Jakarta, Technology-Indonesia.com – Saat musim kemarau, banyak lahan tidak termanfaatkan dan dibiarkan bera atau tidak ditanami dalam kurun waktu tertentu. Berkat penerapan teknologi Tumpang Sari Tanaman (Turiman), lahan kering dan tandus ternyata dapat berubah menjadi lahan pertanian yang subur.
Kondisi lahan kering menjadi tantangan tersendiri dalam dunia pertanian. Tantangan lainnya berupa pesatnya perubahan lahan pertanian, ketersediaan air, dan tingginya lonjakan jumlah penduduk. Sementara, kebutuhan pangan tidak dapat ditunda dan harus terpenuhi.
Menjawab tantangan tersebut peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat, Dr. Ir. Yanto Surdianto, MP, melakukan pengkajian dengan menerapkan teknologi Turiman pada lahan kering seluas 5 hektare (ha) di Desa Sakurjaya, Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Penerapan teknologi Turiman ini melibatkan Kelompok Tani Hutan (KTH) Pelangi 1.
Awalnya, tak mudah mengajak dan mengubah pemikiran para petani yang terbiasa mengandalkan musim hujan. Namun berkat kesungguhan Dr. Yanto beserta tim, penerapan teknologi Turiman yang dilakukan pertama kali pada akhir Juni 2019 telah menampakkan hasil.
Tiga bulan berselang, lahan kering dan tandus di Desa Sakurjaya dapat berubah menjadi lahan pertanian yang subur.
Ketersediaan Air
Jawa Barat memiliki luas lahan kering mencapai 139.361 ha yang sangat potensial untuk pengembangan tanaman pangan khususnya padi. Sayangnya, lahan tersebut hanya bisa ditanami satu kali satu tahun pada musim hujan. Pada musim kemarau panjang, lahan dibiarkan bera karena tidak ada air
Komoditas tanaman yang biasa ditanam pada musim hujan hanya padi gogo dengan proses budidaya konvensional sehingga produktivitasnya rendah. Teknik budidaya yang tidak tepat menjadi salah satu penyebab keterbatasan unsur hara yang diserap tanaman.
Inovasi teknologi pengelolaan pertanian terbaru pada lahan kering di musim kemarau belum teradaptasi dengan baik oleh petani. Padahal lahan kering berpotensi menjanjikan untuk dikembangkan guna mendukung ketahanan pangan nasional karena semakin terbatasnya luas lahan pertanian yang produktif.
Ketersediaan air menjadi faktor utama dalam budidaya tanaman pangan khususnya padi di lahan kering. Solusinya adalah mencari sumber air dengan mengidentifikasi potensi air pada lahan kering. Sumber air bisa dari air permukaan (sungai) atau air tanah yang diperoleh melalui identifikasi lokasi. Pemanfaatan air tanah dengan melakukan pengeboran di titik sumber air yang tepat kemudian mengalirkan ke lahan dengan sistem pipanisasi.
Kajian Teknologi Turiman
Menyikapi permasalahan lahan kering, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah merilis teknologi Tumpang Sari Tanaman (Turiman). Teknologi penanaman secara tumpang sari antara dua atau lebih jenis tanaman dilakukan pada satu areal lahan dalam waktu yang bersamaan atau agak bersamaan dengan tidak mengurangi jumlah populasi masing-masing tanaman.
Teknologi budidaya secara Turiman menggunakan luasan yang sama dengan jumlah populasi yang sama dengan cara modifikasi jarak tanam yaitu dengan metode pemadatan dan memperpendek jarak tanam.
Sebagai perpanjangan tangan Balitbangtan di daerah, BPTP Jawa Barat menerapkan kajian teknologi Turiman di lahan kering untuk perlakuan Turiman Pajale (padi, jagung, dan kedelai). Kegiatan pengkajian mengenai dukungan inovasi pertanian untuk peningkatan Indeks Pertanaman (IP) melalui teknologi Turiman pada lahan kering di Jawa Barat dilaksanakan berupa demplot seluas 5 ha.
Perlakuan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah Turiman JAGO: Jagung (Bisi 18 dan JH 27) + Padi Gogo (Rindang 1 dan Rindang 2), Turiman JALE: Jagung (Bisi 18 dan JH 27) + Kedelai (Anjasmoro), Turiman GOLE: Padi Gogo (Rindang 1 dan Rindang 2) + Kedelai (Anjasmoro), Turiman JANAH: Jagung + Kacang tanah, dan Turiman Jagung + Kacang Hijau.
Selain tanaman pokok yang ditanam yaitu padi, jagung dan kedelai, juga ditanam tanaman eksisting yang memiliki nilai jual yang tinggi yaitu kacang tanah dan kacang hijau. Tujuannya agar petani semangat menjalankan kegiatan karena kacang tanah dan kacang hijau memiliki nilai ekonomi tinggi dan sangat diminati pasar.
Tingkatkan Indeks Pertanaman
Kajian di lapangan menunjukkan proses budidaya tumpang sari memberikan hasil produksi yang maksimal. Teknologi Turiman mampu meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) hingga tiga kali lipat dalam satu tahun.
Hasil produksi pada perlakuan jagung dan kedelai (Jale) produksi jagung bobot basah tongkol mencapai 5.64 ton/ha dan kedelai bobot biji kering mencapai 1.7 ton/ha. Untuk komoditas kacang tanah mencapai 2.8 ton/ha berat basah. Hasil tersebut sangat luar biasa karena hasil produksi panen pada musim hujan belum tentu sebesar itu.
Potensi lahan kering ternyata bisa menghasilkan produksi tanaman secara maksimal dengan dukungan teknologi yang sesuai.
Hasil kajian tersebut tidak akan ada manfaatnya jika tidak terdiseminasi secara luas. Karena itu, BPTP Jawa Barat menggelar temu lapang dengan mengundang para stakeholder terkait untuk menyebarkan inovasi teknologi ini kepada para petani yang lebih luas. Melalui temu lapang ini diharapkan diseminasi kegiatan penelitian dapat termanfaatkan dalam skala yang lebih luas.
Kedepan, agar program ini terus berjalan dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak, terutama dari pemerintah daerah setempat untuk terus mengawal kegiatan ini.
Jika teknologi Turiman dapat diaplikasikan oleh sebagian besar petani di wilayah kering Jawa Barat, hasilnya akan dapat mendukung swasembada pangan nasional dan mendukung Indonesia menjadi lumbung pangan dunia tahun 2045. (BPTP Jawa Barat/Niken Resti P, Adhitya Tri D, Ika Purnamasari)
Artikel ini disunting dari naskah berjudul Optimalisasi Lahan Kering Melalui Teknologi Tumpangsari Tanaman (Turiman) yang meraih Juara I Penyusunan Artikel Diseminasi Inovasi Pertanian yang digelar oleh BPTP Balitbangtan