Gama GS: Jagung Hibrida Hasil Persilangan Varietas Lokal

foto humas UGM

Untuk mendongkrak produksi jagung nasional, Dr. Diah Rachmawati, M.Si, Dosen Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) mencoba mengawinkan dua varietas jagung lokal, yakni Guluk-guluk dan Srikandi Kuning-1. Hasilnya berupa jagung varietas baru Gama GS dan Gama SG yang berumur genjah dan tahan terhadap penyakit.

Guluk-guluk merupakan varietas jagung lokal asal Madura. Guluk-Guluk memiliki keunggulan berumur lebih pendek (65-75 hari), memiliki kandungan protein dan lemak cukup tinggi, serta toleran terhadap kondisi lahan kering. Sementara varietas Srikandi Kuning-1 memiliki ketahanan terhadap virus Cucumber Mosaic Virus (CMV) dan produksinya lebih tinggi daripada Guluk-guluk.

Diah Rachmawati melakukan persilangan kedua jenis jagung itu untuk mendapatkan varietas baru yang dapat berproduksi tinggi, memiliki umur lebih pendek, dan tahan terhadap virus. “Yang tidak kalah penting, bisa ditanam di daerah sulit air,” katanya.

Sebelumnya, Rachmawati mencari berbagai jenis jagung lokal dengan beragam keunggulan dan kelemahan. Ternyata tidak semua jagung memiliki keunggulan yang diinginkan. Apalagi pada umumnya jagung lokal lemah terhadap faktor biotik karena tidak tahan terhadap serangan virus. “Akhirnya, dipilihlah Guluk-guluk yang punya ketahanan terhadap virus,” ujarnya.

Selain memiliki ketangguhan terhadap virus, jagung yang banyak tumbuh di Kecamatan Guluk-guluk, Madura itu umur masa panennya jauh lebih pendek, yakni di bawah tiga bulan atau 75 hari.  Jagung di Madura dikenal memiliki biji dan kualitas rasa yang disukai masyarakat.

Sayang, produksinya masih kecil, sekitar 4 ton/hektar. Sementara, Srikandi Kuning 1 yang benihnya diambil dari Maros, Sulawesi Selatan memiliki produksi yang jauh lebih tinggi, 7 ton/hektar. Kandungan protein dan lemaknya juga lebih tinggi.

Dari hasil uji coba di lapangan, jagung hibrida hasil persilangan varietas Guluk-guluk dan Srikandi Kuning 1 menghasilkan produksi jagung kering 6,5 ton perhektar dengan waktu panen 75 hari. Jagung itu juga memiliki ukuran tongkol yang lebih panjang, yakni 15-18 cm. “Padahal, panjang tongkol Guluk-guluk cuma 10-13 cm,” kata Rachmawati.

Untuk mendapatkan hasil kawin silang yang lebih baik, Rachmawati melakukan dengan cara perkawinan resiprok, yakni persilangan ulang dengan jenis kelamin yang dipertukarkan. “Jadi, induk betinanya Guluk-guluk dikawinkan dengan jantannya Srikandi Kuning 1. Begitu juga sebaliknya,” tuturnya.

Setelah beberapa kali melakukan kawin silang, akhirnya didapatkan benih jagung hibrida yang diberi nama Gama GS dan Gama SG. Jagung GS menunjukkan betinanya adalah Guluk-guluk dan jantannya Srikandi Kuning 1. Sementara Gama SG,  betina dari Srikandi Kuning 1 dan jantannya Guluk-guluk.

Menurut Rachmawati, keunggulan Gama GS dan Gama SG terletak pada umur panen yang relatif lebih pendek, sekitar 75–80 hari, dengan produksi mencapai 6 hingga 7 ton perhektar. Data tersebut didapat dari beberapa uji lokasi di Klaten, KP4 UGM, Pamekasan (Madura), dan Maros (Sulawesi Selatan).

Dari sisi produksi, Gama GS dan Gama SG memang masih kalah dibandingkan dengan jagung hibrida Pioneer yang sudah dikenal luas oleh kalangan petani. Namun, jagung Pioneer memiliki umur masa panen sekitar 100 hari. “Kalau Pioneer itu bisa panen 10 ton/hektar, tapi dari segi ketahanan virus dan umur, kita masih menang,” ujar Rachmawati. sumber www.ugm.ac.id

 

 

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author