Jakarta, Technology-Indonesia.com – Antraks merupakan salah satu penyakit zoonosis yang masih menjadi permasalahan nasional dan global. Antraks ditetapkan sebagai salah satu dari 25 jenis penyakit yang menyebabkan kematian tinggi pada hewan, menimbulkan kerugian ekonomi, dan menyebabkan keresahan masyarakat. Secara umum, antraks dapat menginfeksi semua hewan homoioterm (berdarah panas) termasuk manusia.
Kepala Pusat Riset Veteriner, Organisasi Riset Kesehatan (ORK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Harimurti Nuradji mengatakan, ditinjau dari segi epidemiologi, distribusi antraks secara global termasuk enzootik, terutama di sub-Sahara Afrika, Asia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.
“Kasus antraks secara geografi terjadi sporadis di seluruh dunia, bahkan sudah endemis di beberapa wilayah Indonesia. Sebagaimana pada Juni 2023 di Kabupaten Gunungkidul-Yogyakarta terjadi kasus antraks yang menyebabkan kematian pada hewan dan manusia,” ungkap Harimurti dalam webinar bertajuk ‘Kasus Anthraks pada Hewan dan Manusia: Pencegahan dan Pengendaliannya’, Jumat (11/8/2023).
Dia menambahkan, antraks secara umum dapat menginfeksi semua hewan homoioterm (berdarah panas) termasuk manusia. Manusia dapat terinfeksi antraks melalui empat rute utama, yaitu inhalasi, gastrointestinal, kutaneus, dan intravena/injeksi.
Jika dilihat dari sisi ekonomi, antraks memberikan dampak ekonomi yang signifikan karena menurunkan produktivitas.
“Karena itu, melalui presentasi narasumber pada webinar ini akan dijelaskan langkah pencegahan dan pengendalian antraks. Selain itu, juga akan dikupas berbagai kasus antraks yang pernah terjadi. Tentunya, diharapkan webinar ini dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat, serta kerja sama multisektor,” tutup Harimurti.
Peneliti Pusat Riset Veteriner ORK BRIN, Rahmat Setya Adji menjelaskan, laporan pertama terkait kasus antraks di Indonesia terjadi pada 1884 di Lampung. “Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi yang masih sering terjadi kasus antraks pada tahun 2000an,” ujar Adji.
Terdapat dua faktor keganasan dari antraks, yaitu dipengaruhi oleh toksin dan kapsul poly-D-glutamic acid. Diagnosis kasus antraks pada hewan didasarkan pada pengujian laboratorium.
Sampel yang digunakan untuk uji antara lain swab darah perifer, sisa organ, tulang, dan sampel lingkungan tempat di mana hewan mati atau disembelih. Metode uji antara lain dengan kultur, deteksi antigen (Ascoli dan immunofluorescence) dan PCR.
Adji mengatakan, pencegahan dan pengendalian antraks dapat dilakukan terutama dengan vaksinasi. Vaksinasi dilakukan pada hewan atau ternak yang rentan di daerah tertular antraks.
Selain itu, perlu melakukan dekontaminasi, mulai dari kandang dan peralatan hingga sisa pakan, kotoran, dan tanah yang tercemar. Yang terpenting juga perlu mematuhi tata laksana penanganan hewan hidup dan mati yang disebabkan karena terinfeksi antraks.
Penyakit Tanah
Sementara itu, Peneliti Pusat Riset Kedokteran Pre Klinis dan Klinis ORK BRIN Telly Purnamasari Agus menjelaskan mengenai definisi antraks. Antraks berasal dari Bahasa Yunani yang berarti arang.
Mengapa demikian? Karena awalnya antraks ini menginfeksi bagian kulit. Kulit akan terasa seperti terbakar dan berwarna hitam seperti arang.
Antraks juga sering disebut sebagai penyakit tanah karena memiliki spora antraks yang dapat bertahan hidup di tanah selama puluhan tahun, terutama di tanah yang kering.
Umumnya, antraks menyerang hewan herbivora seperti sapi, kambing, domba dan lainnya. Masa inkubasi dari penyakit antraks adalah tujuh hari, tetapi umumnya berkisar antara dua hingga lima hari.
Adapun pada manusia, bakteri antraks dapat menginfeksi manusia melalui tiga cara, yaitu kulit karena masuknya spora lewat luka lecet atau sayatan pada kulit, saluran pernafasan karena inhalasi spora, dan saluran pencernaan karena mengonsumsi bahan makanan tercemar bakteri antraks.
“Karena antraks pada manusia ditularkan oleh hewan, maka perlu dilakukan pencegahan penyakit antraks pada hewan untuk melindungi kesehatan manusia. Spora Bacillus Anthracis resisten terhadap berbagai lingkungan ekstrim sehingga berpotensi menyebabkan wabah yang berulang. Penanganan antraks dilakukan dengan konsep one health, yaitu dibutuhkan kerja sama kesehatan manusia, kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan,” jelas Telly.
Pencegahan dan pengendalian antraks, ungkapnya, dapat dimulai dengan memahami tentang daur hidup, virulensi, patogenisitas, deteksi, dan diagnosis Bacillus Anthracis. Selain itu, penting juga mematuhi SOP dari instansi berwenang terkait penambahan jumlah peternak baru, penguatan surveilans antraks, peningkatan kapasitas sumber daya untuk diagnosis, dan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap bahaya penyakit antraks. (Sumber brin.go.id)