Indonesia Berisiko Rendah Terdampak Aktivitas Matahari

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Berbagai aktivitas Matahari telah terjadi di masa lalu hingga hari ini. Kita perlu memahami proses dan dampak berbagai aktivitas Matahari tersebut dan mengantisipasi dampak negatifnya semampu kita.

Peneliti Pusat Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Johan Muhammad menuturkan bahwa di Indonesia, dampak yang didapat dari aktivitas matahari tidak sebesar daerah yang berada di lintang tinggi seperti di sekitar kutub Bumi. Hal ini dikarenakan letak Indonesia yang berada di khatulistiwa.

Meski demikian, tidak berarti Indonesia bebas dari dampak badai matahari. Cuaca antariksa akan banyak berdampak pada gangguan sinyal radio frekuensi tinggi (HF) dan navigasi berbasis satelit.

“Di Indonesia, cuaca antariksa akibat aktivitas Matahari dapat mengganggu komunikasi antarpengguna radio HF dan mengurangi akurasi penentuan posisi navigasi berbasis satelit, seperti GPS,” terang Johan dikutip dari laman brin.go.id pada Senin (15/8/2022).

Selain itu, karena semakin tingginya ketergantungan masyarakat di Indonesia terhadap teknologi satelit dan jaringan ekonomi global, gangguan pada satelit dan jaringan kelistrikan di wilayah lintang tinggi seperti kutub akibat cuaca antariksa dapat berpengaruh terhadap kehidupan manusia di Indonesia secara tidak langsung.

Menanggapi istilah kiamat badai matahari, Johan menyebutnya sebagai istilah yang keliru dan perlu diluruskan.

“Tidak ada istilah seperti itu di kalangan masyarakat ilmiah. Kita telah hidup lama berdampingan dengan cuaca antariksa. Aktivitas matahari rutin terjadi. Yang perlu kita pahami adalah bagaimana prosesnya dan memitigasi dampak negatifnya semampu kita,” ujarnya.

Cuaca Antariksa

Matahari sebagai sumber energi utama di tata surya memiliki pengaruh terhadap cuaca antariksa. Cuaca antariksa merupakan keadaan di lingkungan antariksa, khususnya antara Matahari dan Bumi, yang meliputi kondisi Matahari, medium antarplanet, atmosfer atas Bumi (ionosfer), dan selubung magnet Bumi (magnetosfer).

“Seperti halnya cuaca di Bumi, cuaca antariksa bersifat dinamis dan sangat bergantung pada aktivitas Matahari,” jelas Johan.

Matahari secara rutin melepaskan energi dalam bentuk radiasi. Beberapa aktivitas Matahari yang berpengaruh besar terhadap kondisi cuaca antariksa diantaranya adalah flare, lontaran massa korona, dan angin surya.

Aktivitas Matahari, terangnya, secara langsung mengubah kerapatan dan tekanan plasma di medium antarplanet dan ionosfer, serta meningkatkan tekanan magnetik pada magnetosfer Bumi.

“Akibatnya, berbagai sinyal gelombang elektromagnetik yang biasa dimanfaatkan oleh manusia untuk keperluan komunikasi dan navigasi dapat terganggu saat terjadi aktivitas Matahari yang ekstrem,” lanjutnya.

Johan melanjutkan bahwa BRIN juga hadir untuk memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak panik dan tidak mudah termakan hoaks yang beredar berkaitan dengan badai matahari.

“Matahari memiliki siklus sekitar 11 tahun sekali. Siklus ini sifatnya tidak selalu sama di setiap saat. Terkadang, Matahari sangat aktif melepaskan energi eksplosif, sementara di periode lainnya Matahari bersikap sangat tenang,” lanjut Johan.

Siklus 11 tahunan ini telah dikenal lama oleh manusia. Setidaknya, keberadaan siklus matahari telah terdokumentasikan dengan baik sejak abad 18. Saat ini, kita sedang berada di awal siklus ke-25 yang diperkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2024-2025.

Pada saat itu, aktivitas Matahari diperkirakan akan meningkat dengan frekuensi kejadian flare dan lontaran massa korona kemungkinan akan bertambah.

Layanan Informasi Cuaca

Masyarakat yang tertarik untuk mengetahui kondisi terkini cuaca antariksa, dapat melakukan pemantauan melalui situs penyedia layanan informasi cuaca antariksa di internet. BRIN menyediakan layanan informasi seperti ini melalui situs Space Weather Information and Forecast Services (SWIFtS) di laman http://swifts.brin.go.id/.

“Masyarakat dapat menemukan informasi mengenai aktivitas Matahari yang terjadi dalam 24 jam terakhir, serta kondisi geomagnet dan ionosfer global serta regional wilayah Indonesia,” ucap Johan.

Data-data yang disampaikan dalam SWIFtS merupakan rangkuman dari hasil pengamatan yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dan dunia, serta pengamatan dari antariksa. SWIFtS juga telah dilengkapi dua Bahasa, yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

“Masyarakat juga dapat mengetahui prediksi cuaca antariksa dalam 24 jam mendatang berdasarkan hasil analisis para peneliti di Pusat Riset Antariksa BRIN,” tutup Johan. (Foto pixabay.com/Alexas_Fotos)

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014). Buku terbarunya, Antologi Puisi Kuliner "Rempah Rindu Soto Ibu"
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author