TechnologyIndonesia.id – Berbagai budaya lokal di belahan dunia secara turun temurun membedakan tanah berdasarkan keragaman warnanya. Keragaman warna tanah terjadi karena adanya senyawa besi, kandungan bahan organik, mangan, dan kadar air.
Tanah-tanah yang lebih lembab biasanya lebih gelap. Sementara, tanah yang kering berwarna lebih terang. Tanah asli tanpa zat pengotor diperkirakan berwarna putih hingga abu-abu tergantung bahan induknya. Warna hitam biasanya identik dengan tanah yang subur karena kaya bahan organik.
Peneliti Pusat Riset Tanaman Pangan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Destika Cahyana mengatakan, “Warna tanah memang sejak dulu menjadi indikator awal untuk menilai kesuburan tanah karena mencerminkan kandungan bahan organik, senyawa besi, serta drainase tanah.”
Destika memaparkan hal tersebut pada webinar TERAS-TP HARI SEDUNIA, bertema “Pengelolaan Tanah Hitam Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan dan Mitigasi Perubahan Iklim”, Kamis (12/12/2024).
Menurut Destika, tanah yang berwarna hitam di berbagai belahan dunia terbentuk dari proses yang beragam. Karena itu, ketika menentukan definisi tanah hitam di forum-forum internasional menjadi perdebatan yang hangat.
Destika telah mengikuti diskusi-diskusi di tingkat dunia terkait tanah hitam dari tahun 2017, 2018, 2019, sampai dengan sekarang.
“Definisi itu memberi batasan, tetapi pada prosesnya sangat dinamis dan terbuka dengan mempertimbangkan para ahli tanah di berbagai negara. Contohnya di periode awal, definisi tanah hitam yang ditawarkan terbatas pada tanah seperti di Rusia, yaitu Chernozem,” ungkapnya.
Chernozem bahkan disebut oleh Dhokuchaev, V. V, ahli tanah di Rusia sebagai The King of Soils alias Rajanya Tanah karena paling subur. Saat ini Chernozem tersebar di Rusia, Ukraina, hingga China.
Namun, ketika dipresentasikan di level dunia (FAO), terjadi perdebatan bahwa tidak semua yang berwarna hitam pada tanah termasuk jenis Chernozem. Pada 2018 (China) dan 2019 (Moldova), definisi itu diperluas hingga Kastanozems dan Phaeozems, di mana ketiganya dalam sistem klasifikasi USDA (United States Department of Agriculture) termasuk Mollisols.
Dengan demikian yang dimaksud tanah hitam ketika itu lebih merujuk pada tanah Mollisols. Ordo tanah tersebut termasuk tanah hitam kategori pertama yaitu tanah mineral yang memenuhi semua syarat-syarat.
Syarat-syarat tersebut diantaranya horizon permukaan hitam dan gelap (chroma ≤ 3 moist, value ≤ 3 lembap, dan atau ≤ 5 sangat kering); ketebalan horizon permukaan hitam atau gelap minimal 25 Cm; kadar C-organik ≥ 1,2% (atau ≥ 0,6% di daerah tropis) dan ≤ 20%; kapasitas tukar kation (KTK) ≥ 25 cmol/kg; serta kejenuhan basa (KB) ≥ 50%.
Namun, di level dunia perdebatan mengenai pembatasan tanah hitam terus terjadi sehingga definisinya masih dinamis karena di luar Mollisols juga masih ada tanah yang berwarna hitam.
Pada akhirnya, dibuat tanah hitam kategori kedua yaitu apabila memenuhi persyaratan seperti horizon permukaan hitam atau sangat gelap (chroma ≤ moist, value ≤ 3 lembap, dan ≤ 5 kering), ketebalan horizon permukaan hitam atau gelap minimal 25 cm, dan kadar C-organik ≥ 1,2% (atau ≥ 0,6% di daerah tropis) dan ≤ 20%.
Pada konteks Indonesia, tanah yang masuk pada tiga persyaratan tersebut adalah sebagian Vertisols dan sebagian Andisols.
Menurut Destika, tanah gambut atau Histosols tidak termasuk tanah hitam karena bukan tanah mineral, tetapi tanah organik. Sementara tanah mineral bergambut termasuk tanah hitam, tetapi pada konteks Indonesia diabaikan karena umumnya tanah mineral bergambut telah hilang (terbakar, erosi, pengolahan tanah intensif).
Demikian pula secara spasial, tanah gambut yang telah berubah menjadi tanah mineral (bergambut) masih sulit dipisahkan sebarannya serta jumlahnya dianggap tidak signifikan.
Destika memberikan penjelasan pula mengenai lingkungan pembentukan tanah hitam (Mollisols, Andisols, dan Vertisols). Mollisols terbentuk dalam lingkungan bahan induk yang kaya Calsium (Ca) dan Magnesium (Mg), biasanya dasar laut yang terangkat yang berada pada daerah dengan curah hujan yang rendah.
“Tanah hitam ini terbentuk karena di saat curah hujan rendah, maka Ca dan Mg terhindar dari pencucian ke luar profil tanah. Bahan induk Ca dan Mg berperan sebagai agen perekat (cementing agent) sehingga struktur tanah stabil tetapi tetap lembut. Ca dan Mg juga mengundang vegetasi siklus pendek tumbuh subur sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang tinggi,” jelasnya.
Sementara Andisols terbentuk dari bahan induk vulkanik yang membentuk mineral alofan. Andisols biasanya tersebar di daerah-daerah pegunungan hingga sekitarnya.
Kemudian Vertisols umumnya memiliki bahan induk seperti Mollisols, tetapi terbentuk pada daerah cekungan (Basin) yang tertutup sehingga pelapukan mineral bertahan menjadikan klei tipe 2:1 (Smektit) tanpa berlanjut ke tipe 1:1 (kaolinit).
“Saat ini ketiga tanah subur di atas menghadapi permasalahan karena hilang tanpa adanya data yang valid,” kata Destika. Hilangnya tanah subur tersebut karena konversi lahan, pengolahan tanah intensif, serta erosi. Menurutnya, hal tersebut merugikan Indonesia karena tanah subur merupakan aset paling berharga untuk menopang ketahanan pangan dan energi serta sebagai stok karbon.
Indonesia saat ini terlibat aktif dengan International Networking Black Soils (INBS) dalam mengidentifikasi sebaran spasial dan upaya memproteksi tanah hitam di Indonesia.
Peneliti di Indonesia, yang berada di BRIN, Kementerian Pertanian, dan perguruan tinggi telah melakukan pemetaan tanah hitam tahap pertama. Hasil riset di bawah koordinasi perwakilan INBS Indonesia, Yiyi Sulaeman, berupa peta indikatif tanah hitam dengan sebaran di Aceh, Jawa Timur, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
“Tanah hitam tersebar di 14 provinsi dengan luas 6,3 juta ha. Dari 14 provinsi tersebut ada yang dijadikan sebagai lahan sawah, pertanian lahan kering, sebagai kebun, dan kebun campuran,” rinci Destika.
Ia juga mengungkapkan bahwa dalam pemetaan tanah hitam pada tahap berikutnya dilakukan berdasarkan posisi tanah tersebut dalam tofografi, klasifikasinya dilakukan di software SAGA dengan data DEM dan algoritma Landform. Pemisahan Mollisols (disagregasi) dilakukan di software R dengan metode digital soil mapping (machine learning).
“Untuk rencana ke depan, kita akan memetakan sebagian Vertisols dan Andisols yang masuk ke golongan tanah hitam. Tentunya juga akan melibatkan ilmuan, penyuluh, praktisi, dan citizen di berbagai daerah. Verifikasinya dilakukan dengan bantuan dari pihak luar. Setelah itu kita pun rencananya akan membangun portal webgis tanah hitam,” pungkas Destika. (Sumber brin.go.id)