Jakarta, Technology-Indonesia.com – Teleskop radio pertama di dunia dibuat pada tahun 1930-an oleh Jan H. Oort. Sejak saat itu, perkembangan ilmu astronomi banyak bergantung dengan teknologi ini, khususnya bidang astronomi radio.
Keberadaan teleskop radio ini juga tidak lepas dari penelitian yang pernah dilakukan Jansky salah satu peneliti di Bell Telephone Laboratories. Saat itu, Jansky menguji sistem penerima gelombang radionya, tapi tidak sengaja menemukan sinyal aneh yang tidak diperkirakan.
Setelah diamati, akhirnya Jansky menyimpulkan bahwa gelombang radio yang dia temukan bukan dari komunikasi radio biasanya namun dari galaksi Milky Way. Jansky membandingkan data dari teleskop radio dengan data dari teleskop optik yang saat itu telah maju, dan kemudian dia menyimpulkan bahwa sinyal tersebut dari kontelasi sagitarius.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Antariksa BRIN, Peberlin Sitompul menyampaikan prinsip kerja teleskop radio sama dengan sistem penerima radio yang pasif. Perbedaannya ada pada antena yang cukup besar untuk dapat menerima signal yang sangat lemah karena dipancarkan dari temapat yang sangat jauh, ribuan tahun cahaya.
“Sehingga perlu menggunakan antena khusus, juga sistem penerimaannya pun sangat khusus. Pengarahan antenanya tidak dapat sembarangan, perlu diarahkan pada planet yang dituju dan lebar beam harus sekecil mungkin, untuk mengurangi interferensi,” ungkap Peberlin dikutip Technology-Indonesia dari laman brin.go.id pada Rabu (29/3/2023).
Teleskop radio dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yang dapat dibedakan dari frekuensi kerjanya. Frekuensi kerja ini yang akan menentukan jenis antena yang akan digunakan. Dipole array antenna merupakan antena yang digunakan untuk frekuensi rendah sekitar 10 – 250 MHz.
Namun, untuk penelitian difrekuensi yang lebih tinggi, hingga 900 GHz, biasanya menggunakan antena parabola. Bisa juga dibedakan dari jumlah antenna yang digunakan yaitu dengan single disk dan inferometer.
Pemanfaatan Teleskop Radio
Teleskop radio adalah sistem penerima radio yang terdiri dari antena khusus dan penerima radio yang digunakan untuk mendeteksi gelombang radio dari pemancar radio astronomi di langit yang prosesnya secara alami.
“Sumber gelombang radio dari planet, bintang, nebula, dan galaksi yang sangat jauh, sehingga intensitasnya sangat lemah. Sehingga, Teleskop radio membutuhkan antena yang sangat besar untuk mengumpulkan energi radio yang cukup, dan juga membutuhkan peralatan penerima yang sangat sensitif,” tuturnya.
Keberadaan teleskop radio ini memiliki beberapa tujuan misi, diantaranya untuk mempelajari pembentukan dan evolusi galaksi, memahami pembentukan bintang dan pembentukan planet, mempelajari sistem planet dan asal usul kehidupan, serta untuk studi kelahiran dan kematian bintang, dan molekul di Bima Sakti dan galaksi lain.
Observatorium Nasional Timau
Observatorium Nasional Timau merupakan observatorium untuk pengamatan antariksa yang mempunyai fasilitas utama berupa teleskop optik dan teleskop radio. Menurutnya, selain teleskop optik dengan diameter 3.8 meter, yang saat ini sedang dalam tahap pembangun dan juga akan dibangun dua teleskop optik berukuran kecil dengan diameter 50 cm.
“Juga akan dibangun teleskop radio yang masih dalam tahap perencanaan, berbentuk Parabola dengan diameter 20meter dan antenna Dipole Array berukuran 100meter x100meter. Observatorium Nasional juga memiliki magnetometer,” jelasnya.
Peberlin menyampaikan bahwa keberadaan teleskop radio dianggap sangat penting di Indonesia. Karena hasil penelitian astronomi bukan sesuatu yang dapat dilihat langsung hasilnya, sehingga keberadaan teleskop radio ini dapat menjadi kepentingan jangka panjang.
Keberadaannya diharapkan dapat menjadi sarana untuk penemuan baru, melalui partisipasi global, kolaborasi dengan peneliti dunia. Kolaborasi dapat dilakukan dengan berpartisipasi dalam mensuplai data dari belahan dunia selatan, karena saat ini penelitian lebih dominan belahan bumi utara di Eropa atau Amerika.
“Juga memberikan pengalaman bagi peneliti dalam mendesain teleskop radio dan mendesain instrumen pada sisi enginer, astronomi, komputasi dan tim lainnya. Dan akan meningkatkan kepercayaan diri untuk melakukan kolaborasi dengan peneliti global,” tuturnya.
Peberlin berharap dalam pengembangan Observatorim Nasional Timau ini kita dapat melakukan kolaborasi yang melibatkan berbagai pihak saintis baik dari astronomi, komputasi, elektro, dan lainnya.
“Ini akan menjadi kebanggaan nasional untuk astronomi, geodesi, atmosferik dan geodinamic dari sisi saintifik. Serta memberikan pengalaman kolaborasi internasional yang dapat menempatkan kita sejajar dengan peneliti luar negeri, menjadi kebanggaan secara pribadi, institusi maupun secara nasional,” pungkasnya. (Sumber brin.go.id)