Jakarta, technology-indonesia.com – Kebijakan Satu Peta (KSP) yang merupakan salah satu prioritas kegiatan pemerintahan Joko Widodo pada skala peta 1: 50.000 bukan untuk penyatuan peta itu sendiri. Namun, penyatuan peta dalam satu sistem referensi, satu standar, satu geoportal, serta satu basisdata agar peta yang dihasilkan berdaya guna maksimal.
Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Hasanuddin Zainal Abidin dalam acara Sosialisasi dan Forum Data Simpul Jaringan Informasi Geospasial di Bogor, Kamis (16/3/2017). “Diharapkan KSP ini menjadi salah satu perangkat untuk perencanaan pembangunan di berbagai sektor di Indonesia,” ungkapnya.
Menurut Hasanuddin, dengan adanya peta yang jelas akan memperkuat identitas Indonesia sebagai bangsa dan negara sehingga kedaulatan geospasialnya jelas. “Jadi NKRI mempunyai satu sistem peta yang jelas dan akurat,” terangnya.
Diharapkan dengan adanya peta yang terintegrasi menjadi semacam sistem untuk conflict resolution. Dengan KSP, konflik akibat tumpang tindih ijin, tumpang tindih penetapan kawasan lahan, penunjukan hutan dan lain-lain bisa diresolusi. Selain itu, informasi geospasial bisa menjadi geospasial forensik, dengan membangun sistem early warning berbasis geospasial.
“Memang begitu informasi geospasial terbuka transparan dan detail, ada konsekuensinya. Untuk pemerintahan dan negara bernilai positif, tapi ada pihak-pihak tertentu yang jadi nampak kesalahan-kesalahan yang selama ini terjadi,” terang Hasanuddin.
BIG dalam KSP tugas utamanya adalah menyiapkan peta dasar dan integrasi. Peta-peta tematik ada di K/L yang dikompilasi, verifikasi dan validasi, dan diintegrasikan kemudian disinkronkan kalau ada tumpang tindih.
Hasanuddin mencontohkan pada proses integrasi untuk wilayah Kalimantan ada kawasan pertambangan yang masuk dalam hutan lindung. Masalah ini harus diselesaikan di level sinkronisasi. Ia berpendapat proses sinkronisasi ini levelnya harus lebih tinggi. “Yang harus duduk bersama itu kementerian KLHK, ATR/BPN, Kemendagri, dan ESDM. Kalau sudah disinkronkan baru keluar aturan-aturan main,” lanjutnya.
Hasanuddin juga berharap agar sinkronisasi juga melibatkan penduduk atau masyarakat di wilayah tersebut sehingga sinkronisasi yang terjadi sifatnya sejati, tidak semu hanya berdasarkan legislasi. “Karena yang kita kuatirkan kalau sinkronisasinya semu, terjadi konflik di lapangan,” lanjutnya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yang juga hadir dalam sosialisasi itu menyatakan pentingnya menyatukan peta itu mulai dari integrasi, kompilasi hingga ke pemanfaatannya.
“Apalagi untuk indonesia yang begitu luasnya, teknologi mapping itu bisa menjadi dasar untuk menjaga legitimasi negara ini,” kata Siti Nurbaya.
Karena itu, lanjutnya, jaringan informasi geospasial nasional harus kuat. Seluruh pemainnya harus mendukung aturan-aturan mainnya. Mau apa harus saling terbuka karena kuncinya diketerbukaan itu.
Sebagai salah satu walidata, Siti Nurbaya berpendapat data spasial yang dimiliki KLHK merupakan terbaik di antara Kementerian dan Lembaga. KLHK terutama di Kehutanan telah membuat 28 peta tematik. “Sekarang saya mau tambah lagi agar di Lingkungan datanya juga mesti bagus,” pungkasnya.
Dalam kegiatan tersebut juga dilaksanakan penandatangan nota kesepahaman bersama dan perjanjian kerjasama antara BIG dengan Kementerian ATR/BPN, Universitas Pattimura, Universitas Pertahanan, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, dan Pemprov. Maluku, Bangka Belitung, Jawa Tengah, serta Pemkab Tabalong dan Buleleng.