Sentuhan Riset dan Inovasi Teknologi di Balik Pesona Tanaman Hias

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Pandemi Covid-19 memunculkan fenomena menarik di Indonesia seperti maraknya tren hobi mengoleksi tanaman hias. Akibat pembatasan aktivitas sosial, banyak orang tiba-tiba tertarik untuk menanam dan memelihara tanaman hias, hingga menciptakan peluang bisnis baru. Akhirnya muncul tanaman yang menjadi primadona seperti Monstera adansonii (Janda Bolong), aglonema (Sri Rejeki), Philodendron, anggrek dendrobium, dan lain-lain.

Hal ini mendorong Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menciptakan potensi ekonomi penelitian hayati dari sisi kewirausahaan melalui riset dan inovasi teknologi tanaman hias. Tren tanaman hias ini perlu dibarengi dengan kegiatan di hulu mulai dari riset dan kajian tentang aturan kegiatan pengelolaan tanaman hias, pelestarian plasma nutfah, domestikasi, pemuliaan tanaman, budidaya, hingga kegiatan di hilir terkait dengan pembinaan startup dengan aplikasi hasil riset dari Lembaga litbang.

Sekretaris Utama BRIN, Nur Tri Aries Suestiningtyas mengatakan bahwa tanaman hias memiliki pesona yang tidak pernah redup dengan selalu adanya jenis tanaman hias yang menjadi primadona setiap waktu. Tanaman hias merupakan salah satu komoditas pertanian yang akan selalu dibutuhkan manusia baik untuk menyalurkan hobi maupun mendukung perdagangan komoditas pertanian.

“Indonesia merupakan peringkat pertama untuk keanekaragaman hayati daratan. Riset dan inovasi yang lebih akseleratif dalam BRIN diperlukan untuk mendorong penelitian terkait keanekaragaman hayati agar Indonesia tidak hanya memiliki kekayaan keanekaragaman hayati namun juga kaya akan riset dan inovasi,” tutur Nur dalam Webinar Talk to Scientists: Tanaman Hias dan Peluang Inovasi di Masa Pandemi pada Selasa (2/11/2021).

Nur mengatakan kelestarian keanekaragaman hayati berperan penting untuk memelihara ekosistem, memberi manfaat material dan ekonomi bagi manusia, serta mempertahankan proses evolusi dan estetika keanekaragaman hayati untuk keberlanjutan dan kemanfaatan bagi kesejahteraan hidup manusia. Riset dan inovasi berperan agar kita semua merasakan benefitnya.

“Para periset BRIN mempunyai tanggung jawab untuk menunjukkan hasil riset dan inovasinya, memiliki peran bagaimana diversifikasi dari keanekaragaman hayati itu bisa memberikan informasi, inspirasi kepada para pemangku kepentingan,” imbuh Nur.

Keanekaragaman hayati tanaman anggrek di Indonesia

Peneliti Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati (OR IPH) BRIN, Sri Rahayu menjelaskan selama masa pandemi, banyak tanaman hias tropis yang masih asli diekspor melalui jalur UMKM, terutama untuk jenis-jenis herba seperti anggrek liar, Nepenthes, kelompok tumbuhan Araceae, Piperaceae, Begoniaceae, Impatiens, Hoya dan Aeschynanthus, serta Gesneriaceae lainnya.

Peneliti yang pernah mendapatkan Breeder Award LIPI 2017 dan MPPI Award sebagai Breeder Tanaman Hias pada 2017 ini mengatakan bahwa tren tanaman hias menjadi peluang mengangkat ekonomi masyarakat di masa pandemi. Namun, di sisi lain juga terdapat ancaman akan penurunan populasi dan larinya keuntungan tertinggi ke luar negeri, karena masyarakat melakukan perburuan langsung di hutan dan masih jarang yang melakukan budidaya dan perbanyakan.

“Titik tolak tren tanaman hias ini seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik dan benar dengan meningkatkan budidaya tanaman hias asli Indonesia, yang perlu dikelola dengan baik dan benar,agar pemanfaatan sumberdaya tanaman hias Indonesia dapat lebih bermanfaat bagi masyarakat namun tetap terjaga kelestariannya,” tambah Sri yang mendapatkan 4 Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) mengenai Aeschynanthus (Bunga Lipstik) dan Hoya.

Pemuliaan Mutasi Percepat Novelty

Pendorong utama selera pasar tanaman hias adalah kebaruan (novelty). Sementara itu, mutasi spontan terjadi di alam dalam frekuensi sangat rendah. Untuk mempercepat pembaruan jenis tanaman hias, dapat dilakukan pemuliaan mutasi untuk menghasilkan variasi genetik yang kadang belum atau sulit diperoleh di alam.

Peneliti Pusat Riset Teknologi Aplikasi Isotop dan Radiasi (PRTAIR) Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN, Sasanti Widiarsih mengatakan semakin unik dan semakin baru karakter tanaman hias maka nilainya akan mahal dan dicari orang. Mutasi yang terjadi pada tanaman merupakan perubahan susunan genetik individu dan dapat diwariskan ke keturunannya.

“Mutasi merupakan fenomena alam yang sudah ada dari dulu, tidak berbahaya dan merupakan bagian dari proses evolusi. Terjadinya secara acak atau random tetapi tapi frekuensinya di alam sangat rendah. Mutasi yang terjadi di alam disebut mutasi spontan, sedangkan mutasi yang disengaja oleh manusia disebut sebagai mutasi induksi,” terang Sasanti.

Teknologi mutasi induksi, lanjutnya, sudah beredar di dunia internasional sejak 80 tahun terakhir. Mutasi induksi sudah rutin digunakan untuk meningkatkan variasi genetik berbagai komoditas dan memperbaiki varietas yang ada.

Data International Atomic Energy Agency (IAEA) menyebutkan tanaman hias menyumbang 20% dari seluruh varietas mutan global. “Yang kami lakukan adalah mengulang kembali peristiwa alam tapi dengan laju dan frekuensi yang jauh lebih tinggi. Salah satu keuntungannya, kita bisa menemukan novelty atau karakter baru. Misalnya, tanaman tadinya berdaun hijau semua, dengan radiasi kita dapatkan daun berwarna pink,” terang Sasanti yang menyelesaikan pendidikan S3 Plant Breeding di University of Goettingen, Germany.

Lebih lanjut Sasanti menerangkan bahwa mutasi terjadi secara acak sehingga menciptakan keragaman genetik yang tadinya masih sempit. Selain itu, tidak semua tanaman bisa berbunga dan bisa disilangkan sehingga pemuliaan mutasi menjadi satu-satunya jalan untuk mendapatkan variasi.

“Misalnya, ada tanaman popular tapi punya sedikit kelemahan seperti bunganya bagus tapi gampang layu atau daunnya bagus tapi dahannya mudah patah. Ini bisa kita improve dengan induksi. Sifat-sifat lain tidak berubah, hanya sifat yang akan upgrade yang akan berubah. Metode ini lebih murah daripada rekayasa genetika. Jika kita sudah mendapatkan individu yang terpilih maka diperbanyak melalui teknik kultur jaringan,” terangnya.

Untuk menginduksi mutasi ini (mutagen), bisa dilakukan lewat fisika atau kimia. Mutagen fisika lebih populer misalnya menggunakan sinar gamma, sinar x, neutron, atau ion beam. Sementara mutagen kimia menggunakan EMS yang bersifat karsinogen dan ada efek negatif di sel, sehingga harus hati-hati dan memerlukan penanganan khusus.

Menurut Sasanti, mutagen fisik lebih disukai karena penanganannya mudah dan lebih sederhana, tanpa efek negatif mutagen kimia pada sel target, dan tanpa residu limbah beracun. Untuk materi in-vitro, mutagen fisik tergolong paling mudah digunakan. Lebih dari 90% varietas mutan in-vitro dihasilkan dari mutagen fisik.

Di Indonesia iradiator gamma untuk mutasi fisik yang bisa digunakan ada di PRTAIR, Pasar Jumat, Jakarta. Mutasi untuk tanaman hias biasanya menggunakan Iradiator Gamma Cell 220 Upgrade untuk materi-materi kecil seperti kultur jaringan atau stek kecil. Sementara Iradiator Panoramic Serbaguna (Irpasena) untuk materi-materi yang lebih besar, stek besar, atau tanaman utuh.

Sasanti menerangkan, penelitian yang sudah lakukan antara lain mutasi sinar gamma untuk menghasilkan keragaman bentuk dan warna bunga krisan. Tetua yang digunakan adalah varietas krisan Kusumasakti dari Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) yang bunga berwarna orange. “Setelah diradiasi mendapatkan variasi yang banyak sekali, tidak hanya pada warna tapi juga bentuk mahkotanya, ukuran daun, dan sebaran warna hingga munculnya bentuk tabung,” lanjutnya.

Hasil pemuliaan mutasi pada krisan hasilkan lebih dari 30 varietas

Secara umum, Sasanti menerangkan pemuliaan tanaman mutasi dimulai dari meradiasi materi tanaman seperti biji, stek berakar, stek batang, stek pucuk, stek daun, mata tunas dorman, umbi, bonggol, tanaman utuh, rimpang, plantlet, dan kalus. Materi tanaman yang diradiasi selanjutnya ditanam dan diseleksi galur-galur terbaik. Galur harapan akan diuji di beberapa wilayah untuk pengajuan sertifikat dari Kementerian Pertanian sehingga bisa diperbanyak dan beredar di masyarakat.

Kerjasama PRTAIR dengan Balithi sudah menghasilkan lebih dari 30 varietas krisan hasil mutasi. Pihaknya juga bekerja sama dengan Kebun Raya Bogor untuk tanaman begonia yang menghasilkan beberapa variasi bentuk dan warna. Penelitian lainnya terkait tanaman anggrek yang menghasilkan tanaman anggrek berumur genjah. Selain tanaman hias, OR Tenaga Nuklir telah banyak menghasilkan varietas mutan mulai dari padi, kedelai, kacang tanah, sorgum, dan lain-lain.

Data Kementerian Pertanian tahun 2021 menyebutkan bahwa ekspor florikultura Indonesia mencakup 220 komoditas yang sebagian besar tanaman membiak vegetatif (tidak berbiji) sehingga harus distek atau memakai anakan. “Hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk dimutasikan. Kita masih punya peluang banyak untuk melakukan riset pemuliaan mutasi pada tanaman hias ini,” tutup Sasanti.

Kultur Jaringan Pertahankan Sifat Unggul Tanaman

Tanaman umumnya dapat diperbanyak secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan generatif dilakukan secara seksual melalui biji, sementara perbanyakan vegetatif secara aseksual melalui stek, sambung, okulasi, dan kultur jaringan. Pada perbanyakan vegetatif, sifat-sifat unggul dari tanaman induk diwariskan kepada keturunannya.

Perekayasa Madya Balai Bioteknologi, Organisasi Riset Pengkajian dan Penerapan Teknologi (OR PPT) BRIN Irni Furnawanthi Hindaningrum menerangkan bahwa teknik pembanyakan tanaman secara kultur jaringan merupakan suatu metoda untuk mengisolasi bagian dari tanaman (sel, jaringan, organ, dan protoplasma) serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali.

“Kita bisa memproduksi tanaman dalam jumlah besar bila kita memiliki satu varietas baru kemudian kita ingin mengembangkannya atau menjaga konservasi plasma nutfah kita. Tanaman potensial pasti bermanfaat dan memiliki nilai ekonomi sehingga kita perlu bijak untuk mengelolanya,” terang Irni yang menyelesaikan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor.

Menurut Irni, ada dua inovasi kultur jaringan yang dilakukan di Balai Bioteknologi yaitu kultur in vitro dan kultur ex vitro. Kultur in vitro dilakukan di laboratorium dengan peralatan khusus dan harganya lebih mahal karena sistem kerja yang aseptik (bebas pathogen/mikroba).

Kultur in vitro membutuhkan fasilitas seperti laboratorium kultur jaringan, green house, screen house, lahan uji, dan lain-lain. Irni mengungkapkan bahwa Balai Bioteknologi mempunyai laboratorium dengan kapasitas 2 juta bibit pertahun. Pihaknya telah melakukan beberapa kegiatan perbanyakan produk melalui kerjasama dengan mitra dalam dan luar negeri.

Sementara kultur ex vitro bisa dilakukan di luar laboratorium dengan peralatan yang lebih sederhana dan bisa diaplikasikan masyarakat, serta menggunakaan sistem pekerjaannya yang higienis. Kultur ex vitro atau sering disebut “mesin fotokopi” bibit tanaman unggul memiliki pola perbanyakan dan kualitas tanaman yang dihasilkan sama dengan metode kultur in vitro.

Benih yang dihasilkan kultur ex vitro seragam dan sama dengan induknya, serta dapat diproduksi sepanjang tahun dengan kapasitas produksi yang disesuaikan dengan kebutuhan. “Biaya produksinya relatif murah dan bisa diadopsi oleh masyarakat secara langsung,” tutur Irni yang mendapatkan lima paten mengenai perbanyakan bibit jati, jabon, jarak, sagu, dan lain-lain.

Contoh perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan

Sarana yang diperlukan untuk kultur ex vitro juga sangat sederhana yaitu berupa screen house dilengkapi ruang inkubator dengan kelembaban dan suhu terjaga. Persyaratannya harus cukup sinar matahari, sirkulasi udara yang baik, serta bersih dan higienis. “Untuk bentuk, kerangka, luasan dan sebagainya bisa menyesuaikan dengan kebutuhan dan biaya yang ada,” imbuhnya

Bahan dan formulasi yang dibutuhkan yaitu formula ex vitro untuk perangsang akar, tunas dan nutrisi yang disesuaikan dengan komoditas. Bahan lainnya berupa media tanam, tanaman induk, dan air.

Irni menjelaskan bahwa alur prosesnya kultur ex vitro sama dengan in vitro yaitu tanaman induk diambil eksplan tanaman berupa tunas yang keluar dari batang utama dengan ukuran>10 mm. Eksplan tanaman kemudian disterilisasi. Tahapan berikutnya induksi akar dan tunas, serta kultur ex vitro hingga bibit siap tanam. “Tahapan perbanyakan membutuhkan waktu sekitar 4-6 minggu sehingga tanaman bisa dikeluarkan dari inkubator,” imbuhnya.

Teknologi kultur ex vitro ini telah mendapatkan paten, Anugerah Inovasi BPPT 2016, dan masuk dalam 108 Inovasi Indonesia 2016. Teknologi kultur ex vitro telah diaplikasikan di 14 lokasi di Indonesia yaitu Aceh, Kepulauan Riau, Bangka, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Toraja. Komoditas tanaman yang diperbanyak menyesuaikan dengan potensi unggulan daerahnya.

Nanobiopestisida Ramah Lingkungan

Proses perawatan tanaman juga menjadi hal yang perlu diperhatikan untuk mendukung hobi atau tren tanaman hias. Peneliti Loka Penelitian Teknologi Bersih, Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Teknik (OR IPT) BRIN, Desak Gede Sri Andayani menyampaikan bahwa Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) dapat menganggu keberlangsungan pertumbuhan tanaman hias, sehingga diperlukan pemberian pestisida dari tanaman.

Biopestisida merupakan agen pengendali hayati berupa metabolit sekunder yang memiliki mekanisme penghambatan terhadap patogen melalui antibiotik atau senyawa kimia yang dihasilkannya. “Biopestisida merupakan pestisida ramah lingkungan karena menggunakan bahan baku hayati dan proses pembuatan yang tidak membutuhkan biaya, tekanan dan suhu yang tinggi serta produk samping yang dihasilkan dapat didaur ulang kembali menjadi produk bernilai,” terang Desak.

Penggunaan biopestisida memiliki beberapa keuntungan, diantaranya kurang beracun dibandingkan pestisida konvensional dan umumnya hanya mempengaruhi hama sasaran. Biopestisida seringkali efektif dalam jumlah yang sangat kecil, cepat terurai, menghasilkan eksporur yang lebih rendah, dan sebagian besar menghindari masalah polusi.

“Ketika digunakan sebagai komponen pengendalian hama terpadu (PHT), biopestisida sangat mengurangi penggunaan pestisida konvensional, sementara hasil panen tetap tinggi,” tutur Desak yang menyelesaikan pendidikan S3 Farmasi di Institut Teknologi Bandung.

Tanaman yang perawatannya menggunakan nanopestisida (kiri) dan tidak menggunakan nanobiopestisida (kanan)

Loka Penelitian Teknologi Bersih telah melakukan penelitian nanobiopestisida terhadap fungi pathogen penyebab layu fusarium menggunakan mikroba endemik Indonesia secara fementasi. Nanobiopestisida tersebut sudah diuji aktivitas mikrobanya terhadap layu fusarium pada tanaman manggis, stroberi, dan pisang.

Keuntungan nanobiopestisida adalah viskositas tinggi serta penyebaran pada jaringan yang luas dan baik. Efisiensi tinggi dan stabilitas zat aktif dalam penyimpanan meningkat. “Penetrasi bahan aktif ke dalam jaringan meningkat dengan efek samping minimum. Selain itu, bioavailabilitas dan kelarutan meningkat sehingga mudah menembus membran lipid sel,” imbuh Desak yang mendapatkan 5 paten granted ekstrasi Streptomyces untuk obat antivirus antikanker, penyakit buah tropis, dan lain-lain.

Desak yang pernah meraih penghargaan Inventor Award 2017 dan Merck-I3L Life Science Award 2016 ini telah mengaplikasikan nanobiopestisida pada tanaman mulai dari bibit hingga tumbuh dan panen, hasilnya lebih tahan terhadap hama. Tanaman dengan perlakukan nanobiopestisida menghasilkan tanaman hias yang tumbuh subur dengan bunga yang banyak dan cantik.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author