Jakarta, Technology-Indonesia.com – Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sektor pertanian dapat diturunkan melalui teknologi unggulan seperti penanaman varietas rendah emisi, pengelolaan pupuk nitrogen slow release, dan pengelolaan air secara intermitten. Inovasi teknologi tersebut merupakan bagian dari teknologi ramah lingkungan yang mendukung swasembada pangan berkelanjutan.
Kepala Bidang Kerjasama dan Pendayagunaan Hasil Penelitian, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan) Yiyi Sulaeman mengatakan budidaya padi saat ini dan ke depan sangat terpengaruh oleh dinamika perubahan iklim.
“Perubahan iklim tersebut berdampak terhadap perubahan pola tanam yang mengakibatkan penurunan produktivitas padi. Emisi CH4 (gas metana) secara signifikan dipengaruhi oleh perbedaan varietas padi,” terang Yiyi dalam Workshop dan Seminar Internasional “Innovation of Environmental friendly Agricultural Technology Supporting Sustainable Food Self-Sufficiency” di Hotel Alila Solo, Surakarta, Jawa Tengah pada Selasa (18/9/2018).
Upaya pengurangan emisi CH4, lanjutnya, dapat dilakukan melalui pemilihan varietas rendah emisi berdaya hasil tinggi. Misalnya, varietas Mekongga berpotensi menghasilkan emisi CH4 rendah dengan hasil gabah tinggi. Dari segi pengembangan varietas, Inpari 13, Inpari 23, Inpari 24, Inpari 29 dan Inpari 30 memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai tetua varietas unggul rendah emisi CH4 melalui perbaikan pada komponen produksi.
Menurut Yiyi, dampak perubahan iklim di lahan sawah tadah hujan (STH) dan lahan kering lebih terasa dibandingkan di lahan sawah irigasi. Teknologi adaptif panen hujan (water harvesting) menggunakan embung dapat meningkatkan kapasitas penyimpanan air tanah.
“Ketersediaan air di embung dapat meningkatkan intensitas tanam di lahan kering dari indeks pertanaman (IP) 100 meningkat menjadi IP 200, dan di lahan sawah tadah hujan dari IP 200 menjadi IP 300,” terangnya.
Selain pemilihan varietas rendah emisi, pengelolaan pupuk yang tepat dapat meningkatkan hasil dan dapat menurunkan kadar gas rumah kaca. Pemberian pupuk organik yang telah matang ke dalam tanah sawah cenderung menghasilkan gas rumah kaca lebih rendah.
Teknologi Biokompos merupakan formulasi pupuk organik yang mengkombinasikan pupuk kandang dan arang sekam dengan perbandingan 4:1. Biokompos inovasi dari Badan Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) ini mempunyai komposisi C-organik 14,6%; N (Nitrogen) total 1,9%; P (Phosphor) total 1,85 dan K (Kalium) total 0,77% serta kadar air 13%.
“Aplikasi Biokompos Balingtan di lahan padi sawah tadah hujan meningkatkan hasil gabah kering panen varietas IR 64 dan Ciherang rata-rata hingga 17% dan menurunkan laju produksi metana (CH4)sebesar 4% dan laju produksi gas dinitrogen oksida (N2O) sebesar 23% dibandingkan dengan aplikasi pupuk kandang saja,” ungkap Yiyi.
Lebih lanjut Yiyi mengungkapkan, residu pestisida pada umumnya dianalisis menggunakan alat kromatografi gas cairan (KGC) atau gas chromatography (GC) dan kromatografi cairan kinerja tinggi (KCKT) atau high performance liquid chromatography (HPLC). Namun, metode ini membutuhkan peralatan yang sangat mahal, personil yang terlatih, dan harus mengelaborasi prosedur preparasi contoh. Multimeter Balingtan dapat membantu analisis rutin residu pestisida diperlukan suatu metode analisis yang simpel, cepat dan sensitif.
Pencucian polutan yang dimediasi oleh tumbuhan, termasuk pohon, rumput-rumputan, dan tumbuhan air dapat dilakukan dengan cara fitoremediasi. Hasil kajian Balingtan merekomendasikan 20 tanaman untuk fitoremediasi dengan kemampuan serapan polutan yang spesifik yaitu: akar wangi, kangkung pagar, haramay/rami, bungan iris, bungan lantana, bunga star blue, bunga lilin, lidah mertua, bunga teratai, melati air, bambu air, bunga lili paris, paku-pakuan, kiambang, keladi hias, sri rejeki, keladi tikus, hanjuang/andong, sambang dara, dan eceng gondok.
Workshop yang berlangsung pada 18-20 September 2018 ini bertujuan menghimpun dan menyebarluaskan hasil-hasil penelitian ramah lingkungan, dan melakukan ekspose inovasi teknologi pertanian ramah lingkungan mendukung swasembada pangan berkelanjutan. Workshop juga bertujuan untuk membangun komunikasi antar pemangku kepentingan terkait pertanian ramah lingkungan.