

JAKARTA – Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) diyakini memiliki sumber daya alam yang tinggi serta unik karena berada di bagian selatan zona transisi Wallacea, di mana karakteristik biogeografi Indo-Malaya dan Australasia bertemu. Tingkat keberagaman dan endemisitas yang tinggi di Pulau Sumba bisa menjadi dasar pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan daya saing Indonesia.

Selama Ekspedisi Widya Nusantara (E-WIN) 2016, tim peneliti bidang ilmu pengetahuan hayati (IPH) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan kajian yang meliputi kajian fauna, flora, mikroba, serta pangan dan material maju di Pulau Sumba.

Deputi Bidang IPH LIPI, Enny Sudarmonowati mengatakan dari hasil ekspedisi tersebut, tim penelitian bidang hayati mencatat beberapa jenis tanaman liar yang berpotensi dikembangkan sebagai sumber pangan yaitu jewawut, kelompok uwi atau ganyong, dan garut.

“Tanaman ini dapat ditingkatkan statusnya menjadi tanaman budidaya dan diharapkan dapat meningkatkan gizi masyarakat setempat,” ujar Enny dalam Ekspose dan Talkshow E-WIN 2016: Menggali Potensi Bioresources untuk Mengurangi Kerentanan Masyarakat Perdesaan Sumba di Auditorium LIPI, Jakarta, pada Senin (19/12/2016).

Dari potensi penelitian potensi pangan lokal, tim IPH LIPI mengidentifikasikan potensi serealia (selain padi dan jagung) berupa 3 jenis umbi-umbian, 7 jenis kacang-kacangan, serta 20 jenis buah dan sayur. Tantangan bagi LIPI dan pemerintah daerah adalah bagaimana membuat sumber pangan lokal ini bisa disenangi oleh masyarakat. “Kadang-kadang yang potensi ini rasanya tidak enak. Jadi bagaimana kita membuat rasanya itu enak seperti mereka memakan jagung,” lanjutnya.

Sementara eksplorasi fauna di Pulau Sumba ditujukan untuk mendata potensi fauna, menemukan jenis baru, serta menguak potensi pemanfaatan dan aspek konservasi jenis-jenis endemik Pulau Sumba. Di Pulau Sumba tercatat 18 jenis serangga, 75 jenis burung, 56 jenis ikan, 12 jenis reptil, 5 jenis amfibi, 139 jenis serangga, 44 jenis keong, 25 jenis kepiting, 37 jenis udang, dan 2 jenis kelomang. Ditemukan tiga kandidat jenis baru yaitu 1 jenis tikus Rattus sp. dan 2 lalat buah Drospilla sp.

Berdasarkan kajian molekuler (DNA), Kuda Sumba (Sandel) berasal dari dua garis keturunan yang berbeda. Dalam populasi Kuda Sumba sudah terjadi perkawinan silang dalam (inbreeding). Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya diversitas genetiknya. Informasi ini bisa digunakan untuk pertimbangan ilmiah konservasi genetik Kuda Sumba.

Enny mengemukakan adanya fauna yang telah diintroduksikan ke Sumba dan berpotensi menjadi hama pertanian yaitu Bekicot (Achatina fulica) dan Keong Mas (Pomacea canaliculata). “Ini berbahaya kalau diperbanyak karena bisa menjadi invasif spesies yang mendominasi spesies lainnya, sehingga spesies lokal habis,” lanjutnya.

Untuk kajian flora Sumba, terdapat empat tipe ekosistem yaitu ekosistem hutan hujan pegunungan bawah, ekosistem hutan hujan dataran rendah, ekosistem pada rumput dan ekosistem pantai berpasir.

Puncak tertinggi di Sumba adalah Gunung Wanggameti (1225 m dpl) yang terletak di kawasan Taman Nasional (TN) Laiwangi-Wanggameti. Berdasarkan literatur, di puncak Wanggameti terdapat hutan elfin (kerdil) yang tumbuhannya berukuran kecil. Fenomena ini sangat unik di antara tipe-tipe ekosistem lainnya.

Tim IPH LIPI yang melakukan penelitian hingga puncak ketinggian 1225 m dpl menyatakan berdasarkan fisionominya, hutan Wanggameti merupakan hutan hujan atau berasosiasi dengan hutan lumut karena atmosfer jenuh yang konstan. TN Laiwangi-Wanggameti mempunyai fungsi tata air yang sangat penting bagi Kabupaten Sumba Timur yang perlu dilesarikan.

Tercatat 103 jenis pohon di kawasan TN Laiwangi-Wanggameti yang tergabung dalam 81 marga dan 42 suku. Setidaknya ada 17 jenis tumbuhan asal Sumba yang memiliki potensi sebagai tanaman hias dan penghasil kayu. Untuk potensi tumbuhan kayu, tim peneliti menemukan 10 jenis pohon yang tergolong kelas kuat (II).

Tim IPH LIPI juga menemukan flora unik di TN Laiwangi-Wanggameti yaitu bambu Dinochloa kostermansiana (Lulu ura) yang tidak tumbuh tegak, melainkan merambat hingga ketinggian 30 meter pada pohon sekitarnya. Bambu endemik NTT ini hanya dijumpai di Flores dan Sumba.  

Keunikan dan endemisitas Lulu ura bisa digunakan sebagai dasar penetapan bambu ini menjadi salah satu aset dan maskot flora TN Laiwangi-Wanggameti.  Masyarakat lokal memanfaatkan Lulu ura untuk membuat anyaman anyaman tapihan beras dan rangka atap bangunan. 

———————

Baca juga:
Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author