Prof. Abdjad Asih Nawangsih: Aktinomiset, Bakteri Pengendali Penyakit Tanaman untuk Pertanian Berkelanjutan

TechnologyIndonesia.id – Tanaman memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia: sumber penyedia bahan pangan, sandang dan papan, serta pakan bagi hewan. Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan pada 2050, produksi pertanian harus meningkat 60% untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia di dunia yang akan mencapai populasi 10 miliar.

Permasalahannya, budidaya tanaman sering menghadapi berbagai gangguan, baik dari faktor abiotik maupun biotik. Faktor biotik, seperti organisme pengganggu tanaman (OPT) yang meliputi hama, patogen dan gulma, sering mengancam tanaman secara bersamaan, dengan dukungan faktor abiotik seperti kondisi lingkungan dan cuaca.

Guru Besar Tetap Fakultas Pertanian IPB University, Prof. Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. mengatakan bahwa dampak gangguan kesehatan tanaman akibat hama maupun penyakit dapat menyebabkan kehilangan hasil panen hingga 40% setiap tahunnya.

“Dari satu faktor penyakit tanaman saja, kerugian ekonomi secara global mencapai nilai sekitar 220 miliar USD,” terang Prof. Asih dalam konferensi pers pra orasi ilmiah yang digelar secara daring pada Kamis (18/9/2025).

Sidang Terbuka Orasi Ilmiah Guru Besar IPB akan dilaksanakan di Auditorium Andi Hakim Nasution (AHN), Kampus IPB Dramaga, Kabupaten Bogor yang dijadwalkan berlangsung pada Sabtu (20/9/2025).

Revolusi Hijau

Dalam catatan sejarah, serangan tanaman pernah menyebabkan kerugian dahsyat. Prof. Asih mencontohkan, penyakit hawar daun kentang di Irlandia pada tahun 1845-1846 menyebabkan kegagalan panen berkepanjangan. Akibatnya, ratusan ribu orang meninggal karena kelaparan dan lebih dari 1.5 juta orang terpaksa bermigrasi ke Amerika Serikat.

Kasus lainnya adalah wabah penyakit bercak coklat oleh cendawan Cochliobolus miyabeanus pada tanaman padi yang telah memicu kelaparan hebat dan meluas di Benggala India serta menyebabkan kematian lebih dari dua juta manusia.

Dampak penyakit tanaman yang sangat merugikan dan tuntutan penyediaan pangan, memunculkan gerakan”Revolusi Hijau” di Asia (Asian Green Revolusion) pada 1965-1990. Revolusi Hijau didorong oleh revolusi teknologi, yang terdiri dari paket masukan modern – irigasi, benih unggul, pupuk, dan pestisida – yang bersama-sama meningkatkan produksi tanaman secara dramatis.

“Namun, permasalahan OPT muncul sebagai masalah penting di era tersebut karena banyak varietas utama dengan produksi tinggi memiliki ketahanan yang rendah terhadap beberapa OPT,” tutur Prof. Asih.

Permasalahan tersebut diperparah dengan perubahan intensitas penanaman yang tinggi, pola tanam monokultur, penggunaan dosis pupuk yang tinggi dan penanaman varietas yang sama pada areal yang sangat luas dengan kerentanan yang sama.

Pengendalian dengan aplikasi senyawa kimia, dilakukan secara terjadwal bukan berdasarkan insidensi OPT. Permasalahan diperparah dengan peningkatan resistensi OPT terhadap pestisida yang umum digunakan. Seiring dengan meningkatnya penggunaan pestisida, maka meningkat pula permasalahan lingkungan dan kesehatan.

Pengelolaan Hama Terpadu

Permasalahan-permasalahan tersebut mendorong pengembangan pengelolaan hama terpadu adau Integrated Pests Management (IPM) yaitu pendekatan yang memadukan varietas tahan OPT, mekanisme pengendalian alamiah, dan penggunaan pestisida tertentu secara bijaksana. Mekanisme pengendalian alamiah yang dimaksud termasuk pengendalian hayati.

Pengendalian hayati penyakit tumbuhan didefinisikan sebagai penghambatan penyakit atau patogen, secara langsung atau tidak langsung, oleh organisme lain (antagonis) atau kelompok organisme. Organisme yang bermanfaat tersebut dijuluki agens pengendali hayati atau biological control agents (BCAs). Istilah “biopestisida” juga sering digunakan.

Berbagai agens pengendalian hayati dilaporkan mampu mengendalikan penyakit tanaman dan beberapa telah dikomersialisasikan. Dari kelompok bakteri, agens biokontrol yang banyak digunakan antara lain Bacillus subtilis, B. amyloliquefaciens, B. megaterium, B. velezensis, Lactobacillus plantarum, Pantoea agglomerans, Pseudomonas fluorescens, dan Agrobacterium radiobacter.

Bakteri lain yang juga memiliki potensi tinggi adalah bakteri kelompok Aktinomiset, nama salah satu Kelas dalam dunia bakteri. Spesies anggota Aktinomiset sudah banyak yang dikomersialisasikan dan berperan penting terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman.

“Aktinomiset dapat melindungi tanaman tidak hanya melalui penghambatan patogen, tetapi juga memunculkan ketahanan tanaman terhadap penyakit,” terang Prof. Asih.

Salah satu anggota kelompok Aktinomiset adalah Genus Streptomyces. Streptomyces efektif menekan patogen tanaman melalui aktivitas antimikroba langsung, dan/atau menginduksi resistensi tanaman melalui jalur biosintesis tidak langsung.

Tiga strategi dasar yang digunakan Streptomyces dalam penghambatannya terhadap patogen, yaitu: persaingan ruang dan nutrisi, antibiosis dan parasitisme. Produksi enzim-enzim cellulase, chitinase, lipase dan beta-1,3 glucanase, serta sintesis siderofor, fitohormon, atau asam-asam amino kemungkinan terkait dengan sifat-sifat tersebut.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh para peneliti untuk memperoleh isolat-isolat bakteri Aktinomiset dari berbagai sumber dengan mekanisme kerja yang berbeda-beda. Eksplorasi perlu terus dilakukan karena jenis-jenis penyakit yang harus dikendalikan juga masih sangat banyak.

Aktinomiset dapat diisolasi dari tanah, kompos, permukaan daun (filosfer), daerah perakaran (rhizosfer) maupun dari dalam jaringan tanaman (endofit). Penghambatan isolat-isolat Aktinomiset terhadap patogen tumbuhan dapat mencapai 76% di laboratorium.

“Studi tentang pengendalian hayati penyakit tumbuhan hingga saat ini nampaknya terus meningkat seiring dengan kesadaran masyarakat akan dampaknya terhadap kesehatan manusia dan lingkungannya,” tuturnya.

Prospek Biopestisida

Pasar biopestisida secara internasional pada tahun 2024 memiliki nilai sebesar USD 8,73 miliar. Pasar tersebut diproyeksikan akan tumbuh dari USD 10,12 milyar pada tahun 2025 menjadi USD 28,61 miliar pada tahun 2032, menunjukkan nilai Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 16,0% selama periode perkiraan tersebut.

“Biopestisida adalah jenis pestisida yang dihasilkan dari bahan alamiah, seperti tanaman, hewan, bakteri, dan mineral-mineral tertentu yang digunakan untuk mengendalikan hama dan patogen dalam pertanian,” terang Prof. Asih.

Seiring meningkatnya prospek biopestisida dan pengendalian hayati, maka peranan Aktinomiset diharapkan juga akan meningkat. Aktinomiset menunjukkan potensi yang signifikan dalam pengendalian hayati penyakit tanaman karena produksi senyawa bioaktif dan enzim ekstraselulernya, yang secara langsung menekan patogen melalui aktivitas antibakteri dan anti cendawan, dan secara tidak langsung dengan menginduksi ketahanan tanaman.

“Aktinomiset juga memproduksi fitohormon dan siderofor, menjadikannya solusi dwiguna untuk pertanian berkelanjutan,” pungkasnya.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014). Buku terbarunya, Antologi Puisi Kuliner "Rempah Rindu Soto Ibu"
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author