Sorgum, Makanan Sehat Masa Depan

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan dan pertanian dalam jumlah besar akan menurunkan fungsi infiltrasi dan cadangan air tanah. Dampak selanjutnya, sungai kering di musim kemarau dan lahan pertanian menjadi tidak produktif. Akibatnya, pendapatan petani menjadi rendah, sementara pemenuhan kebutuhan yang semakin meningkat.

Sudaryanto dari Sekretariat Low Carbon Development Indonesia (LCDI) Kementerian PPN/Bappenas mengatakan keterbatasan sumber pendapatan petani menyisakan persoalan kemiskinan jangka panjang. Pemenuhan kebutuhan pokok keluarga menjadi sangat minim terutama kebutuhan akan makanan yang sehat.

“Keluarga pra sejahtera yang kurang dapat memperhatikan kualitas asupan makanan untuk anak-anaknya akan menimbulkan dampak lebih lanjut yaitu anak-anaknya yang mengalami stunting atau gizi buruk,” kata Sudaryanto di Jakarta pada Senin (23/3/2020).

Pertumbuhan populasi penduduk dan perubahan gaya hidup masyarakat, terangnya, menjadikan kebutuhan pangan tidak dapat dipenuhi dari pangan lokal. Media elektonik dan cetak serta media sosial juga berperan mengubah pandangan masyarakat mengenai makanan dari kebutuhan pokok menjadi gaya hidup.

“Dampak selanjutnya terjadinya impor bahan pangan besar-besaran tanpa mempertimbangkan adanya pangan lokal yang berkualitas sama bahkan lebih baik terpinggirkan bahkan ditinggalkan,” tuturnya.

Sudaryanto mengungkapkan, di kantong-kantong petani lahan kering Daerah Istimewa Yogyakarta sesungguhnya masyarakat sudah sangat mengenal sorgum yang sering disebut tebon atau cantel sebagai makanan pokok di masa lalu. Namun seiring dengan adanya proyek Insus padi berbagai varietas di masa lalu, maka makan sorgum dianggap masyarakat kelas dua (tidak berkelas).

“Apalagi ada anggapan bahwa selain makan beras, masyarakat tidak sehat. Faktanya di Gunungkidul misalnya masyarakat yang makan sorgum, singkong, jagung di masa kecil, seperti saya contohnya, sampai saat ini tetap sehat. Artinya anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar,” terang Sudaryanto.

Sudaryanto di tengah kebun sorgum di Gunungkidul, Yogyakarta

Lebih lanjut Sudaryanto mengatakan, pertumbuhan penduduk di perkotaan meningkat dengan gaya hidup mengonsumsi makanan berbahan tepung. Gaya hidup tersebut sudah masuk ke pelosok. Impor tepung dan gula putih semakin meningkat dari tahun ke tahun karena pertumbuhan penduduk dan gaya hidup.

Di sisi lain, kesehatan masyarakat disinyalir menurun dengan semakin banyaknya penderita diabetes. Biaya rumah sakit meningkat karena dibetes adalah pintu masuk berbagai penyakit.

“Dahulu diabetes sebagian besar diperoleh karena faktor keturunan, namun sekarang penyakit tersebut lebih banyak terjadi akibat gaya hidup mengkonsumsi karbohidrat dan gula melebihi kebutuhan tubuh,” lanjutnya.

Karena itu, Sudaryanto mengapresiasi kreativitas para peneliti pertanian di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen) Badan Litbang Pertanian yang menghasilkan varietas sorgum Bioguma yang enak, sehat dan produktivitasnya tinggi. Sorgum Bioguma mulai diperkenalkan kepada kelompok-kelompok tani di Gunungkidul yaitu di Karangmojo, Panggang dan Purwosari serta di Cangkringan, Sleman.

Sorgum Bioguma, terangnya, mempunyai keunggulan bijinya dapat diolah menjadi tepung untuk bahan kue makanan lainnya. Menurut penelitian, tepung sorgum memiliki kandungan protein lebih dari 9%, kandungan glukosa rendah, Fe tinggi dan yang penting adalah gluten free.

“Jika kita perhatikan kandungan tersebut maka sesungguhnya petani dan masyarakat yang makan sorgum akan tetap sehat. Anggapan sorgum tidak bergizi harus dihilangkan. Batang sorgum rasanya manis mengandung rendah glukosa. Hal ini diyakini lebih aman dikonsumsi,” terangnya.

Menurut Sudaryanto, budidaya sorgum dapat sepanjang tahun karena dengan menanam satu kali, dapat diratun minimal dua kali. Umur sorgum yang hanya 105 hari menjadikan sorgum dapat dipanen sepanjang tahun untuk meningkatkan pendapatan petanin dan memenuhi bahan baku industri makanan.

“Pada masa lalu sampai saat ini musuh utama pembudidaya sorgum adalah burung. Namun demikian jika pertanaman serentak tentu saja tidak akan habis oleh burung,” katanya.

Keunggulan lainnya, kebutuhan sorgum akan air dan hara rendah sehingga ada penghematan biaya produksi. Limbah tangkai buah dapat digunakan untuk bahan kerajinan. Limbah batang sorgum setelah diperas kandungan gulanya, masih dapat difermentasi menjadi silase untuk pakan ternak.

“Ke depan sorgum dapat meningkatkan produktivitas pertanian lahan kering dan lahan marginal. Tentu saja harapannya meningkatkan kesehatan petani, masyarakat umum, dan mengurangi biaya kesehatan,” tegas Sudaryanto.

Di sisi lain, sorgum mempunyai biomassa yang cukup besar dengan jarak tanam 25 x 75 cm dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sekitar 3 ton CO2 setiap panen. Penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dan peningkatan produktivitas lahan serta peningkatan ekonomi masyarakat sejalan dengan kebijakan pembangunan nasional rendah karbon yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024.

“Sorgum menjadi salah satu alat untuk mengelola lahan kritis yang dibarengi peningkatan pendapatan masyarakat di masa mendatang,” pungkasnya.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author