TechnologyIndonesia.id – Produksi pertanian di Indonesia terbilang tinggi, namun banyak terbuang saat penanganan pascapanen pertanian. Indonesia juga termasuk negara yang berada pada urutan ketiga dari bawah jika dilihat dari food loss dengan perkiraan 300 kg per orang per tahun.
Food loss merupakan istilah sampah makanan yang berasal dari bahan pangan seperti sayuran, buah-buahan atau makanan yang masih mentah namun sudah tidak bisa diolah menjadi makanan dan akhirnya dibuang begitu saja.
Sedangkan food waste merupakan makanan yang siap dikonsumsi oleh manusia namun dibuang begitu saja dan akhirnya menumpuk di TPA.
Kondisi tersebut dipaparkan Anto Tri Sugiarto, Analis Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Ahli Madya dari Pusat Riset Mekatronika Cerdas (PRMC), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Webinar Nasional yang bertajuk “Teknologi Ozon untuk Penanganan Pasca Panen Komoditas Pertanian”, pada Kamis (23/11/2023).
”Ini suatu kondisi yang menurut saya sangat miris. Di satu sisi produksi pertaniannya sangat tinggi tapi di sisi lain banyak membuang produk pertanian yang mengakibatkan kita impor jadinya,” ujar Anto dikutip dari laman brin.go.id.
Kontribusi food loss di Indonesia diperkirakan terjadi 5 hingga 20 persen. Dimulai dari saat di perkebunan dan ladang, di gudang penyimpanan, proses pemasaran, di perjalanan dan pemasaran.
“Salah satu penyebab food loss ini adalah adanya mikroba yang mengakibatkan hasil pertanian menjadi tidak bertahan lama,’’ sorot Anto.
Ia menyebutkan dalam perkembangan teknologi pengawetan, teknologi ozon termasuk kedalam teknologi non thermal yang dianggap bisa menjadi solusi untuk mengurangi food loss terutama dari pasca panen. Aplikasi ozon yang berupa gas maupun cair bisa membunuh mikroba, virus, jamur dan bakteri yang lebih baik dari ultraviolet sehingga hasil pertanian bisa disimpan lebih lama.
Lebih lanjut Anto mengatakan, gas ozon atau O3 merupakan allotrope sebagai bentuk lain dari gas oksigen dan dari prosesnya secara alami terbentuk di alam. Pada siang hari, sinar matahari cukup terik menghasilkan ozon di alam walaupun dengan jumlah yang tidak terlalu banyak. Adapun pada musim hujan biasanya pada saat banyak petir, elektron ini mengakibatkan ozon terbentuk juga.
“Ozon tidak hanya ada di alam tapi sekarang juga bisa diproduksi dengan salah satunya teknologi plasma maupun ultraviolet,” sebutnya.
Anto mencontohkan salah satu produk yang umum dipasaran yang bisa memproduksi ozon yaitu ozon generator. “Dengan melalui ozon generator tiap udara yang mengandung oksigen kemudian oksigennya terpapar oleh lecutan elektron sehingga berubah menjadi ozon,” jelas Anto.
Seiring dengan pemanfaatan produk ozon generator yang semakin banyak digunakan, bentuk ozonis tersebut menjadi bervariasi. Anto menerangkan, semula produk yang awalnya berbentuk gas ozon, kemudian kini menjadi dalam bentuk air yang mengandung ozon bahkan ada yang dibuat es yang mengandung ozon.
Para periset BRIN juga mengembangkan kabut yang mengandung ozon yang digunakan pada saat pandemi Covid-19 untuk sterilisasi mematikan virus tersebut. “Jadi dengan gas ozon ini, sesuai dengan kebutuhannya, sesuai dengan pemanfaatannya kita bisa menggunakan variasi untuk seperti yang kita harapkan,” tegas Anto.
Alasan ozon diharapkan membantu proses sterilisasi non thermal adalah karena ozon merupakan salah satu desinfektan atau sterilisasi yang cukup kuat. Dimana ozon memiliki oksidasi potensial 2. “Jadi ozon hampir dua kalinya kaporit dalam hal ini,” terangnya.
Pemanfaatan teknologi ozon untuk penanganan pasca panen komoditas pertanian harus memperhatikan dosis dan keamanannya. Hal ini sesuai dengan standar yang ditetapkan salah satunya oleh WHO termasuk Peraturan Kementerian Kesehatan di Indonesia.
“WHO menyampaikan seseorang bisa bekerja dalam satu ruangan selama 8 jam apabila konsentrasi gas ozon dibawah 0,1 ppm, namun jika ditingkatkan hingga 1 ppm hanya boleh berada diruangan 1,5 jam,” sebutnya.
Bukan tanpa alasan, Anto mengingatkan bahwa hal tersebut akan berdampak buruk terhadap kesehatan yang ditandai batuk-batuk dan pusing. (sumber brin.go.id)