BRIN Kaji Potensi Polusi Cahaya di Sekitar Observatorium Nasional Timau

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memiliki tiga lingkup riset astronomi yaitu astronomi optik, astronomi radio, dan astronomi untuk masyarakat. Melalui ruang lingkup astronomi optik, Observatorium Nasional di Timau, Nusa Tengggara Timur (Obnas Timau) diharapkan dapat selesai tahun ini. Tahun depan mulai pengujian-pengujian untuk riset astronomi optik.

Lingkup astronomi radio diupayakan untuk membangun teleskop radio di Obnas. Sementara lingkup astronomi untuk masyarakat, mengkaji aspek-aspek astronomi dan interaksinya dengan lingkungan, termasuk tentang pemetaan kondisi langit atau potensi polusi cahaya di sekitar observatorium, serta membuat rekomendasi Taman Langit Gelap.

Wilayah Amfoang di Gunung Timau dipilih dengan beberapa keistimewaan. Pertama, wilayah NTT adalah wilayah paling kering di Indonesia, kemudian daerahnya juga masih minim polusi cahaya, dan karena wilayahnya dekat dengan ekuator. Dengan posisi dekat ekuator, Obnas Timau bisa mengamati langit utara dan langit selatan.

Diharapkan kolaborasi internasional bisa lebih optimal dengan keunggulan-keunggulan tersebut. Hal ini disampaikan Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Antariksa (PRA) BRIN Thomas Djamaluddin sebagai pengantar moderator pada Kolokium Mingguan Pusat Riset Antariksa BRIN, secara daring, Selasa (26/9/2023).

Peneliti Ahli Utama PRA BRIN Clara Yono Yatini mengatakan, cahaya buatan sangat memengaruhi masyarakat modern.

“Dengan adanya polusi cahaya ini dapat memengaruhi lingkungan, keanekaragaman hayati, kesehatan, dan naiknya kebutuhan energi. Akibatnya, terjadi penurunan ‘sky brightness‘ (kecerlangan langit) atau hilangnya langit berbintang untuk rekreasi,” kata Clara.

Dia menjelaskan, penelitian pengukuran cahaya buatan ini dilakukan sekitar Juni dan Juli 2023. Lokasi Obnas Timau menempati area seluas 34 hektare.

Agar tidak terjadi kesalahpahaman, ujar dia, lokasi ini terletak di dua desa yang berbatasan yaitu desa Faumes dan desa Bitobe. Daerah yang diukur adalah desa Faumes, desa Honuk, desa Oelfatu, desa Kolabe, desa Fatunaus, desa Naikliu, desa Afoan, desa Bitobe, desa Bonmuti, desa Binafun, desa Fatumonas, desa Lelogama, desa Leloboko, desa Oelbanu, desa Bakoein, desa Maunana, dan desa Matpunu.

“Jadi ada sekitar 32 titik pengamatan,” ungkapnya.

Dengan investasi yang cukup besar ini, dia berharap adanya teleskop optik berukuran 3,8 meter bisa digunakan hingga 50 hingga 100 tahun mendatang dan menghasilkan data yang cukup baik.

“Kami melihat bahwa sebetulnya ancaman terhadap lingkungan Obsnas ini nyata, sehingga kita perlu menjaga segala kemungkinan yang membuat munculnya polusi cahaya di sekitar Obsnas. Untuk itu dilakukan pengukuran sky brightness (kecerlangan langit),” katanya.

Beberapa peralatan yang digunakan untuk mengukur sky brightness adalah SQM LU-DL Unihedron, Sky Quality Meter with Lens and USB connectivity and with data logging capabilities.

Sky brightness diukur dalam satuan mag/arcsec, 1 mag/arcsec lebih kecil berarti ada cahaya yang ditangkap sebesar 2,5 kali lebih terang.

“Pengukuran dilakukan selama 5 sampai 10 menit. Data-data ‘ekstrem’ (karena ada cahaya lampu mobil atau sepeda motor) dihilangkan, kemudian dirata-ratakan,” terangnya.

“Kami mempertimbangkan bahwa pada saat pengukuran tidak ada cahaya-cahaya lain yang mengganggu, jadi kami melakukan pengamatan pada tanggal 16-19 Juni 2023, 15-17 Juli 2023 (saat bulan tua) jam 19.00-02.00 WITA (saat tidak ada cahaya senja atau fajar),” jelas Clara.

Hasilnya menunjukkan wilayah sekitar Obsnas memang masih gelap. Tetapi ada potensi polusi cahaya dari arah barat laut (pelabuhan) dan tenggara (pemukiman).

Polusi cahaya dari arah pemukiman di sekitar Obsnas perlu diantisipasi dengan masuknya listrik ke wilayah mereka. Menurutnya, penggunaan lampu di luar rumah perlu dibatasi. Kalau diperlukan penerangan di luar rumah, lampu bertudung sangat disarankan.

“Langit gelap adalah salah satu sumber daya. Jika taman langit malam di Timau bisa terwujud, itu akan sangat penting untuk perlindungan dan edukasi,” tegasnya.

“Dari hasil diskusi yang dilakukan dengan pemerintah, pemerintah daerah tidak keberatan membuat aturan tentang wilayah mana yang harus dilindungi (misalkan lampu dan sebagainya), tetapi memang mereka tetap menunggu aturan yang ada dari pemerintah pusat sehingga mereka mengacu ke situ, dan ini yang perlu dibuat juga oleh BRIN,” tambahnya.

Astrotourism atau wisata astronomi adalah jenis pariwisata yang melibatkan langit malam atau mengunjungi fasilitas yang berkaitan dengan astronomi seperti observatorium. Wisata lingkungan atau ekowisata bertujuan melihat benda-benda langit, yaitu kegiatan yang bertema melihat langit malam bersama-sama.

“Taman langit gelap adalah daerah yang memiliki kualitas malam berbintang dan lingkungan malam yang luar biasa atau istimewa, dan secara khusus dilindungi karena sebuah warisan ilmu pengetahuan, alam, pendidikan, dan budayanya,” ungkap Clara di akhir paparan. (Sumber brin.go.id)

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author