Bogor, Technology-Indonesia.com – Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman di berbagai kesempatan menyebutkan bahwa lahan rawa di Indonesia merupakan singa tidur, potensinya besar namun pemanfaatannya belum maksimal. Program Serasi (Selamatkan Rawa, Sejahterakan Petani) akan memaksimalkan lahan rawa yang kurang produktif menjadi produktif sehingga nantinya lahan rawa menjadi solusi pangan nasional
Kepala Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP), Dedi Nursyamsi mengatakan Indonesia memiliki lahan rawa sekitar 34,1 juta ha. Sekitar 19,2 juta ha diantaranya sesuai untuk pengembangan pertanian, yaitu untuk padi sawah 14,2 juta ha, hortikultura 3,1 juta ha, dan tanaman tahunan 1,9 juta ha.
“Dari luasan 19,2 juta hektar, sebetulnya baru 3,68 juta hektar saja yang dimanfaatkan atau sekitar 15%. Saat ini kita surplus beras kurang lebih 2,85 juta ton. Kalau rawa ini bisa dikembangkan surplus akan bertambah 1-2 juta ton,” terang Dedi dalam acara Bincang Asyik Pertanian Indonesia (Bakpia) di Bogor, pada Jumat (14/12/2018)
Lebih lanjut Dedi menerangkan, dari 19,2 juta hektare lahan rawa yang sesuai untuk pengembangan pertanian, ada lahan rawa yang bisa dengan cepat dimanfaatkan yaitu lahan potensial tersedia yang saat ini berupa semak belukar. Lahan tersebut luasnya sekitar 7,5 juta ha terdiri dari 5,1 juta ha sesuai untuk padi sawah, 1,5 juta ha untuk hortikultura, dan 0,9 juta ha untuk tanaman tahunan. Lahan ini tersebar terutama di tiga pulau besar yaitu di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Dibandingkan dengan lahan kering atau lahan sawah, ungkapnya, lahan rawa memiliki keunggulan karena air tersedia sepanjang tahun. Di saat wilayah lain kemarau dan kekeringan, lahan rawa justru dapat berproduksi optimal dan panen raya. Lahan rawa lebak pada saat kemarau panjang justru menguntungkan karena airnya surut sehingga permukaan tanah yang bisa ditanami padi lebih luas.
“Selain itu, di lahan rawa sangat subur karena daerah endapan. Makanan dan unsur hara dari mana-mana terkumpul di rawa kemudian pada saat air surut ditanami maka produktivitasnya tinggi bisa mencapai 9 ton/hektar. Karena itu rawa potensinya luar biasa kalau kita garap dengan baik,” terangnya.
Namun, ada tantangan yang harus dihadapi dalam pengelolaan lahan rawa. Misalnya, kemasaman lahan (tanah dan air) cukup tinggi karena adanya pirit; di lahan rawa tata airnya juga belum berfungsi secara maksimal. Tantangan lainnya adalah sikap (mindset) sebagian besar petani di lahan rawa masih tradisional, kelembagaan petani dan kelembagaan ekonomí belum sepenuhnya maju dan implementasi teknologi juga masih terbatas sehingga produktivitasnya rendah.
Kondisi prasarana dan sarana, termasuk infrastruktur air juga kurang berfungsi sehingga sering mengalami kebanjiran atau kekeringan. “Hal-hal tersebut harus kita atasi sehingga produktivitas di lahan rawa meningkat secara cepat,” lanjutnya.
Program Serasi, menurut Dedi merupakan implementasi dari inovasi teknologi pertanian yang digelar pada HPS (Hari Pangan Seunia) di lahan rawa pasang surut Desa Jejangkit Muara seluas 240 hektar pada Oktober 2018. Lahan rawa Jejangkit yang 18 tahun ditinggalkan, melalui implementasi inovasi teknologi berhasil dibudidayakan kembali menjadi lahan produktif dengan mengintegrasikan lahan sawah dengan ikan dan itik.
Program Serasi merupakan inisiasi pemerintah yang lebih luas dari demplot Jejangkit yang dilaksanakan pada lahan rawa pasang surut seluas 550.000 ha tersebar di enam provinsi yaitu Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Jambi, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Tengah. Program ini bersifat sinergi dan lintas sektoral antara Kementan, Kemen PUPR, Kemen BUMN, dan Lembaga Keuangan (LK).
“Pengembangan lahan rawa yang tadinya kurang produktif dilakukan dengan peningkatan produktivitas, peningkatan indeks pertanaman, dan diversifikasi pertanian. Itu kunci Program Serasi,” katanya.
Lebih Lanjut Dedi menerangkan bahwa, saat ini indeks pertanaman (IP) padi di lahan rawa Kalimantan Selatan umumnya IP 100 artinya dalam satu tahun hanya satu kali tanam. Untuk meningkatkan menjadi IP 200 dilakukan dengan normalisasi tata air melalui perbaikan saluran air, pintu air, tanggul, pompa, dan lain-lain, serta penanaman varietas padi berumur genjah yang adaptif di lahan rawa.
Menurut Dedi, tata air di lahan rawa sebaiknya tata air satu arah sehingga air masam akan tercuci. Air masuk berupa air bersih, kemudian air yang keluar berupa air masam. Jika tata airnya dua arah maka air bersih dan air masam akan tercampur. “Jadi di lahan rawa, air berfungsi untuk irigasi dan membuang racun,” imbuhnya.
Peningkatan indeks pertanaman di lahan rawa harus mempertimbangkan jadwal tanam yang beradaptasi dengan pola curah hujan. Karena itu jadwal tanam pada lahan rawa pasang surut perlu memperhatikan awal dan durasi musim hujan. Sebaliknya pada lahan rawa lebak perlu memperhatikan awal dan durasi musim kemarau.
Peningkatan produktivitas padi di Jejangkit dari 2 ton/ha menjadi 6 ton/ha dilakukan melalui introduksi varietas unggul dan adaptif, perbaikan sistem budidaya, ameliorasi tanah (pemberian dolomit, fosfat alam, dan bahan organik), pemupukan berimbang spesifik lokasi, penanggulangan organisme pengganggu tanaman (OPT), penggunaan alsintan pra dan pasca panen. Selain itu peningkatan produksi pangan bisa dilakukan melalui diversifikasi komoditas selain padi, yaitu hortikultura, itik, dan ikan. Serta membangun kelembagaan dan pemberdayaan petani melalui implementasi pertanian korporasi.
“Program Serasi ini intinya untuk meningkatkan efisiensi dengan cara implementasi inovasi teknologi. Dengan inovasi teknologi pertanian, lahan yang tadinya tidak produktif menjadi produktif. Itu ditandai dengan peningkatan produktivitas yang rata-rata 2-3 ton menjadi 6 ton/hektar. Bahkan kalau ubinan bisa mencapai hampir 8,5 ton/ha gabah kering panen,” terang Dedi.
Pada kesempatan tersebut, Dedi menekankan bahwa ada dua jenis lahan rawa yaitu tanah gambut dan tanah mineral. “Yang akan Kementan kembangkan bukan lahan gambut, tapi lahan rawa tanah mineral. Lahan gambut kita hindari, biarlah untuk fungsi lingkungan, penyediaan air dan sebagainya,” ungkapnya.
Program untuk optimalisasi lahan rawa dalam mendukung peningkatan produksi pangan nasional harus dilaksanakan secara terpadu dan komprehensif. Program tersebut meliputi optimalisasi serta revitalisasi jaringan irigasi dan drainase, budidaya padi, budidaya hortikultura, budidaya itik, budidaya ikan, alsintan pra dan pasca panen, kelembagaan (kelompok tani, Petani Pemakai Air/P3A, Brigade Alsintan) dan pemberdayaan petani melalui pertanian korporasi.
Dedi mengungkapkan, pelaksanaan program di lapangan perlu didukung koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan stakeholder lainnya. Dukungan dari pemerintah pusat terutama dari Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian PUPR terutama Balai Besar Wilayah Sungai (BWSS), Kemendesa PDTT, TNI AD, dan Pemda Provinsi dan Kabupaten. Selain itu perlu dukungan stakeholder lainnya seperti dari Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), perusahaan benih, pupuk dan lain lain.